***Setelah perdebatan yang tidak menemukan ujung atas kesalahan Sea, pagi-pagi sekali Tomi menemui Anita baru saja Nando menelepon dan mengatakan jika Bagas mulai memproses laporannya.Meskipun Tomi tau jika langkah Bagas memang tegas, tapi tetap saja dia tidak mau putrinya mendekam di penjara. Ucapannya kemarin hanyalah ingin menampar keadaan Sea dengan sikapnya yang seolah-olah mendukung aksi Bagas melaporkan penyebar video calon istrinya."Waalaikumsalam, ah Pakde," pekik Anita sedikit berseru. Dia mencium punggung tangan Tomi dengan takzim. Melihat gelagat yang Anita berikan, Tomi dapat menyimpulkan jika wanita muda di depannya kini belum tau menahu tentang siapa pelaku penyebaran videonya. "Silahkan masuk! Maaf, masih berantakan. Rumah berhari-hari di tinggal, Nenek juga masih istirahat. Pakde mau minum apa?"Tomi mengulas senyum tipis. Dia bisa melihat sikap Anita yang ramah dan tulus tanpa dibuat-buat. Pantas saja Bagas menggilai wanita ini, pikir Tomi."Apa saja, Nak."Menden
***"Hamil, Fred?"Fredi mengangguk mantap. Laki-laki yang merangkap menjadi kepala Cafe dan showroom itu bisa memastikan jika telinganya masih berfungsi dengan baik."Tapi sepertinya Leo menolak anak yang wanita itu kandung. Ah, siapa namanya, Pak?""Citra. Namanya Citra, Fred," sahut Bagas tegas. "Bodoh sekali dia sampai merelakan dirinya dikoyak Leo."Fredi dan Bagas saling geleng. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Citra yang terkesan bisa memberikan semuanya demi laki-laki yang dia inginkan, apalagi dulu dia mengenal Leo sebagai laki-laki kaya, tapi nyatanya ...."Bagaimana jika wanita itu kalau Leo sudah ....?""Itulah yang sedang aku pikirkan, Fred. Citra tidak memiliki siapapun, aku takut dia akan kembali mengganggu Anita nanti," sela Bagas cepat."Sepertinya anda harus segera meresmikan Bu Anita, Pak. Wanita itu terlalu malang jika dibiarkan sendiri. Kita tidak tau apa yang akan terjadi ke depannya. T
***"Tanpa Pakde jelaskan sepertinya saya sudah menemukan jawabannya. Aneh memang, saya merasa Sea terlalu posesif pada Mas Bagas. Jadi benar dugaan saya, dia mencintai sepupunya sendiri," gumam Anita pada akhirnya."Pakde merasa gagal menjadi seorang Ayah, Nit. Anak yang selama ini Pakde kira sebagai wanita cerdas, ternyata berbuat hal yang bisa merugikan orang lain," papar Tomi. Dia tidak marah dengan ucapan Anita yang terkesan mengintimidasi tindakan Sea, bahkan diam-diam Tomi merasa tertipu, bagaimana bisa dia tidak menyadari sikap Sea yang terlalu berlebihan pada Bagas.Anita mengulas senyum tipis. "Jangankan Sea, semua orang jika mengedepankan perasaan maka akan menyingkirkan perasaan yang lain, Pakde."Tomi mengangguk membenarkan. "Kamu benar, Nit. Terima kasih karena sudah mengesampingkan emosi kamu. Pakde tidak tau harus membalas semua ini bagaimana nantinya.""Pakde cukup berjasa bagi hidup saya. Maaf, karena tidak bis
***"Darimana, Mas?"Tomi menutup mulutnya rapat. Dia terluka karena Gina menyembunyikan kenyataan tentang kebenaran perasaan Sea. Langkahnya semakin menjauh dari Gina yang saat ini masih saja terpaku di ambang pintu. Mendapat perlakuan dingin dari Tomi benar-benar menyakitkan, tapi Gina menyadari jika kekecewaan suaminya memang begitu dalam mengingat Sea adalah putri yang begitu dia sayangi."Kemana Sea?" Gina sedikit melebarkan langkah. "Ada di kamarnya, mau aku panggilkan, Mas?"Tomi mengangguk. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan satu tangan memijit pelipisnya yang terasa begitu pening. Siapa sangka, di usianya saat ini ia masih harus mengurus banyak hal yang begitu rumit."Ayah memanggilku?" "Duduklah. Ada banyak hal yang akan Ayah tanyakan padamu," sahut Tomi tegas. "Dengarkan baik-baik karena Ayah tidak akan mengulangi ucapan nantinya."Sea mengangguk lemah. Di depan Tomi dia benar-benar kehilangan dirinya yang bar-bar. Kasih sayang Tomi membuat Sea tidak bisa berkuti
***"Kalau saja dia nggak egois, pasti Bu Eni masih hidup!""Tutup mulut anda, Bu Diah!" sentak Bu RT lantang. "Kita sedang berada di rumah duka, jangan membuat suasana panas dengan omongan tidak bermutumu itu!"Dia menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan rumah Eni yang mulia ramai kedatangan para pelayat. Halimah memeluk Hesti, dia meminta maaf karena mengira semua ini salahnya."Semua yang bernyawa pasti akan mati, Hal. Aku tidak pernah menyalahkanmu karena kita pun tidak tau seperti apa trauma yang kamu rasakan. Hanya saja ... mungkin Ibu pergi dengan membawa perasaan damai karena dulu ...." Suara Hesti tercekat. Dia tidak bisa berkata-kata lagi karena tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Air mata masih berjatuhan. Rasa kehilangan tentu ada, tapi tentu saja hidup harus tetap berjalan meskipun kematian selalu siaga memisahkan setiap yang bernyawa."Aku sudah memaafkan semuanya, Mbak. Bu Diah benar, aku memang egois," aku Halimah lemah. Vano merengkuh lengan istrinya dan be
***Sehari setelah kedatangan Tomi ke rumah Anita ....|Bisa kita bertemu, ada yang ingin aku bicarakan denganmu! Sea|Anita mengela napas kasar. Dia mengurut keningnya seraya berpikir darimana Sea bisa mendapatkan nomor ponsel miliknya padahal selama ini keduanya tidak terlalu dekat.|Aku sibuk!| Balas Anita sekenanya. Dia merasa enggan bertatap muka dengan wanita yang sudah jelas-jelas mengibarkan bendera perang.|Aku tidak akan berbuat macam-macam, hanya ingin meminta maaf secara baik-baik di depanmu. Itu saja|Anita berpikir sejenak, setelah apa yang dia katakan pada Tomi kemarin, tidak mungkin jika Sea masih berani bertindak konyol.|Baiklah. Katakan dimana kita akan bertemu||Cafe Andalussie, pukul 11 siang aku menunggumu|Anita meletakkan ponselnya tanpa berniat membalas lagi pesan Sea. Sejak beberapa hari terakhir Bagas tidak lagi berkunjung ke rumahnya. Anita mencoba memahami karena ked
***"Apa Pakde mengancam kamu agar mau memaafkan Sea, Nit? Cepat katakan! Aku tidak akan memaafkan orang-orang yang sudah berbuat dzolim padamu!"Kilat kebencian terpancar di kedua mata Bagas. Laki-laki menatap luruh ke arah Anita sambil sesekali mengepalkan kedua tangannya."Sebegitu inginnya kah keluargamu melindungi Sea atas semua yang sudah ia lakukan terhadapku, Mas?"Lidah Bagas kelu. Menjelaskan semua pada Anita sama saja dengan menggores pisau tajam di hati wanitanya itu. Teringat bagaimana saat Vano begitu membela Sea, berharap Anita dengan hatinya yang lapang mau memaafkan Sea dan tidak memperkarakan semua yang sudah terjadi. Atau bagaimana sikap yang Halimah tunjukkan, seolah-olah Sea adalah orang asing yang belum benar-benar pantas mendapat perlakuan khusus dari Bagas, putranya."Aku memahami posisiku dengan baik, Mas. Sea adalah keponakan Ayah dan Ibu, apalagi Pakde Tomi juga sering sekali ikut andil dalam menyelesa
*** Sea melirik tajam ke arah dimana Anita yang terlihat duduk dengan begitu tenang. Satu kakinya bertumpu di paha yang lain membuat sikap Anita begitu menyebalkan di mata Sea. Bukan lagi Anita penakut yang dulu ada, tapi sosok Anita dengan segala kepalsuan karena mencoba mengelabui lawan dengan memperlihatkan dirinya yang tegar dan tidak terkalahkan. "Mau minum apa? Biar aku yang traktir kali ini," sahut Sea seolah tidak peduli dengan ucapan Anita barusan. Dia melambaikan tangan memanggil salah satu pelayan Cafe dan memesan dua gelas jus alpukat dengan beberapa camilan ringan untuk menemani obrolan keduanya. Anita tetap bungkam, bahkan untuk mengatur semua pesanan mereka adalah Sea. Dia memutar bola mata malas melihat sikap Sea yang sok akrab setelah berhasil membuat Anita malu bukan kepalang. "Bukankah itu wanita yang ada di video viral? Astaga, padahal dia cantik, tapi murahan!" "Benarkah? Coba ambil fotonya dan posting di akun sosial media kamu!" "Coba lihat, dia sama sekali