“Menurutku, dia sengaja memancing rasa penasaran orang-orang. Tujuan akhirnya, apa lagi kalau bukan membongkar hubungan kalian dulu?”Zidan mondar-mandir di depan meja kerja Sena, terlihat lebih gelisah ketimbang korban sesungguhnya. Pria itu berpikir keras, menganalisa situasi yang menurutnya sangat patut diwaspadai.“Sebenarnya, bukan masalah besar andai hubungan kalian dulu akhirnya jadi konsumsi publik. Nyatanya memang pernah terjadi, kan? Pacaran, lalu putus, itu wajar. Masalah adalah alasan kalian bubaran.”Sena duduk menyandar di kursi kerjanya sambil bersedekap. Rasanya jengah melihat Zidan jalan bolak-balik seperti metronom. “Aku sama dia putus karena dia selingkuh,” ujar Sena enteng.Sena menghela napas, lega karena gerak monoton sahabatnya tampak terhenti.“Dia sendiri yang bakal repot kalau orang-orang tahu soal itu. Nggak cocok untuk citra yang dia bangun selama ini.”Sikap tenang Sena membuat Zidan agak frustasi. Satu tangannya berkacak pinggang, sementara lainnya digun
“Nggak bisa, Kanya.”Sena mendengar dengusan dari seberang sana. Bisa dibayangkan bagaimana ekspresi kecewa Kanya karena ia menolak melakukan apa yang diinginkan istrinya itu.“Katamu aku boleh minta apa pun. Masa kayak begitu aja nggak bisa?” protes Kanya.Sena baru saja selesai rapat beberapa menit yang lalu dan langsung menelepon Kanya begitu sampai ruangannya lagi.Lewat pesan singkat, Kanya telah menerangkan keinginannya mengajak Sena rekaman siniar bersama. Kanya memang mengelola saluran siniar yang lumayan punya banyak pendengar. Di sana, biasanya dia berbagi konten edukasi tentang kepenulisan, mengulas buku-buku yang ia baca, atau sekedar membacakan nukilan favorit dari buku karyanya.Namun, kali ini Kanya ingin membikin konten yang lebih kasual bersama Sena. Konsepnya adalah mendengar keluh kesah Sena sebagai suami penulis. Nantinya, Kanya ingin menutupnya dengan pertanyaan, “Apakah pernah menyesal karena memutuskan menikah dengan seorang penulis?”Jika memang hanya seperti i
Kanya mungkin baru menyadarinya belakangan ini, tetapi perasaan itu barangkali sudah mulai tumbuh jauh sebelumnya.Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Mungkin saja tanpa sadar Kanya jatuh di sela-sela kesibukannya melakoni sandiwara. Dari sekian banyak orang yang berhasil mereka buat percaya, siapa sangka Kanya juga diam-diam terjerat cinta palsunya Sena.Sena cuma pura-pura cinta, tetapi Kanya bisa-bisanya malah sungguhan terpesona.“Ayo, pulang.”Kanya cuma diam memandangi tangan Sena yang diulurkan padanya. Biasanya dia tidak perlu berpikir dua kali untuk meraihnya, tetapi kali ini beda. Rasanya ada sedikit ketakutan yang membuatnya ragu.Kebimbangan itu terbaca oleh Mika. “Kami masih mau ngobrol,” kata Mika pada Sena yang berdiri di samping meja mereka.Perhatian Sena beralih sejenak ke Mika, lalu kembali menatap Kanya yang kini tampak menundukkan kepala.“Oh, oke,” ucap Sena seraya menarik tangannya. “Kalau begitu, aku ngobrol sama Bastian dulu.”Sena mengusap puncak kepala Kany
