Sedetik kemudian, suara dobrakan pintu mampu membuat mereka menoleh. Felys tidak tahu siapa yang datang, ia hanya sudah pasrah. Berharap jika ada orang baik hati yang mau menolongnya. ***"Mas Abram, Vino." Tenaga Felys yang sudah terkuras habis, membuatnya tak sadarkan diri. Melihat itu Abram panik, ia hanya bisa berharap semoga mantan istrinya baik-baik saja. "Berani kalian, serang mereka." Gunawan menyuruh anak buahnya untuk menyerang Abram dan juga Vino. Dengan senang hati mereka berdua melawan anak buah Gunawan. Meski sedang berkelahi, tetapi mata Abram tidak bisa lepas dari tempat di mana Felys berada. "Vino, cepat bawa Felys pergi dari sini. Cepat selamatkan Felys," titah Abram. Baginya keselamatan Felys lebih penting. "Tapi bagaimana dengan mereka, anak buah om Gunawan semakin banyak," sahut Vino. Ia khawatir jika sampai terjadi sesuatu pada Abram. "Jangan hiraukan mereka, keselamatan Felys lebih penting. Sekarang cepat bawa Felys pergi dari sini." Abram mendorong tubuh V
Sejenak wanita itu berpikir jika kejiwaan Rita terganggu, atau mungkin itu hanya akting. Karena wanita licik seperti Rita pasti mempunyai segudang cara untuk mengelabui lawannya.***"Aaaa, pergi kamu dari sini! Kamu pikir saya percaya dengan omonganmu itu, pergi." Rita berteriak sekencang mungkin, bahkan teriakannya terkadang disertai dengan tawa. "Hahaha, kamu pasti sengaja ingin menakutiku buka. Hahaha aku nggak takut." Rita tertawa dan juga berbicara tak jelas, membuat polisi yang sedang berjaga menghampirinya. Kedua polisi itu terlihat saling lirik saat melihat Rita yang terus tertawa dan meracau. Rupanya apa yang Rita alami itu hanya mimpi, wanita itu memang akhir-akhir ini sering tiba-tiba tertawa dan bicara tidak jelas. Polisi pernah meminta dokter untuk memeriksanya, dan hasilnya memang kejiwaan Rita sedikit terganggu. "Sepertinya kumat lagi," ucap salah satu dari mereka. "Iya, lebih baik sekarang kita telepon pihak rumah sakit untuk membawanya. Akan sangat berbahaya jika
@Rita[Selamat datang, Sayang di keluarga Wijaya. Semoga kamu betah ya menjadi menantu mama]@Irna[Terima kasih ya, Ma. Pasti betah lah, mama dan semuanya kan baik]@Dila[Selamat datang, Kak. Semoga cepet dapat momongan ya, kasihan mama udah pengen punya cucu]@Irna[Do'akan saja ya, mudah-mudahan segera]@Abram[Ingat ya, di antara kalian harus menjaga rahasia ini. Jangan sampai Felys tahu, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian]@Rita[Sudahlah, Bram. Untuk apa kamu mikirin perempuan tidak berguna itu. Eh kasihan Irna tahu, oya malam pertama kalian bagaimana]@Irna[Lancar dong, Ma. Tapi sekarang mas Bram udah balik ke rumah istri tuanya itu]@Rita[Jangan lama-lama, Bram. Kasihan Irna, nanti keinginan mama untuk dapat cucu tidak kesampean kalau kamu masih ngurusin perempuan nggak guna itu]Felys tidak kuat untuk membaca chat di grup wa keluarga suaminya itu. Apa mungkin ini alasan ibu mertuanya mengeluarkan dirinya dari grup wa tersebut. Agar mereka bebas mengatakan apa saja,
"Permisi, maaf saya datang terlambat," ucap Felys. Detik itu juga meraka menoleh ke arah di mana Felys berdiri, terlihat jelas jika mereka terkejut akan kehadirannya, terutama Abram dan keluarganya. ***Abram yang sedang merangkul pundak Irna, seketika menurunkan tangannya. Bahkan lelaki berjas itu langsung menghampiri Felys, terlihat jelas raut wajah Abram yang panik. Sementara itu, Felys hanya tersenyum dan terus bersikap tenang. "Sayang kamu ada di sini, maaf aku .... ""Kok kamu di sini, Mas. Bukannya tadi kamu bilang ada meeting." Felys memotong ucapan suaminya, detik itu juga Abram menjadi gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa, karena memang apa yang istrinya katakan itu benar adanya. "Iya, tadi mama yang nelpon Abram dan menyuruhnya untuk datang ke sini." Rita, ibu mertua Felys menimpali. Bahkan wanita setengah abad itu berjalan menghampiri putra serta menantunya itu. Hampir semua mata tertuju pada Felys, mungkin mereka merasa bingung akan kehadirannya. "Dia siapa, jeng?"
