Salah Paham

Kemuning memeluk lututnya lebih erat, terisak hingga suaranya habis. Kemuning tidak tahu berapa lama waktu berlalu, tetapi dia yakin hari sudah malam karena tiada lagi cahaya matahari yang terlihat dari jendela. Kemuning hanya tahu lampu dinyalakan dari cahaya minim dari jendela kecil yang terhubung dengan koridor.

Ruangan itu lembab dan pengap. Satu-satunya ventilasi adalah jendela yang terletak di atas sana dan tiada barang apa pun yang bisa Kemuning gunakan untuk memanjat. Tempat itu bagaikan ruang isolasi di rumah sakit jiwa. Saking heningnya, Kemuning bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

“Kenapa sih nasibku jadi seperti ini?” bisik Kemuning di bawah napasnya. Tenaganya habis untuk menangis dan mencoba membuka pintu yang dikunci. Beberapa kukunya patah dan jarinya bahkan lecet. Kemuning tidak diberi makan dan minum seperti sengaja dibuat lemas agar tidak bisa melawan.

“Kenapa Anggi suruh aku datang ke tempat kayak gi—“

Rintihan Kemuning terhenti ketika tiba-tiba mendeng