LOGINSepuluh tahun sudah pernikahan Arumi dan Raka berjalan tanpa kehadiran seorang anak. Berbagai cara telah mereka tempuh, pengobatan, doa, hingga pengorbanan yang nyaris menghabiskan harapan. Namun takdir seolah tak berpihak pada Arumi. Ia mulai dianggap mandul oleh mertuanya, yang tak lagi mampu menutupi rasa kecewa dan malu karena sang menantu tak kunjung memberi cucu. Meski Raka selalu berkata bahwa cinta mereka lebih berharga dari segalanya, tekanan keluarga mulai menghancurkan ketenangan rumah tangga yang selama ini mereka jaga. Hingga suatu hari, sang mertua datang dengan permintaan yang menghancurkan hati Arumi, memintanya agar mengijinkan Raka menikah lagi, demi masa depan dan kelangsungan nama keluarga. Di antara cinta dan luka, Arumi dihadapkan pada pilihan terberat. mempertahankan rumah tangga yang kian rapuh, atau melepaskan lelaki yang ia cintai untuk wanita lain, demi hadirnya seorang anak.
View MoreSuasana sore di kediaman Arumi terasa begitu tenang. Rumah bergaya minimalis modern itu berdiri gagah di deretan perumahan elit, dengan taman kecil yang tertata rapi di halaman depan. Dari dapur, aroma masakan yang menggugah selera mulai tercium, berpadu dengan sinar matahari senja yang menembus jendela kaca.
Arumi tampak sibuk di dapur, menyiapkan makan malam untuk suaminya, Raka, yang sebentar lagi akan pulang dari kantor. Wajah cantiknya dihiasi senyum hangat yang seolah tak pernah pudar, meski di balik itu tersimpan kegelisahan yang jarang ia tunjukkan. Ia menyiapkan makanan dengan penuh cinta, cinta yang selama ini menjadi alasan ia bertahan menghadapi semua tekanan. Tangannya cekatan membolak-balikkan tumisan di atas wajan, ketika tiba-tiba suara bel pintu terdengar. Ting-tong... Arumi spontan mematikan kompor, meletakkan spatula, lalu bergegas menuju pintu utama. Senyum lembut masih menghiasi wajahnya, pikirannya penuh bayangan tentang Raka yang mungkin pulang lebih cepat. Namun, senyum itu perlahan memudar begitu ia membuka pintu. Yang berdiri di hadapannya bukanlah Raka, melainkan Ratih, ibu mertuanya. “Ibu…” ucap Arumi pelan, sedikit terkejut melihat kedatangan Ratih yang tak ia duga. “Raka ada di rumah?” tanya Ratih dengan suara datar, tanpa senyum sedikit pun. “Mas Raka belum pulang, Bu,” jawab Arumi sopan. “Baguslah,” balas Ratih cepat. “Berarti Ibu bisa bicara denganmu tanpa gangguan.” Tanpa menunggu dipersilakan, Ratih melangkah masuk melewati Arumi yang masih berdiri di ambang pintu. Gerak-geriknya anggun tapi tegas. Kebaya hijau zamrud yang melekat di tubuhnya memancarkan wibawa, sementara sanggul rapi di kepalanya menambah kesan elegan. Lipstik merah menyala di bibirnya semakin menegaskan karakter wanita kuat, dan menekan. Ratih duduk di sofa ruang tamu, menyilangkan kaki dengan anggun. Tatapannya tajam, menusuk. Arumi menyusul dan duduk di seberangnya, jantungnya mulai berdebar tak nyaman. Ia tahu benar arah pembicaraan ini akan mengarah ke hal yang paling ia takuti, soal keturunan. Dan benar saja... “Jadi,” Ratih membuka suara, nada suaranya tenang namun penuh tekanan. “Bagaimana hasil pemeriksaanmu kemarin?” Arumi menunduk, jemarinya menggenggam ujung celemek yang masih melekat di tubuhnya. “Masih sama, Bu… dari beberapa dokter yang kami datangi, semuanya bilang kalau tidak ada yang salah. Semua normal. Mungkin memang belum rezeki kami.” Ratih mendengus pelan. “Kalau semuanya normal, lalu kenapa sampai sekarang kau belum juga hamil, Arumi? Ibu ini sudah menunggu terlalu lama. Ibu ingin cucu.” Arumi hanya diam, menahan gejolak di dadanya. “Kamu tahu,” lanjut Ratih dengan nada menusuk. “Ibu baru saja dari rumah teman Ibu. Anak perempuannya baru menikah beberapa bulan, dan sekarang sudah hamil. Kamu bisa bayangkan bagaimana perasaan Ibu saat mendengar itu?” Arumi menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir pecah. “Tapi, Bu. saya dan Mas Raka sudah berusaha. Kami tidak pernah berhenti berdoa, berobat, mencoba segalanya.” “Berusaha?” suara Ratih meninggi sedikit. “Kalau benar kalian berusaha, seharusnya sudah ada hasilnya, Arumi! Sepuluh tahun pernikahan, tapi masih kosong juga. Apa kamu tahu berapa lama Ibu menantikan seorang cucu?” Arumi tertunduk. Kata-kata itu seperti duri yang menusuk jantungnya. Ia juga ingin menjadi seorang ibu. Ia juga ingin mendengar tangisan bayi, melihat senyum kecil yang mirip wajah Raka. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Tuhan belum memberinya kesempatan itu. Selama sepuluh tahun ini, ia telah mencoba segalanya, dari rumah sakit ke rumah sakit, dari pengobatan herbal sampai medis. Semua jalan telah ditempuh, namun hasilnya tetap sama. “Kamu tahu kan,” lanjut Ratih lagi, suaranya mulai terdengar getir, “ayah mertuamu sudah lama meninggal. Dan satu-satunya penerus keluarga ini hanyalah Raka. Kalau kamu tak bisa memberinya keturunan, berarti garis keluarga ini akan berhenti di tangan kalian.” Arumi menatap Ratih, matanya mulai berkaca. “Apa kamu tidak kasihan pada Raka?” Ratih menatap tajam. “Memang benar dia selalu membelamu. Katanya cinta kalian lebih berharga dari segalanya. Tapi apakah kamu tahu isi hatinya yang sesungguhnya? Ia ingin anak, Arumi. Ia ingin melihat darah dagingnya sendiri. Tapi karena terlalu mencintaimu, ia menekan semua keinginan itu.” Air mata Arumi menetes tanpa bisa ditahan. Bahunya bergetar. “Tapi, Ibu… saya harus bagaimana lagi? usaha apa lagi yang harus saya lakukan?” suaranya parau, hampir tak terdengar. Ratih menarik napas dalam, lalu mengucapkan kalimat yang membuat waktu seolah berhenti. “Satu-satunya cara yang bisa kamu lakukan adalah merelakannya.” Arumi tertegun. Nafasnya tercekat. “Maksud Ibu…?” “Biarkan Raka menikah lagi,” ucap Ratih mantap. “Biarkan dia memiliki keturunan. Ibu tahu ini berat untukmu, tapi Ibu juga tidak bisa membiarkan anak Ibu hidup tanpa seorang penerus.” Air mata Arumi menetes deras. “Tidak, Bu. Tolong jangan minta itu. Masih ada cara lain.” “Cara lain?” Ratih menatapnya dengan dingin. “Sepuluh tahun sudah berlalu, Arumi. Sepuluh tahun! Semua cara sudah kau coba. Tapi mana hasilnya? Mana anak itu? Mana cucu Ibu? Tidak ada!” Ratih kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan. “Atau jangan-jangan, kau sebenarnya mandul, hanya saja tidak mau mengakuinya?” Kata-kata itu seperti belati yang menembus jantung Arumi. Nafasnya tercekat, suaranya hilang. Air matanya mengalir tanpa henti. “Jangan egois, Arumi,” lanjut Ratih pelan namun tajam. “Raka juga ingin bahagia. Ia ingin melihat darah dagingnya sendiri tumbuh di depannya.” Ratih berdiri, merapikan kebayanya. “Ibu tidak meminta kau menceraikan Raka. Ibu hanya meminta kau mengizinkannya menikah lagi.” Ia berjalan menuju pintu, meninggalkan Arumi yang masih terisak di sofa. “Pikirkan itu, Arumi,” katanya dingin. “Jangan hanya memikirkan dirimu sendiri. Pikirkan juga perasaan suamimu, apakah dia benar-benar bahagia dengan kehidupan tanpa tawa seorang anak?” Ratih melangkah keluar, menutup pintu perlahan. Suara pintu itu terdengar lembut, tapi bagi Arumi, bunyinya seperti guntur yang menghantam hatinya. Kesunyian memenuhi ruang tamu. Hanya suara tangisan Arumi yang samar-samar terdengar, lirih namun menyayat hati. Ia menunduk, memeluk dirinya sendiri. Ia juga ingin anak. Ia juga ingin menjadi seorang ibu. Tapi apa yang bisa ia lakukan, kalau semua sudah ia perjuangkan?Arumi bergerak di dapur seperti robot yang kehilangan baterai. Tangannya secara otomatis mengupas apel dan memotong melon, meski matanya masih terasa panas dan kepalanya berdenyut hebat. Di ruang makan, sayup-sayup terdengar tawa renyah Ratih yang sedang