Kumantapkan hati, untuk tetap datang ke pesta.
Masalah minuman? Kurasa aku bisa menghindarinya.
Aku berangkat mengendarai mobil sendiri malam ini. Entah mengapa, ibu begitu baik dan meminjamkan padaku mobilnya. Kejadian yang membuat cinta 1 malam itu terjadi, ketika acara perpisahan diadakan di sebuah Hotel ternama. Tapi kenyataannya, acara diadakan Ronald di rumah mewahnya. Takdir ini lumayan membuatku was- was, ketika sampai ditujuan, dan memarkirkan mobil. Setelah parkir, aku mulai bergabung ke dalam pesta, mendekati teman- teman lainnya. Acara diadakan di taman rumah Ronald, dan di dekat kolam renangnya. "Nyalimu besar juga, berani datang ke acara ini," ucap Siska, yang suaranya terdengar dari belakangku. Dan seperti biasa, dia datang bersama Lani, juga sesembahannya, Karin. Aku berbalik badan, dan melempar senyum mengejek ke arah mereka. "Dari dulu nyaliku besar, masa kamu ragukan itu?" "Cih! Wanita culas, memanfaatkan Dion, hanya untuk sebuah peringkat." Lani bersuara, membuatku ingin terbahak. "Lani, kalau kamu bodoh, mending kamu diam. Dari dulu, aku itu sudah pinter. Bahkan, aku selalu juara kelas, meskipun hanya juara 2. Dan kini, jika aku juara 1, itu berarti aku semakin maju, gak seperti kamu, mundur," ejekku. Lani mendengkus, dan tidak berani menyahut lagi. "Semakin sombong saja kamu, pantes Dion tidak suka. Sikapmu dan Karina, sangat jauh berbeda." Siska bersuara, dan membuat aku terkekeh. "Memangnya aku perduli? Lagi pula, aku sudah tidak suka Dion, kalau Karina mau, jadian saja sana," sahutku sambil berjalan, meninggalkan tiga wanita usil itu. Disaat aku berjalan menuju meja yang terletak banyak minuman, aku terdiam sejenak. Di dalam bayangan itu, aku meminum jus buah, kemudian membawa sepotong cake, dan duduk. Setelah menyantap cake dan menyesap minuman jus sampai habis, aku diberikan air putih oleh seorang pelayan. Aku tidak duduk sendiri saat itu, tapi sedang mengobrol bersama Dinda, juga sepupuku yang juga memang 1 kelas denganku. Entah siapa yang berniat jahat kepadaku sebelumnya. Yang jelas, aku harus waspada malam ini. Acara pesta pun dimulai, pestanya sangat meriah, bahkan Ronald mengadakannya tidak main- main, dia sampai mendatangkan artis ibukota, yang cukup terkenal, untuk memeriahkan pesta perpisahan malam ini. "Kamu cantik sekali malam ini, Olivia," puji Ronald, yang kini berjalan mendekatiku. "Terimakasih, Ronald," ujarku sambil tersenyum. "Olivia, ayo berdansa denganku malam ini?" ajak Ronald. Karena acara sudah memasuki sesi dansa. Bahkan, beberapa teman- teman, sudah mulai berdansa. "Olivia tidak bisa berdansa ...." suara berat mengintrupsi. Aku dan Ronald melihat ke arahnya. "Dion," batinku. Lelaki yang begitu aku sukai itu, kini mendekat ke arah kami dengan sikap yang kharismatik. "Wow, Dion." Ronald menyapa lelaki yang kini menatap dingin ke arah kami. "Olivia tidak bisa berdansa, jangan mengajaknya, kamu akan malu," ucap Dion pada Ronald. "Kata siapa?" Aku menyahut,"Ronald, ayo berdansa," kataku, membuat Ronald tersenyum manis. "Gas," ujarnya langsung meraih tanganku. Aku pun mengikuti langkahnya, dan mengabaikan tatapan masam Dion. "Kamu beneran bisa berdansa?" tanya Ronald lagi, ketika kami memasuki area dansa. "Bisa dong. Kamu meragukan aku?" jawabku sambil mulai melakukan gerakkan dansa. Ronald tersenyum, sembari terlihat menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kami berdua berdansa, sembari menikmati musik. Dan tiba- tiba, sebuah tangan kekar, memegangi lenganku. Aku dan Ronald terkejut, ketika melihat Dion, dengan tatapan marah, serta matanya yang memerah. "Ikut aku," titahnya, membuat aku dan Ronald tercengang. "Lepaskan! Sakit," rintihku. "Dion, lepaskan Oliv," ujar Ronald, yang juga ikut tidak senang, melihat sikap Dion. "Jangan ikut campur," bentak Dion pada Ronald. "Bukannya kamu tidak suka Olivia? Terus kenapa tingkah kamu seperti ini," tanya Ronald. "Lepasin nggak?" Aku ikut bersuara. Dan teman' teman yang berdansa pun semua jadi kebingungan, melihat keributan kami. "Ikut aku," tegas Dion, yang langsung menarikku dari tempat berdansa. Ronald kini hanya terdiam, tidak lagi bersikeras menahan tanganku. Dion menarikku menjauh dari ramainya teman- teman. Lelaki itu membawaku ke dekat kolam renang. "Trik apalagi ini, Olivia?" tanya Dion dengan emosi, membuatku rasanya ingin sekali berteriak. "Seenaknya kamu bilang suka, dan sekarang seenaknya pula, kamu bilang berhenti suka! Kamu mau mempermainkan aku?" lanjutnya. Hatiku berdebar, mendengar ucapannya. Aku khawatir, aku takut kembali tidak bisa mengendalikan perasaan ini lagi. Karena bagaimana pun juga, membuang perasaan cinta bukanlah perkara mudah. Apalagi, semua orang juga tahu, aku begitu tergila gila pada Dion, bahkan selalu menempel padanya. Dan kini, aku membuat jarak, yang sulit semua orang percaya, termasuk Dion. "Aku sudah berusaha, dan sangat berusaha. Tolong menjauhlah, demi kebaikan kita bersama," lirihku pada akhirnya. Dion terdiam, mendengar penuturanku. "Dion ...." Suara lembut itu membuat kami menoleh.Bab87"Turun!" teriaknya lagi. Aku hanya terdiam, menatap dalam ke wajah wanita paru baya yang bergelar ibu mertua itu.Wanita yang sudah lupa asal- usulnya. Wanita yang seakan sedang berdiri tinggi di atas awan, padahal bukan siapa- siapa."Kamu tuli?" Dia kembali bersuara, dan dengan langkah yang semakin cepat, menuju ke arah kami semua berdiri."Berisik! Satpam, tahan wanita itu," tunjuk kak Dewa, ke arah ibu mertua.Seketika, wajah tua wanita itu terkejut."Kenapa saya ditahan? Memangnya kamu siapa. Ini hari penting untuk anak saya," ujar ibu mertua."Heh Mike, ngapain kamu duduk disitu?" tanya wanita itu, yang baru melihat ke arah Mike terduduk.Mike tidak menyahut."Davina? Ini ada apa, kenapa kalian berdua duduk di lantai?"Ibu mertua terlihat semakin bingung. Namun dia tidak bisa melangkah maju lagi, karena kini di hadapannya ada dua petugas keamanan menghadang."Anakku lelaki terhormat, dan menantuky wanita hebat. Apa yang telah kalian semua lakukan pada mereka? Apakah ini ul
Bab86"Hei, Mike. Kenapa kamu jadi nyalahin aku begini? Kamu dan ibumu yang mau menghadirkan aku, dengan iming- iming karir yang melejit, apa kamu lupa? Kamu jangan coba- coba seakan akan aku yang salah. Padahal kamu dan ibumu, yang menipu Rosalinda.""Diam! Busuk, kamu jangan fitnah aku." Mike berteriak panik."Aku punya semua buktinya, Mike. Semua pesan singkat yang kamu kirim, nggak pernah aku hapus. Untuk apa aku fitnah kamu, akui saja, Mike. Jadilah lelaki kali ini," ujar Davina."Rosa, Rosalinda. Tolong sayang, percaya aku, oke. Dia yang merayuku lebih dulu, aku hanya cinta kamu, aku khilaf sayang." Kini Mike menatapku, dengan tatapan memohon. Dia masih terduduk di lantai panggung, tanpa berani mendekat lagi. "Khilaf?" Aku terkekeh, mengulang kalimat khilafnya."Iya sayang. Iya, aku khilaf. Kamu percaya kan, kalau aku hanya cinta kamu. Bukan dia!" tunjuk Mike ke arah Davina."Wanita murahan seperti dia, mana cocok sama aku," lanjut Mike, sembari merendahkan Davina.Tiba- tiba D
Bab85"Siapa yang kamu katakan miskin?" Suara berat kak Dewa menggema. Aura nya menunjukkan ketegasan."Pak, jangan salah paham. Saya mengatakan wanita yang bersama anda itu, dia miskin dan tidak mempunyai keluarga.""Oh ya. Kamu beneran nggak punya keluarga?" Kak Dewa bertanya padaku. Tatapannya begitu penasaran dan cukup serius.Aku tersenyum."Ngapain ditanya, dia emang anak yatim piatu dari panti asuhan, orang tuanya tidak jelas. Entah anak hasil dari hubungan gelap, kita tidak pernah tahu." Davina bersuara lagi.Ucapan kasar dan pedasnya, membuat aku cukup terkejut, begitu juga dengan kak Dewa.Lelaki itu mengepalkan tinjunya, dan ingin sekali mengamuk."Ulangi sekali lagi," ujar kak Dewa, menatap marah pada Davina.Davina benar- benar menunjukkan wajah aslinya malam ini. Ucapan kasar dan pedasnya itu, mendapat dukungan dari Mike. Lelaki itu bahkan tidak menegur Davina sama sekali, dia membiarkan aku dihina wanita itu di depan umum malam ini.Kurasa, dia juga mungkin sudah menyera
Bab84"Jadi, cuma kamu yang pantas?""Rosa! Aku dan Davina datang ke acara penting perusahaan, juga karirku. Kenapa sih kamu egois begini.""Ros. Siapa dia?" tanya kak Dewa. Dia memang tidak tahu, kalau lelaki di depan kami ini adalah Mike."Saya suaminya." Mike menyahut."Suami Rosa?" Kak Dewa memperlihatkan ekspresi terkejut. Namun detik berikutnya, terlihat wajah marahnya, yang membuatku seketika memegang tangan kak Dewa, memberinya isyarat untuk tenang."Kenapa? Anda tidak malu, membawa wanita bersuami ke acara ini?""Kalau Rosa istri anda, terus wanita ini siapa?" tanya kak Dewa dengan tenang."Ini bukan urusan anda, sebaiknya jangan ikut campur." "Oh ya. Oke." Kak Dewa memilih diam."Rosa, pulang. Jangan buat aku malu," pinta Mike."Kak, aku lapar," rengekku pada kak Dewa, dan mengabaikan titah dari Mike."Ayo." Kak Dewa tersenyum sembari memegang tanganku dengan sengaja."Rosa! Kamu benar'benar keterlaluan. Aku nggak akan maafin kamu," ujar Mike memberi peringatan.Aku dan kak
Bab83"Jika memang itu yang terbaik, mari berpisah, Mike. Kurasa, aku tidak kamu butuhkan lagi.""Mike, jangan emosi. Kasihan Rosalinda, jika kamu ceraikan dia, dia akan jadi pengemis nantinya," kata Davina, yang kini memegangi tangan Mike di hadapanku dengan berani."Aku tidak perduli, Vin. Dia sudah keterlaluan menghina kamu, aku nggak suka." Dua sejoli ini, berdrama di depanku, memuakkan."Aku nggak apa- apa, Mike. Wajar dia hina aku, karena aku tidak memiliki kejelasan status sama kamu.""Ceraikan aku dulu, baru kamu tuntut status," timpalku."Rosalinda. Kalau kamu terus melawan Mike, aku nggak bisa bantu lagi.""Memangnya kamu bantu apa? Bantu merusak, bukannya sudah tercapai?""Ros. Jaga ucapan kamu," bentak Mike lagi."Rosa. Aku tidak pernah ada niat merusak, aku hanya kasihan sama ibu, yang begitu ingin punya menantu karir sepertiku. Dan juga pengen punya cucu, karena aku tidak mandul gitu, Ros.""Kalau kamu peduli ibu, pinta saja sama Mike, untuk segera ceraikan aku, beres!"
Bab82"Kenapa diam?" tanyaku lagi, merasa mulai kehilangan rasa sabar."Tidak perlu teriak- teriak, Ros. Aku dan Davina memang dekat, apa salahnya?" "Ya, kalau cuma teman, kenapa harus dia yang kamu bawa?""Kenapa hal begini harus debat, Ros? Davina itu cantik, dia juga teman satu perusahaan sama aku. Aku nggak akan malu bawa dia, malah saling bangga."Aku mengernyit."Jadi, aku nggak cantik, nggak menarik dan tidak membanggakan?""Sudahlah, capek. Ngomong sama wanita pengangguran, tahunya cuma nuntut saja, capek."Aku tersentak, mendengar ucapan pedasnya. Tidak kusangga, ternyata dia mulai tega mengucapkan kata- kata yang menyakitkan. Andai saja dia tahu siapa aku, entah apa dia masih berani berkata remeh semacam ini."Wanita pengangguran? Banyak menuntut? Rupanya kamu benar- benar tidak layak di pertahankan.""Maksud kamu apa, Rosalinda? Bukannya bersukur, karena hidup denganku, kamu jadi enak. Punya segalanya, jauh dengan masa lalumu, anak yatim."Gila, benar- benar ucapannya sema