Walau sudah kenal cukup lama, Zidan memang terbilang jarang mengobrol dengan Kanya. Bahkan saat masih menjalin kasih dengan Mika dulu, Zidan cenderung menghindari momen bicara empat mata dengan Kanya.Pasalnya, Kanya adalah tipikal lawan bicara yang pandai bermain kata. Salah diksi sedikit saja, bisa panjang urusannya. Meski begitu, harus Zidan akui bahwa Kanya pintar membuat orang-orang nyaman mengobrolkan apa pun dengannya.“Harusnya aman, sih,” suara Zidan terkesan ragu. Hanya saja, itulah yang membikin orang-orang mesti hati-hati saat berbicara dengan Kanya. Jika terlalu nyaman, bukankah kita menjadi sangat rawan mengatakan apa yang semestinya tidak dikatakan?“Cuma kalau mereka sampai oversharing …”Sekali lagi, Fajar bisa mendengar bosnya menghela napas. Bikin semakin harap-harap cemas.“Tolong dipantau terus, ya, Pak Fajar. Kalau ada apa-apa, langsung kabari saya,” titah Zidan pada akhirnya.“Siap, Pak Zidan!”*** “Mas Zidan.”Zidan terkesiap saat mendengar seseorang memanggi
Sebuah senyuman tersungging di bibir Kanya saat membaca beberapa komentar kontra tentang hubungan Jingga dan suaminya. Biarpun tidak banyak, senang rasanya mendapati masih ada segelintir orang yang mulai berpihak padanya.“Andai mereka tahu kalau aku yang nyuruh Mas Sena nganter Jingga ke bandara,” gumam Kanya sambil terus berselancar di media sosial.Sejak sandiwaranya dengan Sena terbongkar baru-baru ini, Kanya memilih rehat sejenak dari media sosial. Jika tidak begitu, perasaannya hanya akan semakin kacau, terlebih karena begitu banyak komentar kebencian yang dilayangkan pada dirinya.Cerita yang disebar akun gosip tidak sepenuhnya benar. Kanya memang salah karena membohongi banyak orang, tetapi ada berbagai hal yang cuma klaim sepihak dan terlalu hiperbola.Kalau mau, Kanya bisa saja langsung memberikan klarifikasi. Bukan semata untuk membela diri, melainkan agar orang-orang setidaknya terdorong berpikir dua kali sebelum lanjut menghakimi dan membenci.Namun, kondisinya tempo hari
“Sejak kapan Mas Mada jadi suka pakai kekerasan begini? Kalau ada masalah, omongin baik-baik, bukannya datang-datang langsung nonjok kayak begitu.”“Aku paham Mas Mada mungkin marah banget sama Mas Sena, tapi nggak harus sampai bikin dia babak belur juga, Mas. Kasian suamiku, Mas. Nggak enak juga sama pelanggan lain. Kalau ada yang ngerekam, terus sengaja viralin …”Mada menjauhkan ponsel dari telinganya. Kesal rasanya karena Kanya malah sebegitunya membela Sena.“Suruh istrimu diam,” tuturnya sambil menyodorkan ponselnya ke Sena.Sena menurut saja, lalu menerima ponsel yang disodorkan sang kakak ipar padanya.“Masalahnya bisa makin rumit kalau orang-orang tahu Mas Sena dipukuli sama Mas Mada yang notabene kakak iparnya. Bakal makin banyak spekulasi liar soal hubungan kami, Mas.”Kanya masih marah-marah di seberang sana tanpa sadar jika lawan bicaranya sudah berubah. Bukan kakaknya lagi, melainkan suaminya.“Aku nggak suka kalau Mas Mada kasar begini. Lain kali, Mas harus …”“Sayang,”
Kanya berdiri di depan pintu sambil bersedekap. Tatapannya dingin, jelas lebih dari cukup untuk bikin kicep dua staf yang tadi asyik bergosip.“Amit-amit misalnya apa? Kok, nggak diterusin obrolannya?” Kanya bertanya tanpa tersenyum sedikit pun. Nadanya terdengar sedikit menantang, tapi dua staf yang ditanyai cukup sadar diri bahwa mereka lebih baik buru-buru membungkukkan badan dan diam saja. Tak usah coba-coba menanggapi dengan sepatah kata pun.“Mau bilang kalau suami saya bakal mesra-mesraan di mobil sama mantannya, ya?”Kali ini, Kanya bertanya sambil melangkah masuk. Mengedarkan pandangan sejenak, ia lantas berjalan pelan menuju minibar lantaran ponsel yang dicari tampak tergeletak di sana.Setelah meraih ponselnya, Kanya kembali memperhatikan dua orang yang bahkan terlalu takut untuk bilang maaf padanya.“Selesaikan pekerjaan kalian dulu. Setelah itu, saya tunggu di resto, ya. Saya mau kita ngobrol bertiga tentang suami saya. Oke?”***Mada tahu sejak lama soal sandiwara cinta
“Ini kopinya, Mas.”Segelas es amerikano segera disajikan Bastian begitu Sena tiba. Dia juga menyiapkan beberapa potong lapis legit untuk dinikmati bersama minuman yang biasa dipesan Sena setiap kali berkunjung ke Kanya Coffee & Bakery tersebut.“Makasih, Bas,” kata Sena tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya.“Sama-sama, Mas.”Bukannya pergi, Bastian malah duduk di kursi yang berhadapan dengan suami bosnya. Sikapnya jelas menunjukkan bahwa dia ingin atensi Sena beralih padanya.“Kanya baik-baik aja, Bas.”Ucapan kalem Sena membikin Bastian terkesiap. “Saya belum ngomong apa-apa, Mas Sena,” tuturnya sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.Sena tersenyum seraya meletakkan ponselnya di meja. “Tapi memang mau tanya soal kondisinya istri saya, kan?” Bastian cuma bisa cengar-cengir canggung. Faktanya, memang itulah yang ingin dia tanyakan.“Ini Mbak Kanya di rumah, Mas? Kok, nggak ikut Mas Sena ke sini?” tanya Bastian sambil memerhatikan Sena yang sedang meminum kopinya.“Istri sa
Bersama Jingga, Sena dulunya terbiasa menyetir dengan satu tangan. Jika ada Jingga di sampingnya, dia tak ingin sekedar berkendara. Jingga dulunya juga terbiasa membiarkan tangan Sena yang tak menyentuh kemudi menjalar ke pangkuannya. Jingga tak keberatan dengan kebiasaan Sena yang gemar menggenggam jemarinya. Begitu pula kala pria itu menyentuh pahanya, memberikan sentuhan ringan yang bukannya tak mungkin berubah menjadi lebih sensual.Saat mesti berhenti karena lampu merah, terkadang Sena akan mencuri kesempatan untuk mengecup sudut bibir Jingga. Andai detik yang tersisa masih cukup banyak, ciuman yang sedikit lebih intens juga bisa saja terjadi.Jingga pun tak jauh beda. Dia menemukan kesenangan tersendiri dengan sesekali menggoda Sena lewat sentuhan nakal. Cukup untuk membuat hasrat Sena terpanggil dan mempercepat laju mobil agar bisa segera sampai tujuan, lantas menuntaskan gairah yang telah dipantik Jingga.Namun, tentu saja itu hanyalah masa lalu. Sena jelas tidak waras jika s