memuji kecantikan Maya pagi ini."Mbak Arum," suara Maya tiba-tiba terdengar di ambang pintu dapur.Arumi tidak menoleh. Ia terus mengiris buah dengan ritme yang konstan."Mbak jangan marah ya sama Ibu. Ibu cuma terlalu senang karena akhirnya rumah ini bakal ada suara bayi," Maya mendekat, berdiri tepat di samping Arumi. Suaranya dipelankan, hanya cukup untuk didengar mereka berdua. "Dan soal kejadian semalam... terima kasih ya, Mbak. Gara-gara insiden bubur itu, Mas Raka jadi makin sayang sama aku."Pisau di tangan Arumi terhenti. Ia menatap potongan apel di depannya dengan tatapan kosong. "Kamu sengaja menjegal kakiku, kan?"Maya tertawa kecil, sangat pelan hingga terdengar seperti desiran angin. "Sengaja atau tidak, hasilnya tetap
Kesunyian di meja makan itu terasa mencekik. Arumi perlahan berlutut, mengabaikan rasa perih di hatinya yang jauh lebih menyakitkan daripada bentakan Raka. Dengan tangan gemetar, ia mulai memunguti pecahan mangkuk satu per satu. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh, jatuh tepat di atas ceceran bubur putih yang kini tampak seperti reruntuhan martabatnya sebagai seorang istri."Sengaja atau tidak, hasilnya tetap sama. Aku yang salah di mata mereka," bisiknya lirih.Pikirannya melayang pada Maya. Ia yakin merasakan ada sentuhan kaki yang menjegal langkahnya tadi. Namun, siapa yang akan percaya? Di rumah ini, Maya adalah porselen indah yang sedang menyimpan permata keluarga, sedangkan dirinya hanyalah bejana retak yang tak berguna.Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak agar tak terdengar ke luar. Bahunya terguncang hebat, napasnya tersengal. Ia bukan menangis karena bubur yang tumpah, bukan pula karena dimarahi Raka. Ia
"Arumi." panggil Raka dari arah pintu.Arumi baru saja ingin membaringkan tubuhnya di atas kasur untuk beristirahat ketika ia terkejut melihat Raka sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya yang tadi tampak lelah mendadak berbinar, ia sempat mengira bahwa malam ini suaminya akan tidur bersamanya.“Iya, Mas?” ucap Arumi pelan, tersenyum kecil.“Bisakah kamu buatkan Maya bubur sumsum? Dia ngidam dan ingin sekali memakannya,” ujar Raka langsung ke tujuan.Senyum Arumi sontak menghilang. Wajahnya berubah lesu dan kecewa.“Mas… aku capek. Aku baru saja menyelesaikan semua pekerjaan, dan aku ingin beristirahat,” katanya lirih.“Mas bisa beli di luar, kan?” tambahnya, menolak pelan karena benar-benar lelah setelah mengerjakan segalanya seorang diri.“Ini sudah malam, Arumi. Mana ada yang jual bubur sumsum jam segini?” jawab Raka. Jam dinding menunjukkan pukul 11.30 malam.“Tidak bisa besok saja, Mas?” tanya Arumi, suaranya semakin pelan.Suara Maya tiba-tiba terdengar dari belakang.“Mba
“Arumi, cepat kamu belanja beberapa bahan makanan. Kita harus mengadakan syukuran untuk kehadiran cucu pertama di keluarga ini,” ucap Ratih penuh antusias.Raka yang sejak tadi duduk di samping Maya hanya bisa menatap Arumi yang diam tanpa banyak berkata-kata.“Bu, tidak perlu terburu-buru. Kita bisa lakukan ini lain waktu,” tegur Raka pelan pada ibunya.“Tidak bisa,” balas Ratih cepat, nada suaranya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ibu juga ingin memberi tahu teman-teman sosialita Ibu bahwa sebentar lagi Ibu akan punya cucu.”Ratih kemudian melirik Arumi. “Lagi pula Arumi juga tidak keberatan, kan? Bukankah anak yang ada di kandungan Maya itu juga anakmu? Begitu, kan, Arumi?”Arumi tersenyum kaku. Hanya itu yang bisa ia lakukan. kemudian ia mengangguk pelan.Raka menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar aku saja yang pergi bersama Arumi.”“Jangan,” dengan cepat Ratih menolak. “Kamu kan baru pulang, pasti lelah. Istirahatlah di rumah. Temani Maya, dia sedang mengandung anakmu.


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.