Felys cukup menahan napas saat membaca chat mereka, ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Mungkinkah ada dendam masa lalu, tapi apa? Felys harus segera mencari tahu. ***"Aku masih belum mengerti dengan apa yang mama bicarakan dengan mas Bram. Apa mungkin mama punya masalah dengan mendiang orang tuaku." Felys memijit pelipisnya yang lumayan sakit. Cukup rumit masalah yang kini Felys hadapi, karena di balik semua itu tersimpan teka teki yang harus ia pecahkan. Setelah itu Felys membaca chat antara suami dan madunya itu. Sejujurnya ia sangat malas untuk membuka chat mereka, apa lagi sampai membacanya. Pasti akan sangat menyakitkan, tetapi jika tidak dibaca Felys tidak akan tahu apa rencana mereka untuk selanjutnya. @Irna[Gimana, rumahnya sudah dapat atau belum, Mas. Aku nggak betah tinggal di rumah mama]@Abram[Sudah, nanti tinggal dibayar saja. Kamu yang sabar ya, setelah semua beres nanti kamu bisa pindah dari rumah mama]@Irna[Beneran loh, Mas. Jangan boho
"Pak Vino, Pak kalau tidak salah namanya," jawabnya. Seketika Abram terkejut saat mengetahui jika sepupu istrinya yang sudah membeli rumah tersebut. Pertanyaannya, untuk apa Vino membeli rumah itu. ***"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Abram berpamitan, setelah itu ia memutuskan untuk kembali ke kantor. Urusan rumah bisa dipikirkan nanti, karena saat ini pekerjaan di kantor yang lebih penting. "Ah sial." Abram memukul setir mobilnya, kesal itu yang ia rasakan. Entah apa yang akan Abram katakan pada Irna nanti, karena wanita itu sudah menagih terus. "Kalau Irna nanya nanti aku jawab apa," gumamnya. Setelah itu Abram melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Ia baru teringat jika hari ini akan ada meeting, bukan itu saja, hari ini Abram juga akan bertemu dengan beberapa klien. "Urusan Irna nanti saja, mending aku matikan saja ponselnya," gumamnya. Setelah itu Abram memutuskan untuk fokus dengan pekerjaannya. Berharap semoga Irna tidak membuat ulah, karena wanita itu ti
"Apa aku boleh tinggal di sini? Aku diusir dari kontrakan karena sudah tiga bulan belum bayar," jawab Irna. Memang selama ini Irna tinggal di kontrakan, dan setahu Felys sahabatnya itu bekerja di restoran. Entah sekarang masih iya atau tidak, karena sudah lama mereka tidak bertemu. ***"Aku nggak salah denger, Irna datang dan meminta untuk tinggal di sini. Ke mana urat malunya, setelah menikah diam-diam dengan mas Abram. Dan sekarang tanpa rasa berdosa datang untuk tinggal di sini, mungkin lebih tepatnya numpang." Felys membatin. "Tapi sepertinya nggak ada salahnya aku terima, dengan seperti ini aku lebih mudah untuk menjebak mereka. Irna, Irna, kamu datang ke tempat yang salah, terlalu nekat untuk datang ke kandang macan." Felys kembali membatin. "Felys, bagaimana." Suara Irna mampu membuyarkan lamunan Felys. "Oh, tentu saja boleh, ayo masuk." Felys mempersilahkan Irna untuk masuk ke dalam. "Sayang tu .... " Abram menghentikan ucapan serta langkahnya saat melihat istrinya kembal
Setelah itu Irna memeluk tubuh Abram, beberapa hari tidak bertemu membuatnya sangat rindu. Awalnya Abram hanya diam, tetapi Irna sangat pandai untuk membuat lelaki itu merespon apa yang ia inginkan. Tanpa mereka sadari, semua ucapan dan perbuatan kedua penghianat itu telah terekam. Dengan begitu Felys akan mudah untuk menghancurkan mereka. ***Di lain tempat saat ini Felys sedang menunggu kedatangan Vino. Sepupunya itu mengatakan jika surat yang ia urus sudah jadi. Mobil dan butik sudah berpindah menjadi atas nama Felys, setelah ini ia tinggal menjualnya, dan uangnya akan Felys pakai untuk disumbangkan kepada orang yang lebih membutuhkan. "Sorry, di jalan macet." Vino menjatuhkan bobotnya di kursi, sementara Felys hanya mengangguk seraya mengaduk-aduk minuman yang ada di hadapannya itu. Entah kenapa hatinya terasa sangat sakit, terlebih mengingat jika saat ini suaminya sedang bersama istri mudanya itu. "Iya, nggak apa-apa kok," ujar Felys. "Gimana udah jadi.""Udah, silahkan kamu p