Bertahun-tahun aku jadi tulang punggung keluarga dan rela menunda pernikahan demi pendidikan adikku hingga dia sarjana. Eh, dia malah kepergok mesum di kos-kosannya dengan calon suamiku. Bukannya minta maaf, dia malah menghinaku habis-habisan. Katanya, aku yang hanya seorang pembantu tidak cocok bersanding dengan kekasihku yang seorang tentara. Tapi akhirnya aku bisa membungkam kesombongannya dengan cara...
View MoreHari itu, matahari baru saja tenggelam ketika Kemuning dipanggil oleh majikannya ke kamarnya. Di tangannya, sang majikan menyerahkan sebuah amplop cokelat kecil.
"Ini gaji kamu bulan ini, Ning," katanya. Kemuning tersenyum tipis, lalu menerimanya dengan kedua tangan. Meski jumlahnya tak seberapa, bagi Kemuning, amplop itu adalah sumber kehidupan untuknya dan juga keluarganya. Ia lalu meminta izin untuk pergi ke kamarnya sebentar. Ada hal penting yang ingin segera ia lakukan. Setelah mendapat izin, Kemuning bergegas pergi dengan hati riang. Sesampainya di kamar, ia segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. Namun, ponselnya lebih dulu berdering. Ada panggilan masuk dari nomor yang tak asing. Itu panggilan dari adiknya, Anggi. “Hall—” “Mbak punya uang nggak? Aku butuh uang buat beli bahan untuk ngerjain tugas kuliah." Belum sempat Kemuning menyelesaikan ucapannya, gadis itu sudah lebih dulu menyelanya. Kemuning menarik nafas dalam-dalam. "Butuh berapa?" "Satu juta aja," jawab Anggi dengan santai. "Buat ngerjain tugas sampai satu juta?" tanya Kemuning sedikit terkejut. Baginya, uang segitu tentu sangat banyak. "Iya. Namanya juga tugas kuliah bukan tugas anak TK. Mbak kan gak kuliah mana tahu kalau semua harga perlengkapan kuliah itu mahal!" jawabnya sengit. Sudah meminta, tapi menghina. Ya, seperti itulah Anggi. “Ya nggak usah ngegas juga kali, Nggi. Mbak kan nanyanya baik-baik.” “Makanya jangan kebanyakan nanya. Mbak kan tahu aku udah mau lulus. Udah semester akhir ini. Ya pasti banyak tugas lah.” Dia masih ketus. "Iya, iya. Ya udah besok Mbak kirim. Sekarang udah malam mau ke ATM." “Oke. Awas ya jangan sampai lupa!" peringat Anggi. Tuuut! Ponselnya langsung dimatikan sepihak. "Anggi, Anggi, kebiasaan kalau telfon gak pernah ucap salam. Udah gitu nelfon kalau cuma ada maunya," gumam Kemuning sambil menghela nafas pelan. Setelahnya, Kemuning menghubungi nomor seseorang yang tak lain adalah kekasihnya yang sudah lima tahun ini menjalin hubungan dengannya. Pria itu bernama Eko Setiaji. Dia adalah seorang tentara berpangkat Sertu (Sersan Satu) yang dulu adalah teman sekolahnya. Sebenarnya, bukan maunya Kemuning menjalin hubungan lama-lama dengan pria. Tapi mau bagaimana lagi, Kemuning adalah tulang punggung keluarga, ia harus menafkahi ibunya di kampung dan juga membiayai pendidikan adiknya yang kuliah. Dari hasil gajinya itu, Kemuning hampir tidak pernah menikmati sedikitpun jerih payahnya. Untuk makan, ia ikut menumpang di rumah majikannya. Sementara jajan dan kebutuhan lainnya, Kemuning memilih untuk mengirit dan berpuasa. Kemuning sudah terbiasa hidup dengan keprihatinan sejak ia kecil. Berbeda dengan adiknya yang sejak kecil selalu dituruti