LOGINCantik itu luka. Bagi perempuan seperti Elea, kecantikan bukanlah tiket menuju kebahagiaan. Sebaliknya kecantikan adalah belenggu yang membuatnya terjerat dalam obsesi dan hasrat seorang pria yang memiliki segalanya. Seorang pria yang menganggapnya properti, bukan manusia. Rendra Adiguna Kartanegara. Nama yang menjadikannya boneka hidup dalam genggaman.
View MoreElea terkapar lemas tidak berdaya.
Napasnya terengah. Wajahnya banjir oleh keringat yang bercampur dengan jejak air mata yang sudah mengering. Elea memejamkan mata. Samar-samar, dia mendengar suara air yang mengalir dari kamar mandi. Berpikir pria yang baru saja menggaulinya tengah mandi, Elea ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi. Sayangnya tubuhnya terlalu lemas untuk digerakkan. Kakinya bahkan masih terasa bergetar. Pun di dalam tubuhnya masih terasa mengganjal seperti ereksi pria itu masih tertanam di dalam dirinya. Padahal satu-satunya yang ingin Elea lakukan adalah pergi, bergelung di bawah selimutnya sendiri. Berharap pria itu tidak menemukannya lagi. Saat Elea pikir pria itu tengah mandi, suara samar air yang mengalir tidak lagi terdengar. Disusul suara langkah kaki yang mendekat dan kasur yang ditempatinya bergerak pelan, pertanda ada seseorang yang mendudukinya. Elea masih betah memejamkan mata. Tidak ingin tahu apa yang kemungkinan sedang Rendra lakukan sekarang. Apa matanya yang dingin itu sedang menatap tubuhnya yang masih telanjang? Elea sontak membuka mata dan tersentak saat Rendra menarik tubuhnya yang lemas dan masih sensitif untuk mendekat. "Tenanglah, Lea." Rendra mendesis pelan saat Elea berontak dengan tenaganya yang lemah itu. Elea hanya menatap pria itu dengan nyalang. Tatapan penuh dengan kemarahan, frustrasi juga rasa jijik. Sebelum kemudian dia membuang wajahnya ke samping dengan gigi terkatup rapat. Sesaat kemudian telinganya mendengar suara kain yang diperas. Sejurus kemudian dia berjengit merasakan hangat dari kain yang diusapkan ke tubuhnya. Elea sontak memegang pergelangan tangan Rendra, panik ketika usapan kain itu turun menyeka paha dalamnya. Dia menatap Rendra, menyiratkan bahwa dia sudah terlalu lelah jika pria itu menginginkan memenuhi tubuhnya lagi. Rendra balas menatap Elea dengan ekspresi yang sulit dipahami, lalu menyingkirkan tangan perempuan yang lebih muda itu dari pergelangan tangannya, sebelum lanjut menyeka paha dalam Elea yang terdapat cairan yang sudah mengering. Elea menggigit bibir, mendesis refleks saat sapuan kain Rendra membersihkan kewanitaannya. Dia memejamkan mata pasrah seandainya perawatan yang diberikan pria itu akan berakhir ke hubungan seksual berikutnya. Dia terlalu lelah untuk protes apalagi untuk melawan. Namun, waktu berlalu, Rendra hanya telaten membersihkan tubuhnya. Tidak ada sentuhan-sentuhan yang terkesan nakal apalagi menunjukkan tanda pria itu akan kembali menggaulinya. Rendra bahkan turut membersihkan wajahnya. Lama-kelamaan, Elea cukup merasa rileks. Tak lama kemudian, Rendra sudah selesai membersihkan tubuhnya. Pria itu mengambil tempat di belakang tubuh Elea, menarik sang perempuan untuk mendekat sampai punggungnya menempel di dadanya. Elea ingin menjauh, namun dingin yang hadir karena dirinya tetap dibiarkan telanjang membuatnya terpaksa membiarkan tubuhnya merapat kepada tubuh Rendra yang terasa hangat. Rendra bahkan tidak menutupinya dengan selimut. Seolah sengaja ingin membuatnya kedinginan. Sepertinya memang demikian. Karena Elea merasakan suhu ruangan tiba-tiba berubah dingin. Rendra pasti menurunkan suhu AC. Alhasil hal itu buat Elea spontan merapatkan tubuhnya ke sosok di belakangnya. Yang langsung disambut dekapan hangat dari pria itu. Saat kesadaran Elea mulai menipis, bersiap jatuh ke alam bawah sadar, dia baru merasakan Rendra menarik selimut untuk menutupi mereka dengan lengan pria itu masih melingkari perutnya dengan posesif. *** Elea bangun saat mendengar samar-samar suara percakapan. Mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Namun, sejurus kemudian kembali terpejam ketika mengingat apa yang terjadi beberapa jam sebelumnya dan di mana dia berada — tepatnya dengan siapa dia berada sekarang. Bagaimana mungkin dia bisa kembali seperti ini setelah usaha yang dia lakukan untuk pergi dari pria itu? Sebuah pelarian yang sia-sia. "Bangunlah kalau sudah bangun." Suara rendah, berat dan dingin dari sosok pria yang menjadi alasannya melarikan diri terdengar. Elea tidak ada keinginan untuk membuka matanya. "Bangun kalau kamu tidak mau aku tiduri lagi." Ancaman tersebut ampuh membuat mata Elea terbuka. Tidak hanya membuka mata, dia bahkan membawa tubuhnya untuk bangkit. Teringat dia tidur tanpa berpakaian, Elea sontak ingin menarik selimut yang langsung urung ketika melihat kemeja kebesaran sudah menempel di tubuhnya. Elea menatap Rendra dengan tatapan marah, jijik, campur frustrasi yang masih sama seperti semalam. Tatapan yang masih sama yang sering perempuan itu layangkan di bulan-bulan sebelumnya. Rendra hanya balik menatapnya tanpa ekspresi. Seolah emosi yang tergambar jelas di mata perempuan itu tidak berarti apa pun baginya. "Sarapan," titahnya singkat. Elea masih belum bergerak di tempatnya. Meskipun hidangan di meja yang berada di depan Rendra tampak menggiurkan. Namun, dia sama sekali tidak punya selera untuk makan terlebih harus sarapan dengan pria itu. "Kamu lebih mau aku setubuhi lagi atau bagaimana?" Pria itu selalu menggunakan ancaman vulgar sampai membuat Elea terpaksa menurutinya. Karena takut ancaman itu benar-benar terjadi mengingat Rendra tidak pernah main-main dengan perkataannya. Elea terpaksa bergerak untuk menghampiri pria itu yang sedang meminum teh dengan anggunnya meskipun tubuhnya hanya dibalut oleh bathrobe. Aura bangsawannya memang tidak terelakkan meskipun kelakuannya sangat jauh dari citra seorang bangsawan, sangat jauh berbeda dari persona yang dia tampilkan di publik. Hanya Elea yang tahu betapa tidak bermoralnya pria bernama Rendra Adiguna Kartanegara itu. Padahal nama tengahnya berarti seseorang yang memiliki karakter mulia dan berbudi baik. Pria itu telah menodai nama Adiguna. Keluarganya pasti menangis seandainya tahu putra bungsu mereka tidaklah seberbudi luhur itu. Elea turun dari ranjang. Meringis pelan merasakan perih di selangkangannya. Di bawah tatapan Rendra yang tajam layaknya menanti mangsanya menghampirinya sendiri, Elea berjalan dengan sedikit tertatih. Meskipun merasa marah dan jijik, Elea tidak bisa mengabaikan rasa malu yang hadir saat pria itu terus menatapnya berjalan dengan kepayahan akibat perbuatannya semalam. Sesampainya di meja yang penuh dengan hidangan sarapan, alih-alih duduk di kursi yang berseberangan dengan Rendra, Elea malah tetap berdiri yang memantik decakan lidah dari sosok pria yang duduk dengan tenang dan penuh wibawa di kursinya itu. "Duduk, Elea. Jangan berlagak seperti kamu masih punya rasa hormat kepadaku." Kenyataannya Elea memang menunggu dipersilahkan duduk. Bagaimana pun rasa marah yang dia miliki kepada Rendra, Elea masih menganggap Rendra adalah tuannya. Mungkin efek kodratnya sebagai rakyat jelata yang menjadi anak pembantu di keluarga ningrat itu sulit untuk dihilangkan. "Makanlah," titah Rendra ketika Elea sudah duduk. Seperti sebelum-sebelumnya, Elea tidak langsung melaksanakan perintah. Seandainya Rendra tidak menangkap bibir perempuan itu sedikit bergetar, mungkin dia akan mengira yang sedang duduk di hadapannya adalah patung yang begitu cantik. "Makan, Lea." Rendra paling anti mengulang perintah, tapi jika dengan Elea, dia bisa melakukan perintah yang sama sampai perempuan itu mau menurut. "Tubuh kamu begitu kurus sampai aku tak berselera menyentuhnya." Tak berselera tapi tetap bisa menggaulinya seperti orang kesurupan. Munafik sekali pria itu. Dan ya, Elea tidak kaget. []Hal pertama yang Elea lihat begitu membuka matanya adalah langit-langit ruangan yang terlalu familiar. Langit-langit ruangan yang beberapa saat sebelumnya hendak dia tinggalkan.Elea langsung ingat apa yang terjadi sebelum dia terbaring seperti ini tanpa perlu repot-repot untuk mengumpulkan sepenuh kesadarannya.“Sayang sekali kamu masih harus terbangun di tempat yang ingin kamu tinggalkan.” Kata-kata itu keluar dari suara datar dan dingin, membuat Elea serta-merta menoleh. Jantungnya mencelos saat matanya menangkap sosok Rendra yang duduk di kursi samping tempat tidur. Kedua tangannya terlipat di depan, satu kakinya bertumpu di atas kaki lainnya. Ekspresinya dingin, persis seperti yang selalu Elea lihat dulu saat pria itu masih melihatnya tak lebih dari sekadar objek pelampiasan hasratnya.Penampilan pria itu terlihat berantakan. Rambutnya terkesan acak-acakan, matanya terlihat merah. Ada kelelahan yang terlihat jelas di antara ekspresi dingin dan sorot matanya yang tajam.Melihat
Celine mengepalkan tangan erat. Rahangnya mengetat kaku. Melihat kepergian Rendra yang baru saja meninggalkan peringatan tajam agar jangan pernah menemui lagi perempuan itu apalagi mengusiknya. Perempuan bernama Elea itu, perempuan yang bahkan jauh di bawah levelnya tapi bisa-bisanya membuat seorang Rendra Adiguna Kartanegara mau bertindak sejauh ini.Pria yang selama ini dia kenal dingin, tak tersentuh, dan selalu menjaganya ekspresinya tetap moderat, tapi hari ini justru bertindak mengikuti perasaan — sesuatu yang bahkan bahkan pernah Celine duga tidak pria itu miliki. Hari ini Celine menemukan fakta bahwa pria itu bisa mencintai, rupanya.Namun, rasanya begitu konyol sekaligus menjijikkan kenyataan bahwa cinta itu jatuh kepada seorang perempuan biasa, yang bahkan tidak seharusnya berada dalam lingkaran mereka. Siapa sangka pria yang selama ini terlihat begitu agung menjatuhkan hatinya kepada seorang pelayan.Hari ini, pria yang selama ini begitu berkelas menunjukkan kemarahan ha
Jika harus memilih, antara Elea yang malu-malu dan pasif atau Elea yang agresif, Rendra jelas akan memilih pilihan yang pertama. Elea yang agresif, penuh inisiatif… sungguh di luar batas kuasanya. Lihat saja sekarang. Padahal perempuan itu baru menciumi dadanya dan mengelus-ngelus kejantanannya di balik celana yang dipakainya, namun dia sudah begitu kesulitan menahan diri. Tubuhnya begitu panas, tegang seolah siap meledak kapan saja. Wajahnya rasanya nyaris terbakar. Napasnya tercekat. Dan otaknya seolah berhenti bekerja. Lemah, kan? Dia memang lemah kalau soal Elea. Selalu begitu. “Lea — “ Napas Rendra tercekat. Suaranya nyaris tak keluar, seperti tersangkut di tenggorokan. Dia menelan saliva dengan susah payah, terutama ketika matanya menangkap tangan mungil Elea yang dengan santainya menurunkan celana pendeknya. Dan saat itu juga, kejantanannya yang sudah begitu tegang akhirnya terbebas, menyembul keluar seolah menantang udara. Sial. Rendra memperhatikan Ele
Setibanya di penthouse, hal pertama yang keluar dari mulut Rendra adalah, “Di mana Elea?”Begitu mendapat jawaban dari pelayan bahwa Elea ada di kamar, dia langsung memacu langkahnya panjang-panjang, cepat dan begitu tergesa. Seolah jika dia tidak segera sampai, Elea mungkin tidak ada lagi di kamar.Ekspresi di wajah Rendra memancarkan kegelisahan yang sejak tadi dia tahan. Penyebab dari semua reaksinya malam ini karena dia mendapatkan laporan dari pengawal perempuan Elea — yang menyamar sebagai karyawan di toko bunga — bahwa Celine datang ke sana.Rendra memang tidak sepenuhnya menempati janji untuk membiarkan Elea berada di luar tanpa pengawasan. Rasa khawatir dan takut kehilangan yang begitu dalam membuat dia tetap melakukan itu.Sejak mendapat laporan tentang Celine menemui Elea, dia bahkan kesulitan fokus terhadap pekerjaannya. Ingin pulang, tapi pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan. Terlebih saat pengawal yang menyamar jadi karyawan di toko bunga Elea itu mengatakan, setelah ke
Saat Rendra mengatakan, dia tidak butuh izin siapa pun untuk bersama Elea, maka itu kebenarannya.Dia tidak peduli dengan restu ibunya. Dia hanya perlu memastikan ibunya tidak akan bisa menyakiti Elea barang sedikit pun. Dia tahu ibunya, tahu betapa kejamnya cara wanita itu menjaga harga diri dan kehormatan keluarga. Jika Elea dianggap sebagai ancaman dan noda di keluarga mereka, ibunya pasti tidak akan ragu melakukan segala cara untuk menyingkirkannya. Dan Rendra pun akan melakukan segala cara untuk melindunginya.Begitu pula dengan anggota keluarga lainnya. Mereka akan melihat ini sebagai celah, sebagai kesempatan untuk menjatuhkannya, untuk mencabut haknya sebagai pewaris sah. Namun, ironisnya, justru itulah yang Rendra inginkan.Selama ini, dia mengira dirinya menginginkan kekuasaan — takhta yang telah dipersiapkan untuknya sejak lama. Namun, pada akhirnya, dia baru menyadari bahwa semua itu hanyalah beban yang dipaksakan ke pundaknya, sesuatu yang tidak pernah benar-benar dia in
Selama ini, Elea selalu melihat Rendra sebagai pria yang begitu kejam, keras, arogan, angkuh— seolah tidak ada satu hal pun di dunia ini yang bisa menyentuhnya. Tapi malam ini, di hadapannya, Rendra bukan lagi pria yang dingin dan penuh kendali. Dia adalah seseorang yang terluka, seseorang yang menyembunyikan luka hatinya seperti kebanyakan manusia umum lainnya. Selama ini ternyata pria itu tidak pernah benar-benar menikmati hidupnya meskipun memiliki segalanya.Malam ini, dan mungkin juga untuk malam-malam selanjutnya, Elea memilih menyerah pada kata hatinya. Dia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan pria yang, di balik kekuasaannya, sebenarnya mungkin butuh diselamatkan. Dia setuju untuk tinggal. Namun, di balik keputusan itu, dia menyimpan keraguan yang tidak sepenuhnya sirna. Seberapa besar pun Rendra berjanji, seberapa tulus pun kata-katanya, permintaan maaf dan tangisnya malam ini, Elea tahu bahwa luka-luka masa lalu tak akan sembuh dalam semalam. Ada bagian dari diriny






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments