Aku dan Dion menoleh pada pemilik suara itu.
Benar saja, Karina tersenyum ke arah kami dan berjalan mendekat. "Maaf, apakah aku mengganggu kalian?" tanya Karina sambil mendekat ke arah kami. Belum sempat ada yang bersuara, tiba- tiba Karina tersandung dan menabrakku yang berada di pinggiran kolam renang. Aku terjatuh ke kolam renang, aku memekik ketakutan, karena aku tidak bisa berenang. Apakah memang aku ditakdirkan harus mati? Sungguh sial sekali, memang nasib buruk selalu menimpaku, jika aku berada didekat Dion dan Karina. Seseorang memasuki kolam renang, dan menarik tanganku. Tubuhku benar- benar sudah terasa tidak berdaya, entah siapakah yang kini menolongku, aku pun tidak tahu. "Oliv, Olivia ...." Terdengar suara panik sahabatku. Aku melihat ke arahnya yang membantu menarik tubuhku naik. Aku direbahkan, dan lelaki yang menolongku tadi pun akhirnya naik ke tepian kolam renang. Terlihat wajahnya dengan samar, dia terlihat tampan, ditambah rambut basahnya yang memancarkan aura matang. "Ceroboh," ujar Dion, yang kini mendekat ke arahku. "Gara- gara kamu, Karina nyaris ikutan jatuh ke kolam. Meskipun dia tidak ikutan jatuh, tapi kakinya luka, Liv," lanjutnya. "Ah, Dion. Jangan begitu, aku yang salah, Olivia tidak salah," lirih Karina, dengan mata memerah, sembari meringis. "Cepat minta maaf pada Karina," pinta Dion kepadaku. "Dion, sudah, jangan begitu. Kamu nggak kasihan sama Oliv? Dia sampe basah begini," ucap Karina lagi. "Kamu itu terlalu baik, Rin. Biarkan Olivia minta maaf, dia yang ceroboh," jawab Dion. "Kamu buta atau bagaimana? Aku jatuh gara- gara dia mendorongku! Kenapa bisa aku yang minta maaf?" tanyaku dengan sengit. "Cepat minta maaf, jangan mengelak terus, Liv." "Nggak! Aku nggak salah, seharusnya Karina yang minta maaf. Karena gara- gara dia, aku nyaris mati," ujarku. "Kamu keras kepala sekali, Liv." "Dion cukup!" Suara keras terdengar. Aku menoleh ke arah lelaki yang tadi menolongku. Pandanganku ke arahnya mulai jelas, dan aku kini mengenali lelaki itu. "Ammar?" batinku. Para teman- teman yang ada diacara mulai berdatang ke arah kolam renang. "Olivia, kenapa?" Ronald mendekat, dia cukup terkejut melihat aku basah kuyup. "Bangun! Kamu harus segera mengganti baju. Kalau tidak, kamu akan demam," ujar Ammar, yang kini mendekat ke arahku. Tangan lelaki itu menjulur ke arahku yang masih terduduk dilantai. "Paman, tidak usah hiraukan dia. Dia ini memang suka sekali membuat masalah," kata Dion. "Tidak ada yang memintamu untuk bicara," sahut Ammar dengan tegas, membuat Dion tidak lagi bersuara. Aku meraih tangannya dan dia membantuku berdiri. Dia menuntunku ke arah parkiran. "Aku sudah pulang saja, Paman," ujarku bersuara. "Aku bukan Pamanmu," sahutnya, membuatku kikuk seketika. "Pakai ini." Dia mengeluarkan pakaian dari dalam mobil mewahnya. "Setelah mengganti pakaian, sebaiknya kamu langsung pulang," tegasnya. Belum sempat aku menyahut, lelaki itu masuk ke dalam mobilnya dan pergi begitu saja. Aku terdiam dalam kebingungan. "Sejak kapan kamu kenal dengan Pamanku?" Suara itu mengejutkanku. Aku berbalik badan, mendapati tatapan ketidaksukaan Dion. "Bukan urusanmu!" sahutku. "Olivia, aku bisa melupakan kejadian hari ini, dan memaklumi kamu. Tapi lain kali, aku nggak akan memakluminya. Karena kamu, Karina terluka." "Secinta itu ya, kamu sama Karina? Sampai- sampai mata kamu buta, tidak bisa membedakan siapa yang bersalah?" "Karina tidak sengaja, Liv. Tapi gara- gara kamu, dia terluka." Aku menggeleng, tidak paham lagi dengan jalan pikiran orang ini. "Lalu, menurut kamu aku sengaja?" "Sudahlah. Kamu terlalu keras kepala," hardiknya. "Gila," makiku. Tanpa berniat berganti baju, aku memilih masuk mobil, dan meninggalkan kediaman Ronald. Acara malam ini, tidak seperti yang terlihat. Bahkan diluar dugaan, aku sampai terjatuh ke kolam renang. Apa jangan- jangan, saat di dalam hutan, aku hanya sedang bermimpi buruk? Atau berhalusinasi, gara- gara aku tersesat. Aku bukan orang yang sedang reinkarnasi? Aku hanya sempat melihat masa depan buruk bersama Dion. Setidaknya aku merasa lega, semua bayangan itu, tidak menjadi nyata. Aku pulang ke rumah dalam keadaan kacau, membuat Ayah dan Ibu terlihat heran. "Kamu kenapa, Liv?" Mereka bertanya. "Jatuh ke kolam renang," jawabku singkat. "Astaga, ceroboh sekali kamu, Liv. Jadi malam ini, kamu nggak bisa dekat sama Tuan muda Dion?" Aku tercengang, ketika mendengar pertanyaan ayah. Tuan muda Dion? Sejak kapan ayah begitu hormat kepada lelaki buta itu. "Aku tidak suka Dion, Ayah." Tiba- tiba Ayah berdiri dan menampar wajahku dengan keras. "Dasar keras kepala. Apa susahnya membantu orang tua, Liv? Kamu hanya harus menikah dengannya, itu juga demi kebaikan kamu," tegas Ayah. "Kenapa harus aku, Yah? Kan masih ada Kak Zoya? Dia juga belum menikah." "Kenapa bawa- bawa kak Zoya? Dia wanita hebat, memiliki karir yang cemerlang. Jangan kamu usik dia," bentak ibu, yang ikut bersuara. Rasanya, aku kehilangan akal. Padahal, aku anak mereka juga.Mengapa hanya aku yang dipaksa?
"Jadi, kalian mau mengorbankan aku? Hanya karena aku belum jadi orang hebat?" tanyaku pada akhirnya.
Bab87"Turun!" teriaknya lagi. Aku hanya terdiam, menatap dalam ke wajah wanita paru baya yang bergelar ibu mertua itu.Wanita yang sudah lupa asal- usulnya. Wanita yang seakan sedang berdiri tinggi di atas awan, padahal bukan siapa- siapa."Kamu tuli?" Dia kembali bersuara, dan dengan langkah yang semakin cepat, menuju ke arah kami semua berdiri."Berisik! Satpam, tahan wanita itu," tunjuk kak Dewa, ke arah ibu mertua.Seketika, wajah tua wanita itu terkejut."Kenapa saya ditahan? Memangnya kamu siapa. Ini hari penting untuk anak saya," ujar ibu mertua."Heh Mike, ngapain kamu duduk disitu?" tanya wanita itu, yang baru melihat ke arah Mike terduduk.Mike tidak menyahut."Davina? Ini ada apa, kenapa kalian berdua duduk di lantai?"Ibu mertua terlihat semakin bingung. Namun dia tidak bisa melangkah maju lagi, karena kini di hadapannya ada dua petugas keamanan menghadang."Anakku lelaki terhormat, dan menantuky wanita hebat. Apa yang telah kalian semua lakukan pada mereka? Apakah ini ul
Bab86"Hei, Mike. Kenapa kamu jadi nyalahin aku begini? Kamu dan ibumu yang mau menghadirkan aku, dengan iming- iming karir yang melejit, apa kamu lupa? Kamu jangan coba- coba seakan akan aku yang salah. Padahal kamu dan ibumu, yang menipu Rosalinda.""Diam! Busuk, kamu jangan fitnah aku." Mike berteriak panik."Aku punya semua buktinya, Mike. Semua pesan singkat yang kamu kirim, nggak pernah aku hapus. Untuk apa aku fitnah kamu, akui saja, Mike. Jadilah lelaki kali ini," ujar Davina."Rosa, Rosalinda. Tolong sayang, percaya aku, oke. Dia yang merayuku lebih dulu, aku hanya cinta kamu, aku khilaf sayang." Kini Mike menatapku, dengan tatapan memohon. Dia masih terduduk di lantai panggung, tanpa berani mendekat lagi. "Khilaf?" Aku terkekeh, mengulang kalimat khilafnya."Iya sayang. Iya, aku khilaf. Kamu percaya kan, kalau aku hanya cinta kamu. Bukan dia!" tunjuk Mike ke arah Davina."Wanita murahan seperti dia, mana cocok sama aku," lanjut Mike, sembari merendahkan Davina.Tiba- tiba D