apa maunya. Mungkin karena Anggi adalah anak bungsu sekaligus anak kandung ibunya. Kemuning dan Anggi memang tidak lahir dari r4him yang sama. Mereka seayah, tapi tidak seibu. Namun, meskipun begitu, Kemuning tetap menyayangi adiknya sepenuh hati. Begitu juga dengan ibu tirinya yang ia anggap seperti ibu kandung sendiri. “Hallo, Ning?” Terdengar suara Eko dari sebrang panggilan. “Hallo, Mas. Apa kabar?” “Baik,” jawab pria itu singkat. “Mas, malam Minggu besok apa bisa kita ketemu? Kemuning udah minta izin ke majikan dan—” “Maaf nggak bisa. Mas lagi sibuk. Soalnya mau nganter Komandan ke luar kota,” selanya. “Emangnya nggak bisa minta izin gitu, Mas? Untuk kali ini aja. Kemuning kan lagi ulang tah—” “Nggak bisa, Ning. Kamu kan tahu aku tentara. Tugas negara lebih penting dari apapun. Udah ya, ini Mas masih ada urusan.” “Tapi Mas—” Tuuut Kemuning kembali menelan kekecewaan. Padahal, ia sudah memiliki rencana indah. Malam Minggu nanti, bertepatan dengan hari kelahirannya dia akan bilang kepada Eko kalau dia sudah siap menikah. Anggi sebentar lagi akan lulus kuliah, dan Kemuning sudah terlepas dari kewajibannya. Tapi realita malah tak sesuai rencana. * Malam Minggu pun tiba. Kemuning mencoba menghubungi Eko. Namun, nomornya masih saja tidak aktif. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Kemuning bergegas membukanya. Ternyata itu Bi Yuyun. “Itu ibumu datang, Ning. Sana temuin dulu.” Kemuning agak kaget karena tanpa berkabar terlebih dahulu ibunya datang malam-malam dari kampung ke kota. Ia segera menghampiri ibunya di ruang tamu. Sesampainya di sana, ibunya terlihat gelisah sambil menenteng sebuah tas berukuran cukup besar. Sepertinya isinya baju. “Ibu, kok malam-malam ke sini?” tanya Kemuning sambil menyalimi ibunya. Ibunya lalu menarik Kemuning keluar rumah itu. “Ning, ibu dikejar-kejar bank emok. Mereka ngamuk ngepung rumah ibu di kampung. Tapi untungnya ibu bisa kabur ke sini," jelasnya dengan raut panik. “Ya Allah ibu, kok bisa sih?” Kemuning menutup mulut tak percaya. “Ibu ikut arisan Ning. Uangnya ibu pinjem dari bank emok itu. Tapi Ibu malah ketipu. Ya memang lagi apesnya mungkin.” Kemuning tak tahu harus bereaksi seperti apa. Di satu sisi ia kasihan, di sisi lain juga ibunya yang bertindak ceroboh. “Ning, kalau Ibu ikut tinggal di sini boleh nggak? Untuk sementara aja sampai nemu jalan keluarnya.” “Ya mana bisa, Bu. Kemuning aja tidur sama pembantu yang lain. Itu aja juga udah sempit. Nggak ada kasur lagi.” “Iya sih ya. Ah, kalau gitu anterin ibu ke kos-kosannya Anggi aja Ning. Biar ibu ikut tinggal sementara sama dia di sana.” “Eh? Tapi ibu apa udah bilang sama Anggi? Telfon dulu aja, Bu. Takutnya dia marah.” “Halah, sama ibunya sendiri kok marah. Nggak lah, nggak akan dia marah Ning. Udah ayok, cepet anterin ibu ke sana.” Kemuning menurut saja. Gadis itu lalu pamit sebentar kepada Oma Reni sang majikan dan mengambil tasnya di kamar, kemudian berangkat. Mereka berangkat menggunakan ojek pangkalan. kebetulan tak jauh dari perumahan, ada ojek pangkalan. Sesampainya di sana, kos-kosan tampak sepi. Sepertinya orang-orang sedang malam mingguan. Namun, begitu