Kanya telah berulang kali menulis tentang betapa hebatnya sebuah pelukan. Meski hanya beberapa detik, komunikasi nonverbal ini bisa memberikan banyak manfaat.Saat bersedih, ada kalanya kamu tidak ingin mendengarkan kalimat penghiburan apa pun. Kamu hanya berharap didengarkan dan mendapat pelukan yang menenangkan.Gestur sederhana, tetapi efeknya luar biasa. Hanya dengan sebuah pelukan, seseorang bisa merasa dirinya begitu dihargai, diterima apa adanya, dan tentu saja, lebih dicintai. Kanya pun percaya bahwa pelukan yang hangat dapat meredakan kecemasan dan segala bentuk emosi negatif lainnya.“Mas mau aku peluk?”Di matanya saat ini, Sena tampak tidak baik-baik saja. Setelah mengungkapkan hal menyakitkan yang dialaminya, pria itu terlihat agak gelisah dan tidak nyaman.Jika ada di posisi Sena, Kanya yakin setidaknya dia akan merasa sedikit lebih baik kalau ada seseorang yang sukarela memberinya pelukan. Oleh karenanya, jika Sena tidak keberatan, Kanya ingin memberikan sebuah peluka
Kenangan lama memang bisa muncul begitu saja tanpa aba-aba. Kanya sendiri tak menyangka dirinya bisa dengan santainya menyebut nama mendiang Arga saat Sena ada di sisinya. Ingatannya tiba-tiba terlempar ke masa lalu—hari di mana Arga masih bersamanya.Dulu, Kanya dan Arga memang cukup sering datang ke taman ini. Mereka suka duduk di bangku kayu yang menghadap danau kecil di tengah area publik tersebut. Keduanya juga senang menggelar tikar piknik di bawah pohon, lengkap dengan berbagai bekal makanan yang minuman kesukaan Kanya.Sesibuk apa pun Arga, dia pasti tetap menyempatkan waktu untuk menemani Kanya. Terlebih saat mendapati Kanya kelihatan pusing karena mengalami kebuntuan menulis, Arga sering langsung mengajak sang kekasih pergi ke taman agar bisa menyegarkan pikiran.“Jangan baca buku,” begitulah kalimat yang hampir selalu diucapkan Arga saat Kanya berniat mengabaikannya dengan membaca buku.Hari itu pun begitu. Sambil tersenyum manis, Arga merebut sebuah buku dari tangan Kanya,
Pernikahan macam apa ini? Kenapa bisa ada suami yang mengizinkan istrinya mencintai pria lain seumur hidup?“Dalam pernikahan ini, kamu boleh mencintai Mas Arga seumur hidupmu ….”Kata-kata Sena menggema di kepala Kanya. Semakin dipikir, semakin aneh kedengarannya.Kanya tidak lupa jika pernikahan yang dia jalani saat ini tidak berlandaskan cinta. Dia masih ingat bahwa sejak awal Sena mengatakan padanya soal ketidakmungkinan pria itu jatuh cinta padanya sampai kapan pun.Hanya saja, apakah semua pernikahan tanpa cinta memang bisa begini? Bukankah itu sama saja menyuruh si istri untuk melakukan hal yang sama?Oh, mungkin ada saja orang-orang di luar sana yang dapat menjalani pernikahan dengan konsep demikian. Namun, Kanya sepertinya bukan bagian dari mereka.“Mas Sena bikin aku menjadi pihak yang lebih egois dalam pernikahan ini,” katanya Kanya usai hening beberapa saat di antara mereka.“Kita bisa dibilang sedang menghadapi masalah serupa, tapi respons kita beda banget, Mas.”Kanya me
Sebelumnya, kebiasaan bergandengan tangan dengan Sena saat berjalan di tempat umum tidak pernah menjadi momen istimewa bagi Kanya. Setiap kali tangan mereka saling bertaut, Kanya tidak merasakan kehangatan yang ia dambakan.Rasanya selalu hambar dan dingin. Barangkali karena Kanya tahu bahwa Sena tidak mencurahkan perasaan apa pun saat menggenggam tangannya. Mungkin juga karena Kanya hanya menganggapnya sebagai gestur kecil yang wajib ada ketika keduanya mesti berpura-pura mesra.Namun, mengapa kini rasanya sedikit berbeda?Matahari sudah semakin tinggi saat Kanya dan Sena memutuskan untuk meninggalkan taman. Menyusuri jalan setapak menuju area parkir yang jaraknya lumayan jauh, keduanya berjalan dengan tempo pelan dan langkah kaki yang tampak seirama.Kanya berjalan sambil sesekali menunduk, memandangi setiap jemari tangan kanannya yang bertautan erat dengan jari-jari tangan kiri Sena. “Tangannya besar dan hangat …,” batin Kanya.Mata Kanya beralih ke tangan kirinya yang mendekap bu
“Nggak, Ma. Kanya belum hamil. Tempo hari pas Kanya main ke rumah, kan, juga udah bilang ke Mama. Masa baru jeda beberapa hari tiba-tiba udah isi?”Kanya tak menyangka kelakar Sena di warung ayam geprek siang tadi sudah sampai ke telinga mertuanya.“Lho, siapa tahu, kan?” suara Desi terdengar bersemangat di seberang sana. “Ini infonya dari Bu Bagyo yang punya warung ayam geprek langganan kita itu. Dia cerita kalau tadi siang kalian makan di sana, terus pada dengar si Sena bilang kamu lagi ngidam.”Kanya menghela napas. Dia menaruh ponselnya di meja rias setelah menyalakan mode pengeras suara.“Mama berarti harusnya telepon Mas Sena, bukan Kanya,” ujar Kanya, lanjut bertelepon dengan ibu mertuanya sambil berdandan.“Kalian, kan, sepaket. Mama mau tanya Sena atau kamu, apa bedanya coba?” balas Desi.Kanya menarik napas dalam-dalam, bersiap membuat kebohongan kecil lagi.“Kanya sama Mas Sena bukannya nggak mau punya momongan, ya, Ma. Cuma memang sampai sekarang belum dikasih sama Tuhan,
Cuma Kanya yang bisa menyuruh Sena melakukan ini-itu kapan pun. Bahkan, tak peduli meski malam sudah terbilang larut, jika Kanya bilang ingin makan masakan suaminya, Sena nyaris mustahil tidak mewujudkannya.Itulah yang terjadi malam ini.Demi menuruti kemauan istrinya, Sena santai saja masuk dapur, tetapi tidak dengan setiap pegawai hotel yang melihatnya. Bagaimanapun, Sena adalah bos mereka semua. Jadi, bukankah Sena mestinya hanya perlu menyuruh koki yang bertugas untuk menyiapkan makanan pesanan Kanya? Kenapa harus dia yang memasaknya sendiri?"Istri saya maunya makan masakan saya," kata Sena santai sembari melepas jam tangan mewah di pergelangan kirinya.Sebelum aksesori seharga miliaran rupiah itu berakhir asal-asalan ditaruh di meja dapur, Andi buru-buru mengulurkan tangan pada bosnya.Melihat gestur Andi, Sena yang sungguh berniat meletakkan jam tangannya sembarangan, tersenyum sekilas. “Saya bisa minta tolong rebus daging ayamnya? Setelah itu, tolong suwir sekalian.”Sambil
Kata-kata yang baru saja diucapkan Zidan membuat Andi waswas. Berjalan paling depan, pria itu bahkan sempat refleks menoleh ke belakang, kilat memeriksa kondisi Kanya yang tampak tetap fokus melangkah sambil menunduk.Kecemasan serupa juga dirasakan Mika yang berjalan di belakang Kanya. Mika bahkan sampai menghentikan langkahnya untuk menegur Zidan dengan sebuah tatapan tajam.Namun, orang yang dikhawatirkan ternyata malah terkesan santai-santai saja menanggapi omongan Zidan.“Perintah kayak apa, tuh, misalnya?”Zidan tersenyum mendengar pertanyaan Kanya. Sambil membimbing Mika untuk kembali melangkah, dia berkata, “Misalnya, karena kamu bilang mau ngobrol sama Jingga di balkon kamar, Sena minta area di bawahnya dikosongkan sementara.”“Sayangnya, kami kecolongan. Ternyata masih ada beberapa orang yang nggak sengaja menyaksikan insiden tadi. Bukan karena mereka memasuki area yang mestinya kosong, tapi kami luput soal para tamu yang bisa aja melihat ke arah balkon kamarnya Jingga saat
“Oh, jadi itu yang kamu lakuin sama mantanmu? Ngobrol dari ke hati-hati setelah berhubungan badan. Pantes hari ini kalian bisa kelihatan akur banget.”Usai bilang begitu, Kanya sudah siap dengan apa pun yang bakal dia dengar selanjutnya dari Mika. Walau demikian, ternyata dia tetap agak syok dengan betapa gamblangnya Mika bicara soal kehidupan ranjang.“Kami kemarin nggak ada pillow talk,” kata Mika sambil tersenyum pada Zidan, meminta pria itu berhenti melangkah dengan isyarat tangan.Tanpa mengalihkan pandangannya dari Zidan, Mika lantas berbisik, “Habis begituan, aku pilih buru-buru tidur. Soalnya kalau nggak tidur, bisa ada sesi kedua, ketiga, dan seterusnya. Staminanya dia jempolan banget, sumpah! Takut pingsan kalau aku iyain terus.”Kanya berusaha memasang wajah datar, tetapi pipinya sudah keburu memanas. Dia bahkan yakin telinganya sudah ikut memerah.“Kamu belum pernah begituan sama Sena, kan? Mending buruan coba biar lebih paham maksudku. Soalnya cuma orang yang udah pernah
Soal mengumpati orang, Mika memang jauh lebih jago ketimbang Kanya. Bukan hanya mengabsen berbagai nama penghuni kebun binatang, pengetahuan Mika tentang variasi kata makian juga terbilang jempolan.Di antara begitu banyak kata kasar yang Mika tahu, sebagian besar sudah dia gunakan untuk memaki Sena. Sebenarnya tidak enak didengar, tetapi anehnya Kanya jadi merasa lebih baik karenanya.Karena tidak pintar melakukannya sendiri, ternyata menyenangkan punya teman yang ahli mengumpat seperti Mika. Puas mendengar Sena dimaki-maki sebegitunya.Setelah semua umpatan itu, Kanya pikir Mika bakal sepenuhnya antipati lagi dengan Sena. Setidaknya Kanya bakal disuruh jaga jarak sementara dengan suaminya tersebut.Namun, barusan Mika malah dengan entengnya menyuruh Kanya dipeluk Sena. Mungkin cuma asbun karena obrolan mereka sudah tidak seserius sebelumnya, tapi Kanya tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak memicingkan mata.“Kamu tim siapa, sih, sebenarnya, Mik? Sena atau aku?”Tatapan Kanya ya
Setiap kali melihat Jingga menangis, hal pertama yang pasti segera dilakukan Sena dulu adalah memeluknya. Sena tidak perlu mengatakan apa pun untuk menenangkan Jingga. Hanya dengan sebuah pelukan, isak perempuan itu perlahan akan mereda.Hanya saja, lain dulu, lain sekarang.Hatinya kini memang tergerak melihat Jingga menangis pilu. Namun, afeksi semacam itu tidak lagi pantas dia berikan. Sena sepenuhnya sadar bahwa dirinya harus membiarkan garis batas di antara mereka tetap jelas. Akhirnya, cukup lama Sena hanya diam di tempatnya. Memandang iba Jingga yang sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, Sena menunggu sampai Jingga mampu menenangkan dirinya sendiri.Di sisi lain, Jingga mulai berusaha mengatur napas yang sesekali masih tersengal. Air matanya belum berhenti mengalir, tetapi sudah lebih terkendali.“Kita bisa mulai lagi dari awal …” Suara Jingga terdengar serak saat ia kembali berbicara seraya mengusap air matanya sendiri.“Aku janji nggak bakal bikin Mas kec
“Aku dulu terlalu kecewa dan marah, jadinya mengabaikan rasa sakit hati yang kamu tahan sendirian.”Bahkan sampai sore tadi, Sena masih memendam amarah yang sama pada Jingga. Hubungan mereka dulu barangkali tidak melulu bahagia, sesekali ada cekcok juga. Namun, mereka selalu cepat berbaikan, jadi tak ada alasan kisah kasih keduanya kandas di tengah jalan.Andai Sena tidak melihat Jingga selingkuh dengan mata kepalanya sendiri, mungkin mereka masih menjalin asmara hingga hari ini. Sena hanya perlu terus pura-pura tidak tahu bahwa dirinya telah dikhianati. Sena yakin, dirinya di masa lalu sanggup melakukan hal seperti itu demi tetap bersama Jingga.Namun, kekecewaan Sena sungguh telah mencapai puncaknya ketika mendapati Jingga tidur tanpa busana bersama pria lain di ranjang tempat mereka sering bercinta. Sejak malam itu, kemarahan Sena tidak pernah sedikit pun berkurang. Bahkan air mata Jingga, tangisannya yang pecah-pecah saat memohon maaf, tak dapat meluluhkan hati Sena.Sena merasa d
“Apa harus sejauh ini? Kenapa mesti dihapus semua?”Dua hari setelah putus, Jingga sempat mengira Sena ingin kembali padanya. Pria itu datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan dan Jingga tentu saja dengan senang hati menyambutnya.Namun, kedatangan Sena hari itu ternyata hanya untuk menghapus segala jejak kenangan selama mereka menjalin asmara. Sena menjelajahi setiap sudut tempat tinggal Jingga, mengambil semua foto yang dipajang tak peduli sebesar apa ukurannya.Sena juga menyisir laptop Jingga, menghapus semua foto dan video mereka berdua, tak terkecuali yang ada di perangkat penyimpanan eksternal. Memori kamera digital pun tidak luput dari perhatiannya. Sena bahkan mereset ponsel Jingga setelah menghapus seluruh unggahan yang berkaitan dengan hubungan mereka di setiap akun media sosial Jingga. Dia rela menghabiskan banyak waktu untuk itu semua—sebegitunya tak mau ada satu pun kenangan yang tersisa.Jingga sendiri tak mengerti mengapa dirinya tidak bisa berbuat banyak. Awalnya s
Cinta pertama katanya akan selalu memiliki tempat spesial sampai kapan pun. Entah berujung bahagia atau justru jadi luka yang seakan tidak ada obatnya, cinta pertama seolah tidak ditakdirkan untuk dilupakan begitu saja.Itulah mengapa obrolan tentang cinta pertama seakan tidak pernah terasa membosankan. Bahkan tak sedikit pasangan yang saling penasaran dengan cinta pertama sang pujaan hati.Awal masa pacaran dulu, Jingga dan Sena juga pernah tiba-tiba mengobrolkan cinta pertama. Mulanya gara-gara Jingga tak sengaja bertemu mantannya ketika kencan di sebuah kafe bersama Sena.“Dulu pacarannya lama?”Kala itu, Sena terdengar sangat ingin tahu. Dia bisik-bisik bertanya, bahkan sebelum pria yang sempat menyapa Jingga baru beberapa langkah meninggalkan mereka mereka.Jingga tertawa tanpa suara melihat wajah penasaran Sena. Cemburunya cukup kentara karena jarang-jarang Sena menatap sinis pria lain.“Cuma beberapa bulan, kok. Nggak sampai setahun. Sekitar 5-6 bulan, mungkin?”Sena masih memp
Jingga meringkuk di atas ranjang, memeluk kedua lutut dengan pandangan kosong. Tangisannya sudah reda, menyisakan mata sembap dan bekas air mata yang mengering di wajahnya.Di sebelahnya, Chacha setia menemani. Sang asisten cuma diam, tak sedikit pun coba menghibur Jingga dengan kata-kata. Ia hanya sesekali mengusap pelan punggung Jingga, berusaha menenangkan tanpa suara.“Mas Sena mana …?”Setelah cukup lama, Jingga akhirnya memecah kesunyian dengan suara yang terdengar serak khas orang habis menangis.“Kak Jingga masih mau ketemu orang itu?”Chacha bertanya karena khawatir. Bagaimana jika Jingga merasa syok atau terguncang lagi gara-gara berinteraksi dengan Sena? Namun, Jingga tampaknya lebih cemas jika dirinya tak jadi menghabiskan waktu bersama Sena seperti apa yang terlanjur dia bayangkan sejak kemarin.Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berkata, “Aku harus ketemu dia malam ini, Cha. Di mana Mas Sena sekarang …?”Selepas insiden sore tadi, Sena memang sempat tinggal sejenak di