Tak terima dengan perjodohan dadakan dengan William membuat Emily membenci suami butanya itu. Baginya, William adalah penghalang cinta antara Emily dan kekasihnya yang merupakan adik tiri William. Hanya saja, kala Emily justru menemukan fakta bahwa dirinya dimanfaatkan kekasihnya dan ingin kembali ke William, pria itu justru mengatakan akan menceraikan Emily jika itu yang dapat membahagiakannya. Lantas, apa yang akan dilakukan Emily? Terlebih, ia ingin mulai memperbaiki segalanya!
Lihat lebih banyak“Perusahaanku bisa hancur kalau proyek itu terlepas dariku.”
Brak! Emily Laurdent membanting setirnya kesal kala mengingat ucapan William, suami buta yang dinikahinya karena perjodohan bisnis sejak dua tahun lalu. Selain mengekang dan posesif, dia juga tak pernah mau mengerti Emily. Kesabarannya selalu diuji. Belum lagi, Emily masih tidak mengerti mengapa keluarganya tiba-tiba mengganti pengantin prianya menjadi William. Padahal, jelas-jelas mereka semua tahu Emily mencintai Hendrick, adik tiri William, dan sudah berpacaran sejak SMA. Wanita 23 tahun itu lantas meraih ponsel dan segera mencari nama pria yang sebenarnya Hendrick. Namun, panggilannya berakhir tanpa jawaban. Berulang kali Emily menelpon, tetap saja, tidak ada jawaban. Frustrasi, wanita itu lantas memutuskan untuk langsung menuju rumah Hendrick. Hanya saja, langkahnya terhenti oleh suara tawa yang datang dari taman samping rumah. Dengan hati-hati, Emily melangkah ke arah sumber suara, rasa ingin tahu mengalahkan rasa sopan. Dia berhenti di balik dinding taman dan menguping. Napasnya tercekat ketika dia menyadari siapa wanita itu. Itu Jessica, sahabatnya sendiri. Namun yang lebih mengejutkan adalah isi pembicaraan mereka. “Aku sudah tidak tahan lagi berpura-pura mencintai Emily. Kalau dia mau menyerahkan proyek besar itu, aku akan langsung membuangnya ke tempat sampah dan menikahimu, Jessica.” Emily menutup mulutnya. Tubuhnya membeku seketika. Bagaimana bisa pria yang dicintainya itu berselingkuh dengan sahabatnya dan merendahkannya sedemikian rupa? Padahal, selama ini wanita 23 tahun itu selalu membelanya. Bahkan tadi dia masih berusaha keras mengambil proyek yang dimaksud meski William terus memperingatkan dirinya. Sayangya, ini semua nyata. Tawa Jessica menyadarkan Emily akan itu semua. “Benar-benar kasihan dia. Tapi kalau proyek itu kita dapatkan, hidup kita akan sempurna.” “Ayolah, kenapa kau kasihan padanya? Selain wajahnya yang cantik, dia tidak memiliki apapun yang menyenangkan. Bahkan, otaknya itu tidak lebih baik dari pada seekor keledai,” ucap Hendrick itu lagi, “Kalau proyek besar itu ada di tanganku, maka aku bisa menyingkirkan William, kakak tiriku yang tak berguna itu, dengan mudah. Yah, bila perlu membuang William dan Emily langsung ke penangkaran singa.” Emily memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi kemudian, suara ciuman mereka yang terdengar jelas memaksanya membuka mata lebar-lebar. Emily tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Dia mundur perlahan, memastikan tidak ada suara yang membuat mereka menyadari keberadaannya. Dengan langkah goyah, dia kembali ke mobilnya. Emily pun segera duduk di belakang kemudi, tetapi tangannya terlalu gemetar untuk memegang setir dengan baik. Dia menggigit bibirnya keras-keras, mencoba menahan tangis. “Bagaimana bisa...?” bisiknya, air mata mengalir di pipinya. Orang yang selama ini dia percayai, telah menghancurkannya dalam sekejap. Tanpa berpikir panjang, dia menyalakan mesin mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi. Namun, pikirannya masih terlalu kacau. Saat Emily mencoba mengendalikan mobilnya, dia tidak menyadari bahwa jalanan mulai berbelok. Belum lagi, rem mobilnya mendadak blong! Kendali setir semakin sulit. Dan akhirnya, dalam sekejap, mobil itu menabrak pembatas jalan dengan keras. Brak!! Bunyi dentuman menggema di udara. Emily terhuyung ke depan. Kepalanya membentur kemudi. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya terasa berat dan akhirnya semuanya menjadi gelap. “William, maafkan aku...” gumam Emily sebelum matanya benar-benar tertutup. **** “Akkh…” erang Emily kala membuka matanya perlahan. Rasa nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Menyesuaikan pandangannya yang kabur, Emily menatap langit-langit putih di atasnya dan cairan infus yang menggantung di samping tempat tidur. “Aku di rumah sakit?” pikirnya sambil mencoba memahami situasinya. Namun, sebelum sempat mencerna semuanya, dia tersentak saat merasakan sentuhan lembut di tangannya. “Emily?” suara itu pelan, penuh perhatian. Emily mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. William... Pria itu duduk di sisi tempat tidur. Wajahnya terlihat murung, seperti menahan rasa sakit di hatinya. Mata William yang buta menatap kosong ke depan. Namun, entah bagaimana, seolah dia tahu Emily telah sadar. “Emily, apa itu tadi suaramu?” tanya William dengan suara lembut. “Kau kesakitan? Kau sudah bangun?” Emily menggigit bibir bawahnya, menatap pria itu dalam diam. Hatinya terasa sesak. William selalu peduli dan memperhatikan dirinya meski ia sendiri menghadapi banyak kesulitan. Kebutaan William tidak pernah membuatnya menyerah. Namun, Emily justru sebaliknya. Selama dua tahun pernikahan mereka, Emily hanya memberikan tambahan rasa sakit pada pria itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Emily. Ingatannya berputar, menampilkan bayangan-bayangan masa lalu. Selama ini, ia memberontak, bersikap dingin, bahkan terang-terangan menunjukkan cintanya pada Hendrick. Semua itu dilakukan tanpa peduli pada hati William. “Kenapa dia masih sudi untuk berada di sini?” pikir Emily penuh sesal. Isakan kecil meluncur dari bibirnya. Di sisi lain, William yang mendengar suara itu langsung panik. “Emily? Kenapa kau menangis? Apa yang sakit? Robert! Robert!” seru William sambil berusaha berdiri. Tak lama, pintu kamar terbuka memperlihatkan asisten William itu dengan wajah khawatir. “Saya datang, Pak William?” “Emily sepertinya menangis,” kata William, suaranya penuh kepanikan. “Tolong panggilkan dokter, cepat.” Robert mengangguk dan segera memanggil dokter. “Baik, Pak.” Beberapa menit kemudian, dokter masuk dan memeriksa Emily dengan seksama. Setelah pemeriksaan selesai, dokter berkata, “Nona Emily baik-baik saja. Luka di kepalanya tidak terlalu parah meskipun sempat mengeluarkan darah. Dia hanya perlu istirahat total selama beberapa hari ini.” Mendengar kabar itu, William menghela napas lega. “Syukurlah,” gumamnya. Setelah dokter pergi, suasana menjadi hening. Emily hanya menatap William, sementara pria itu diam, seolah memikirkan sesuatu. “Emily.” Suara William memecah keheningan. “Aku sudah memutuskan. Jika bercerai adalah yang terbaik untukmu, aku akan melakukannya. Jangan khawatir. Robert akan bantu mengurus perceraian kita.” Deg! Emily terkejut. Kata-kata itu menghantam hati Emily seperti petir di siang bolong.Ruangan rapat utama dipenuhi para eksekutif dan kepala divisi. Suasana tegang, sebagian besar dari mereka masih menyangsikan kemampuan Greyson. Bagi sebagian orang, dia hanyalah ‘anak bos’ yang belum teruji. Tapi hari itu, mereka akan melihat sesuatu yang berbeda. Greyson masuk dengan jas rapi, rambut tersisir bersih, dan langkah mantap. Tatapannya tajam, wajahnya serius. Ia membuka laptopnya, menyapa semua orang dengan tenang. “Selamat pagi. Mulai hari ini, saya akan bekerja langsung di bawah arahan Ayah saya, untuk dua tahun ke depan. Dan saya tidak datang ke sini untuk main-main lagi.” Beberapa orang bertukar pandang, sebagian masih skeptis. Tapi Greyson tidak goyah. Greyson mulai ikut dalam setiap rapat penting, menganalisis laporan keuangan, bahkan terjun langsung ke lapangan untuk memahami bisnis secara menyeluruh. Ia tid
Suasana rumah yang biasanya tenang berubah drastis. Teriakan William menggema dari kamar utama, nadanya bukan sekadar panik, melainkan ketakutan yang dalam, seperti pria yang baru saja melihat dunianya runtuh di depan matanya. “Emily! Sayang, bangun! Jangan seperti ini! Emily! Jangan menakuti ku!” Greyson yang sedang berada di ruang kerjanya di lantai atas langsung berdiri, memegang. Napasnya seketika tercekat. Ia belum pernah mendengar ayahnya, sosok yang selalu tenang dan tangguh itu berteriak dengan suara seperti itu. Ia melesat menuruni tangga dan menerobos pintu kamar orang tuanya tanpa izin. Di sana, ia melihat ayahnya bersimpuh di samping tempat tidur, memeluk tubuh Emily yang terkulai lemah, tidak sadarkan diri. Wajah William penuh air mata, tangannya gemetar saat menyentuh wajah istrinya. “Ayah! Apa yang terjadi?!”