Kemuning dan ibunya sampai di teras kos-kosan adiknya, ia melihat sebuah motor yang begitu familiar di matanya. “Lho, itu kan motornya Mas Eko? Mau apa dia di kos-kosan Anggi?!”Kemuning mendongak. Napasnya ngos-ngosan. Di matanya, tergambar ketakutan luar biasa hingga wajahnya pun pucat pasi. Matanya bergerak gelisah. Begitu melihat kalau orang yang ia tabrak adalah Samudra, entah mengapa membuat Kemuning merasa ingin meminta perlindungan. "Tolong... tolong bantu saya pergi dari sini," pinta Kemuning lirih dengan suara bergetar. Samudra terpaku saat Kemuning tiba-tiba memeluknya begitu erat. Ia dapat merasakan tubuh perempuan itu gemetar hebat. Ketakutan tergambar nyata di wajah Kemuning. "Kamu kenapa?" tanya Samudra bingung. "Itu dia, Mami!" seru seorang pria menunjuk ke arah Kemuning yang masih memeluk Samudra untuk mencari perlindungan. "Heh, Kemuning! Mau ke mana kamu, hah? Bisa-bisanya malah kabur!" Kemuning menegang. Tubuhnya semakin gemetar karena tahu itu adalah suara Mami Vita. Ia semakin mengeratkan pelukannya dengan Samudra. Kemuning juga mencengkram bagian belakang baju pria itu dengan erat. Demi apa pun, Kemuning tidak sudi dijadikan wan
Oma Reni terus bergerak gelisah di ranjang pasien sejak tadi. Ia bungkam. Wajahnya menyimpan kekecewaan karena Samudra tak kunjung bergerak mencari Kemuning. Padahal, sudah hampir satu jam lamanya semenjak ia mengancam Samudra, tetapi tampaknya cucunya itu benar-benar keras kepala. "Oma, Oma belum makan sedikit pun, loh. Belum sarapan, padahal ini udah masuk jam makan siang. Belum minum obat juga. Sam suapin, ya?" bujuk Samudra dengan suara lembut.Oma Reni membuang muka. Jangankan membalas ucapan Samudra, menatap balik pria itu saja ia enggan. "Oma serius nggak mau makan?" Samudra kembali memecah keheningan di ruang IGD tersebut. Oma Reni masih saja mengunci bibirnya. Hal itu membuat Samudra diam-diam mengepalkan tangan. Tak ada cara lain. Mau tidak mau, suka tidak suka, satu-satunya cara agar omanya tidak merajuk lagi adalah menemukan Kemuning dan membawanya ke rumah sakit. "Oke, aku bakal nyari dia, tapi Oma harus makan dan minum dulu," putus Samudra. Pria itu mengalah. Menepi
Rumah sakit dipenuhi aroma alkohol dan disinfektan yang tajam. Di salah satu ruang IGD, tubuh renta Oma Reni terbujur lemah di atas ranjang pasien. Selang infus menancap di punggung tangannya, dan alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Napasnya masih belum stabil, dan wajahnya pucat pasi seperti tersapu kabut pagi yang dingin.“Serangan jantung ringan, tapi cukup berisiko karena usia beliau sudah lanjut,” jelas dokter dengan raut prihatin. “Mohon dijaga, terutama kondisi emosinya. Jangan sampai beliau stres atau mengalami tekanan batin. Itu bisa memicu serangan yang lebih parah.”Samudra tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, tapi matanya tetap dingin. Pikirannya masih terpaku pada kalimat sang dokter yang menyebutkan pemicunya: stres. Dan satu nama langsung terlintas di benaknya—Kemuning. Ya, semua ini gara-gara wanita itu. Ia tidak menyangka orang luar seperti Kemuning bisa menyebabkan sesuatu yang fatal seperti ini. Ketika Oma Reni akhirnya sadar, matanya perlahan membu