Bab85"Siapa yang kamu katakan miskin?" Suara berat kak Dewa menggema. Aura nya menunjukkan ketegasan."Pak, jangan salah paham. Saya mengatakan wanita yang bersama anda itu, dia miskin dan tidak mempunyai keluarga.""Oh ya. Kamu beneran nggak punya keluarga?" Kak Dewa bertanya padaku. Tatapannya begitu penasaran dan cukup serius.Aku tersenyum."Ngapain ditanya, dia emang anak yatim piatu dari panti asuhan, orang tuanya tidak jelas. Entah anak hasil dari hubungan gelap, kita tidak pernah tahu." Davina bersuara lagi.Ucapan kasar dan pedasnya, membuat aku cukup terkejut, begitu juga dengan kak Dewa.Lelaki itu mengepalkan tinjunya, dan ingin sekali mengamuk."Ulangi sekali lagi," ujar kak Dewa, menatap marah pada Davina.Davina benar- benar menunjukkan wajah aslinya malam ini. Ucapan kasar dan pedasnya itu, mendapat dukungan dari Mike. Lelaki itu bahkan tidak menegur Davina sama sekali, dia membiarkan aku dihina wanita itu di depan umum malam ini.Kurasa, dia juga mungkin sudah menyera
Bab84"Jadi, cuma kamu yang pantas?""Rosa! Aku dan Davina datang ke acara penting perusahaan, juga karirku. Kenapa sih kamu egois begini.""Ros. Siapa dia?" tanya kak Dewa. Dia memang tidak tahu, kalau lelaki di depan kami ini adalah Mike."Saya suaminya." Mike menyahut."Suami Rosa?" Kak Dewa memperlihatkan ekspresi terkejut. Namun detik berikutnya, terlihat wajah marahnya, yang membuatku seketika memegang tangan kak Dewa, memberinya isyarat untuk tenang."Kenapa? Anda tidak malu, membawa wanita bersuami ke acara ini?""Kalau Rosa istri anda, terus wanita ini siapa?" tanya kak Dewa dengan tenang."Ini bukan urusan anda, sebaiknya jangan ikut campur." "Oh ya. Oke." Kak Dewa memilih diam."Rosa, pulang. Jangan buat aku malu," pinta Mike."Kak, aku lapar," rengekku pada kak Dewa, dan mengabaikan titah dari Mike."Ayo." Kak Dewa tersenyum sembari memegang tanganku dengan sengaja."Rosa! Kamu benar'benar keterlaluan. Aku nggak akan maafin kamu," ujar Mike memberi peringatan.Aku dan kak
Bab83"Jika memang itu yang terbaik, mari berpisah, Mike. Kurasa, aku tidak kamu butuhkan lagi.""Mike, jangan emosi. Kasihan Rosalinda, jika kamu ceraikan dia, dia akan jadi pengemis nantinya," kata Davina, yang kini memegangi tangan Mike di hadapanku dengan berani."Aku tidak perduli, Vin. Dia sudah keterlaluan menghina kamu, aku nggak suka." Dua sejoli ini, berdrama di depanku, memuakkan."Aku nggak apa- apa, Mike. Wajar dia hina aku, karena aku tidak memiliki kejelasan status sama kamu.""Ceraikan aku dulu, baru kamu tuntut status," timpalku."Rosalinda. Kalau kamu terus melawan Mike, aku nggak bisa bantu lagi.""Memangnya kamu bantu apa? Bantu merusak, bukannya sudah tercapai?""Ros. Jaga ucapan kamu," bentak Mike lagi."Rosa. Aku tidak pernah ada niat merusak, aku hanya kasihan sama ibu, yang begitu ingin punya menantu karir sepertiku. Dan juga pengen punya cucu, karena aku tidak mandul gitu, Ros.""Kalau kamu peduli ibu, pinta saja sama Mike, untuk segera ceraikan aku, beres!"
Bab82"Kenapa diam?" tanyaku lagi, merasa mulai kehilangan rasa sabar."Tidak perlu teriak- teriak, Ros. Aku dan Davina memang dekat, apa salahnya?" "Ya, kalau cuma teman, kenapa harus dia yang kamu bawa?""Kenapa hal begini harus debat, Ros? Davina itu cantik, dia juga teman satu perusahaan sama aku. Aku nggak akan malu bawa dia, malah saling bangga."Aku mengernyit."Jadi, aku nggak cantik, nggak menarik dan tidak membanggakan?""Sudahlah, capek. Ngomong sama wanita pengangguran, tahunya cuma nuntut saja, capek."Aku tersentak, mendengar ucapan pedasnya. Tidak kusangga, ternyata dia mulai tega mengucapkan kata- kata yang menyakitkan. Andai saja dia tahu siapa aku, entah apa dia masih berani berkata remeh semacam ini."Wanita pengangguran? Banyak menuntut? Rupanya kamu benar- benar tidak layak di pertahankan.""Maksud kamu apa, Rosalinda? Bukannya bersukur, karena hidup denganku, kamu jadi enak. Punya segalanya, jauh dengan masa lalumu, anak yatim."Gila, benar- benar ucapannya sema