Pagi hari menyambut mereka dengan cahaya lembut yang masuk melalui jendela kayu klasik hotel bergaya renaisans di tepi kanal. Lavine membuka mata lebih dulu, lalu menoleh dan menatap Elle yang masih tertidur di sampingnya. Ia tersenyum kecil, sebuah senyum penuh syukur dan rasa takjub yang begitu luar biasa. Beberapa menit kemudian, Elle terbangun. Ia mendapati Lavine menatapnya dengan penuh cinta. “Good morning, Sayangku?” sapa Lavine. Elle menggeliat. Wajahnya sampai memerah membuat Lavine terkekeh. “Apa?” tanya Elle sambil menyembunyikan wajahnya dengan selimut. “Aku cuma mengagumi wajah cantik istriku saja,” bisik Lavine. “Cih! Gombal saja sepagi ini,” ujar Elle. Lavine tersenyum. Ia langsung membawa Elle ke dalam pelukannya. “Hari ini kita mau pergi ke luar atau di kamar saja, Sayang?” Pertanyaan itu membuat Elle merinding. Di kamar saja?
Ramon tengah terduduk di sofa ruang tamunya yang mulai terasa kosong. Beberapa furnitur sudah dijual diam-diam untuk menutupi biaya hidup mereka selama dua bulan terakhir ini. Kini, surat pemberitahuan penjualan rumah sudah tiba, lengkap dengan tanda tangan pengacara. Rumah itu akan segera dilelang, dan hasilnya akan dibagi dua. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, baik hartanya, maupun pernikahannya dengan Casandra. Casandra berdiri di ambang pintu, tangan bersedekap, matanya merah karena menangis, tapi juga penuh dengan kemarahan. “Jadi... kau benar-benar menggugat ceraiku?” tanyanya, suaranya nyaris gemetar. Ramon mengangguk tanpa menatapnya. “Perusahaan kita sudah hancur, Casandra. Aku sudah coba segala cara, tapi semuanya berakhir sia-sia. Dan kita… kita juga sudah tidak punya alasan untuk tetap bersama, bukan? Aku tidak sanggup menghadapai sikap mu, begitu juga dengan
Beberapa hari setelah kemarahan besar Ramon, berita mulai bermunculan bukan tentang Lavine, melainkan tentang Rayn dengan narasi yang buruk. Salah satu media besar yang sebelumnya diam, tiba-tiba merilis artikel panjang investigasi berjudul, “Uang Kotor di Balik Serangan terhadap Dunia Seni. Siapa Dalang yang Sebenarnya?” Artikel itu menyebutkan aliran dana mencurigakan yang dikaitkan dengan salah satu keluarga pebisnis kaya. Nama Rayn pun muncul, bersama bukti dokumen dan testimoni dari jurnalis bayaran yang kini memilih untuk bicara karena tekanan hukum yang jelas. Media sosial meledak. Netizen yang sebelumnya ikut terpancing isu palsu tentang Lavine kini berbalik arah, “Jadi semua itu cuma fitnah buatan kakak tirinya sendiri? Dia pasti sangat iri.” “Zero tetap terbaik. Rayn harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya!” “Dia terlihat seperti seorang pengecut. Dia pasti sangat iri dengan kesuksesan yang dirai
Lampu kristal raksasa bergemerlap di langit-langit ballroom mewah. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan. Dekorasi bernuansa emas-putih memantulkan cahaya dengan indah, menambah aura eksklusif dari pesta pernikahan Elle dan Lavine. Para tamu berdatangan satu per satu, kolektor lukisan internasional, pengusaha, sosialita, hingga sesama seniman yang pernah bekerja dengan Lavine. Mereka berdesakan di lobi hotel, menanti giliran untuk masuk ke ruangan utama.Tamu undangan kelas atas dari William dan Emily pun ikut berdatangan. “Lihat, itu Lavine. Dan Elle. Mereka benar-benar seperti pasangan dari cerita dongeng,” bisik salah satu tamu dengan kagum. Lavine dan Elle berdiri di pelaminan. Keduanya tersenyum, menyapa satu per satu tamu yang menghampiri. Meski wajah mereka cerah, sorot mata keduanya menyiratkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan. Bukan hanya karena pesta hari itu, tapi karena seluruh perjalanan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen