Anakku adalah alasanku untuk tersenyum, tertawa bahkan menangis. Dia adalah sumber kebahagiaanku, kekuatanku sekaligus kefrustrasianku. Dia yang membuat jantungku berdenyut bahkan dia adalah orang yang bisa membuat hatiku bersedih dan terluka. Tapi tanpa anakku, aku enggak akan bisa jadi diri aku yang sekarang ini, anakku adalah anugerah terindah yang tuhan berikan padaku.
Arini melamun, pandangannya terus menatap anaknya.
Kriing ... kriiing ... kriiing!
Lamunannya buyar dikagetkan dengan suara dering telepon yang terus berbunyi, saat melihat yang telepon ternyata suaminya, Arini enggan untuk mengangkatnya. Arini merasa sakit hati karena merasa di bohongi suaminya Badrun.
Sore hari ketika Arini dan keluarganya saat berkumpul melihat televisi, terdengar deru mobil masuk di halaman rumah mereka.
“Seperti ada suara mobil berhenti di halaman rumah, siapa itu, Bu?” kata Arini.
“Sebentar ibu lihat,” kata ibunya sambil berdiri dan berjalan ke
Di tengah kebimbangan hati Arini dia pun akhirnya memutuskan ke kamar untuk menyusui Arsy. Di lihatnya Arsy sedang di gendong oleh suaminya dan berusaha untuk menenangkannya. “Bawa sini Arsy biar aku susui,” kata Arini sambil mengambil Arsy dari gendongan suaminya. “Kamu masih marah padaku?” tanya suami Arini. Arini diam tidak menjawab perkataan suaminya. “Maafkan aku, aku membohongimu, kan, untuk menolong kedua orang tuamu, kalau aku tidak lakukan itu kamu pasti tidak mau untuk nikah denganku,” kata suami Arini. Arini tetap terdiam dan masih menyusui Arsy dengan posisi memiringkan tubuhnya menghadap tembok membelakangi suaminya. Setelah Beberapa saat menyusui, tiba-tiba terasa pundaknya ada yang memijit-mijit ternyata suaminya, yang sudah tidur di belakangnya sambil memijit- mijit bahunya. Arini yang masih merasa marah berusaha melepaskan tangan suaminya yang berada di pundaknya. “Apaan, sih, Risih! Kata Arini jengkel.
“Aku bertahan dengan pernikahanku bukan berarti aku lemah dan menyerah, justru aku bertahan karena aku kuat, aku bertahan demi anak-anak dan demi masa depan mereka. Aku tidak ingin jika terjadi perceraian anak-anakku akan menjadi korban dan menjadi pribadi yang tidak percaya diri, aku ingin akan selalu ada untuk mereka. Aku akan berusaha tegar menyambut kehidupanku ke depan,” kata Haryati dalam hati sambil duduk termenung berusaha untuk menguatkan diri sendiri. “Semoga suamiku di beri keselamatan di perjalanan,” batin Haryati. Menjelang sore Badrun sudah sampai di rumah Haryati istri pertamanya. Thok ... thok ... thok ....” mbok Rusmi mengetuk pintu kamar Haryati. “Bu, bapak sudah pulang,” kata mbok Rusmi. “Ya, aku akan keluar, tolong buatkan minum buat bapak dan siapkan air panas untuk mandi bapak,” kata Haryati. Haryati ke luar kamar dan berjalan menghampiri suaminya yang sedang duduk di ruang tamu. “Gimana, Mas?” tanya
“Semoga pindahanku menjadi awal yang baik bagi kehidupanku dan mas Badrun menepati janjinya untuk bertanggung jawab dan menyayangi kami sepenuh hati,” doa Arini dalam hati sambil meneruskan mengemasi barang- barangnya. Sebenarnya barang-barang yang di bawa Arini tidak banyak hanya beberapa Pakaian Arini dan Arsy anaknya, Badrun suaminya telah berpesan untuk tidak membawa barang-barang terlalu banyak, barang-barang keperluan rumah tangga nanti bisa untuk membeli di sana jadi Arini tidak terlalu ribet untuk dirinya pindahan. “Hanya ini, Rin, yang Kamu bawa?” tanya ibunya. “Ya, Bu,” jawab Arini. “Apa, Kamu tidak membawa piring, gelas dan lainya, untuk di gunakan di sana? “Enggak usah, Bu, mas Badrun bilang katanya semua peralatan rumah tangga beli di sana saja, agar tidak ribet nantinya,” jelas Arini. “Rin, sebenarnya ibu berat untuk melepasmu sendiri di sana tapi ini sudah merupakan keputusanmu dan demi kebahagiaanmu. “Aku minta
Keesokan harinya Arini sibuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke bagasi mobil, sementara Badrun mengendong Arsy anaknya. “Arini, barang-barangmu sudah kamu masukan ke bagasi mobil semua tidak ada yang ketinggalan, kan, sudah siap semua,” tanya ibunya. “Seingatku sudah semua, Bu,” jawab Arini. “Gimana, semuanya sudah siap?” tanya Badrun sambil menyerahkan Arsy pada Arini. “Sudah, Mas, mau berangkat sekarang?” “Arsy jangan rewel ya, Nak, kata Badrun sambil mencium kening anaknya. Ya sudah, kita berangkat sekarang.” “Ayo ibu masuk dulu, biar aku mengunci rumah,” kata Lasmi. Setelah Lasmi selesai mengunci pintu rumah lalu menyusul masuk ke mobil. Kemudian Badrun melajukan mobilnya. “Oh, ya, Mas, kemarin Mas bilang semua perabotan akan beli di sana semua, berarti rumahnya kosong belum ada perabotannya sama sekali?” tanya Arini di dalam mobil saat perjalanan. “Enggak kosong, kemarin aku sudah n
“Ya Allah, aku siap melewati hidup ini, terima kasih atas kesempatan hari ini, Engkau masih memberiku kesempatan untuk melihat dunia dan melihat orang-orang yang aku cintai, beri aku kekuatan untuk melewatinya, ya Allah, terus temani aku dalam setiap langkahku, lapangkan hatiku dalam menerima segala ketetapanmu, amiin,” kata Arini menutup doanya. Kini statusku adalah istri ke dua dari mas Badrun, aku akan mencoba menerima statusku ini walau ini bukan kemauanku tapi takdirlah yang mempertemukanku dengan mas Badrun yang sekarang berstatus suamiku,” batin Arini sambil melipat mukenanya setelah menjalankan sholat shubuh. Di pagi hari ibunya Arini bangun lebih awal saat subuh, dia langsung menuju ke dapur mencari ceret untuk memasak air. “Mana ya ceretnya, oh, itu dia, ternyata suami Arini sudah membelikannya,” batin ibunya Arini. Mendengar suara di dapur Arini bangun dari rebahannya, dia pun kemudian berjalan ke dapur untuk memeriksanya.
Arini turun dari mobil untuk membuka pintu tapi pintu rumahnya terkunci. Thok ... thok ... thok ....” “Lasmi, Buka pintu!” teriak Arini memanggil adiknya. “Ya, Kak, sebentar,” jawab Lasmi. “Kok di kunci kenapa? “Enggak apa-apa, Kak, hanya untuk jaga-jaga saja, aku kan sendirian di rumah,” jawab Lasmi. “Tuh, tolong bantuin Ratih bawa barang belanjaan dari mobil,” suruh Arini pada adiknya. “Ya, Kak,” kata Lasmi sambil berjalan ke arah mobil. Sedangkan Arini masuk ke kamar untuk menidurkan Arsy. Tak berselang lama suaminya menyusul ke kamar. “Rin, maaf aku mengajakmu pindah ke kontrakan, tidak langsung mengajakmu pindah ke rumah baru seperti yang kamu inginkan,” kata Badrun. “Tidak apa-apa, Mas,” jawab Arini. “Apakah kamu, merasa senang,” tanya Badrun. “Asalkan, Mas, selalu ada untukku aku senang walau di rumah kontrakan ini. Oh, ya, Mas, ibu dan adik-adikku besok mau pulang, kalau bisa aku
“Tidak pernah terpikirkan olehku untuk menjadi istri kedua, menjadi orang ketiga, bahkan menjadi perusak rumah tangga orang lain. Tapi keadaan membuatku harus menjadi seorang istri kedua. Namun selama ini aku terus mengalami konflik batin. Sejujurnya aku bukanlah seorang wanita yang jahat, yang tega merampas milik orang lain, tapi satu sisi aku juga membutuhkan mas Badrun, jujur aku mulai mencintainya.” Kadang aku sedih, karena aku jarang bertemu dengan mas Badrun, mungkin hanya sehari dalam seminggu aku bisa bersama mas Badrun dan aku mencoba untuk setia,” kata hati Arini. Kriing ... kriing ... kriiing ....” Terdengar dering telepon membuyarkan lamunan Arini yang sedang sendirian di rumah karena ibu dan adik-adiknya sudah pulang. Arini pun mengangkat telepon itu. “Hallo, ini dengan siapa?” tanya Arini saat menjawab telepon yang nomornya asing. “Hallo, dengan mbak Arini, ya, saya ibu Dani,” jawab ibu Dani. “Oh, ibu Dani, kirain siapa! Ada apa,
Pagi harinya mbak Sari datang ke rumah Arini untuk memenuhi pekerjaannya. “Mbak, ini Arsy kalau mau di mandikan dulu,” kata Arini sambil menyerahkan Arsy ke gendongan mbak Sari. “Iya, Mbak bawa sini,” kata mbak Sari. “Nang ning nang ninggung, anak lanang bagus dewe," kata mbak sari saat menggendong Arsy. “Rin, aku berangkat kerja dulu ya! “Ya, Mas,” kata Arini sambil mencium punggung tangan suaminya. Mbak Sari yang melihat Arini mencium tangan suaminya berkata dalam hati. “Hah, ternyata lelaki yang aku lihat sore kemarin saat aku pulang ternyata suami mbak Arini, umurnya kok jauh sekali lebih pantas kalau dia jadi bapaknya, kenapa mbak Arini mau menikahinya, padahal mbak Arini cantik dan masih muda, ih merinding aku,” batin mbak Sari penasaran. Melihat mbak Sari yang bengong memperhatikan dirinya. “Mbak, Mbak?” panggil Arini. “Eh, ya mbak,’ kata mbak Sari kaget. “Mbak, nanti airnya ke