Samudra mengerjapkan matanya, seakan tidak menyangka Kemuning akan berkata seperti itu. Sejurus Kemudian, ia tersenyum puas. "Bagus! Memang sebaiknya kamu resign, daripada bawa pengaruh buruk terhadap Oma saya," ucapnya.Kemuning mengangguk seraya mengusap air matanya. Ia kehabisan kata-kata untuk membela diri sendiri. Lagipula percuma saja, Samudra juga tidak akan percaya penjelasannya sedikit pun. Pria itu hanya akan mengatakan hal-hal yang semakin merendahkannya. "Permisi!" Kemuning beranjak dari tempat itu. Ia berjalan menuju kamarnya, berniat mengemas baju-bajunya sebelum pergi dari rumah Oma Reni. Samudra tidak menjawab. Ia menatap punggung Kemuning yang semakin jauh hingga akhirnya gadis itu tidak terlihat lagi. Ia lantas terkekeh sinis. "Kamu kira saya akan tertipu dengan wanita licik seperti kamu? Saya hapal sekali tujuan wanita-wanita sepertimu, Kemuning!" gumam Samudra. Bi Yuyun yang ternyata diam-diam mencuri dengar pembicaraan Samudra dan Kemuning, langsung bergegas
"Oma ini bicara apa? Jangan ngaco dong, Oma." Nada suara Samudra tidak tinggi, tetapi raut wajahnya begitu jelas terbaca. Ia tampak tidak suka dengan permintaan Oma Reni. Kemuning sendiri juga tidak menyangka Oma Reni akan meminta hal seperti itu. Tak pernah terbayangkan sedikit pun olehnya sang Majikan akan memintanya menikah dengan cucunya sendiri. Oma Reni tiba-tiba menunjukkan raut sedih. "Anggap saja ini permintaan terakhir Oma," ucapnya. "Oma!" seru Samudra. "Tolong jangan bicara yang aneh-aneh.""Kamu adalah cucu Oma satu-satunya, Sam. Cuma kamu yang bisa Oma harapkan. Dan Kemuning... Oma udah menganggap kamu seperti cucu Oma sendiri. Toh, kalian sama-sama belum punya pasangan, kan?" Kemuning diam. Ia memang tidak pernah bercerita kalau dirinya berpacaran dengan Eko. Toh, itu adalah urusan pribadinya. Yang penting, ia tahu bagaimana harus memisahkan antara urusan pribadinya dan pekerjaan. "Usia kalian sudah pas untuk menikah. Jadi, nggak ada salahnya kalian mulai saling m
Kemuning tidak tahu pasti pukul berapa dirinya sadar. Yang jelas, begitu membuka mata, ia langsung tahu kalau dirinya sudah berada di kamarnya sendiri. Rasa dingin yang tadi menggigit tubuhnya kini menghilang, tergantikan oleh rasa hangat yang berasal dari selimutnya. Ternyata pakaiannya sudah diganti.Kemuning tidak panik, karena orang pertama yang dilihatnya adalah seorang wanita paruh baya. Seseorang yang dikenalnya. Bi Yuyun. Pasti wanita itu yang mengganti pakaiannya. "Ning, kamu udah sadar. Apa yang dirasain?" tanya Bi Yuyun dengan raut khawatir. Kemuning tersenyum getir. Ternyata masih ada yang peduli padanya. "Syukurlah kamu udah sadar, Ning. Tadi kamu pingsan," kata Bi Yuyun lagi. Kemuning mengangguk. Ia kembali mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Tadi, ia seperti melihat sosok pria yang mobilnya hampir menabraknya di jalan raya. Tapi, sepertinya dia hanya berhalusinasi. Mana mungkin pria itu ada di rumah ini?Melihat Kemuning yang malah melamun, membuat Bi Yuyun tak la
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments