Pagi tak pernah benar-benar datang di istana Eden, namun hari itu, bayang-bayang terasa lebih panjang. Lebih dingin. Lebih berat.Kursi singgasananya kosong lebih lama dari biasanya. Para pengawal saling melempar pandang, takut mengucap pertanyaan, karena raja mereka tak pernah suka ditunggu.Dan ketika akhirnya Eden muncul dari ruang dalamnya, langkahnya cepat, rahangnya mengeras. Matanya—yang biasanya tajam dan tenang—kini bergerak gelisah, seolah memburu sesuatu yang tak bisa dijelaskan.“Di mana dia?” suaranya tajam, tapi terdengar samar seperti bisikan badai. “Yang kalian tahan di ruang bawah. Yang… memanggil namaku kemarin.”Para penjaga saling menunduk. Salah satu dari mereka memberanikan diri angkat bicara.“Tuanku… perempuan itu… menghilang.”Suasana seketika membeku.“Bagaimana bisa?” Eden mendesis. “Di dalam wilayah kekuasaanku. Di bawah penjagaanku.”Ia menatap ke luar jendela kaca berukir, melihat bayangan istananya sendiri. Namun matanya tidak menangkap refleksi—melaink
Akhirnya atas titah Kaisar, Kaelthor yang turun tangan untuk menyelamatkan Isara. Salah satu alasan kenapa Isara harus diselamatkan adalah agar manusia tidak putus harapan.Isara adalah gamparan dari harapan. Walaupun sedikit dan kecil harapan itu dia tetap memilikinya, begitulah seharusnya manusia hidup. Karena dari harapan kecil itu manusia dapat menciptakan harapan dan kesempatan besar.Di langit dunia fana yang senyap dan kelabu, tak ada bintang yang menuntun malam. Tapi di sela kabut, satu garis cahaya turun dari angkasa. Ia tidak membelah awan dengan guntur. Ia menyusup… seperti doa yang ditelan gelap terlalu lama.Dari balik bayangan reruntuhan, Kaelthor melangkah—tanpa suara, tanpa keraguan.Jubahnya yang kelam berkibar pelan, menyamarkan tubuhnya di antara puing-puing bangunan tua. Di tangannya, sepotong batu kristal mengeluarkan pancaran redup: milik Arcelia. Panduan medan jiwa.Dan di dalam denyut kecil kristal itu… nama Isara bergetar seperti bisikan yang hanya bisa dideng
Dunia fana tidak lagi mengenal pagi. Langitnya redup sepanjang waktu, seolah cahaya enggan menembus tempat yang kini dikuasai oleh seorang raja… yang dulunya hanya seorang anak laki-laki pendiam bernama Eden.Istana megah berdiri di tengah reruntuhan kota yang dahulu ramai oleh tawa dan doa. Dindingnya dipenuhi ukiran pemujaan, bukan kepada dewa, melainkan kepada Eden—dalam wujud barunya yang agung namun gelap. Tahtanya menjulang tinggi, terbuat dari tulang para budak yang mati dalam pengabdian. Dan di bawah tangga singgasana itu, manusia berkumpul setiap hari. Memohon. Meratap. Menggadaikan harga diri demi harapan palsu.Eden duduk di atas singgasananya dengan mantel gelap bersulamkan emas. Di kedua sisi, para wanita berdiri membisu, wajah mereka tertutup topeng—bukan untuk melindungi diri, melainkan untuk menyembunyikan air mata. Mereka dulunya bangsawan, pendeta, gadis desa. Kini mereka tak lebih dari pajangan.Sekali perintah keluar dari bibir Eden, seluruh ruang harus mematuhi.“
Di ruang tergelap dalam dimensi bayangan, para Elder Daemon berdiri melingkar. Kabut pekat menyelubungi kaki mereka, berputar seperti ular lapar yang tak henti melingkari mangsanya. Di hadapan mereka, sebuah cermin jiwa—benda kuno yang hanya bisa menunjukkan cahaya dan kegelapan dengan jujur—memantulkan gambaran dunia fana.Di sana, Arcelia berdiri di tengah cahaya redup, mengulurkan tangan kepada manusia-manusia yang masih memiliki hati bersih. Di sekitarnya, anak-anak menangis bukan karena takut, tetapi karena haru. Wanita-wanita memeluk satu sama lain, dan pria-pria mulai menurunkan senjata mereka, bahkan jika hanya untuk sesaat.Harapan, seperti benih, telah ditanam kembali.Salah satu Elder Daemon menggeram, napasnya seperti bara panas yang membakar kabut.“Dia… menyalakan nyala itu lagi. Dia membuat manusia kembali percaya pada sesuatu yang seharusnya kita kubur—cinta, kesetiaan, dan harapan.”Yang lain—berwujud seperti sosok bersayap patah—menggeleng dengan tawa dingin. “Tenan
Udara pagi membawa dingin yang menggigit, menusuk ke tulang. Langit di atas desa tampak pucat, seolah ikut diam memandang kepergian seseorang yang akan kembali ke tempat di mana waktu dan rasa tidak berjalan seperti biasa.Arcelia berdiri di beranda rumah tua itu. Angin menerbangkan ujung jubahnya yang sederhana, bukan gaun ratu… hanya kain ringan yang dipilih agar tak menarik perhatian. Tapi mata yang memandangnya tahu: perempuan ini bukan perempuan biasa.Di depannya, Paman Liam berdiri—tubuhnya telah membungkuk oleh usia dan beban masa lalu, namun matanya tetap menyimpan sinar kebijaksanaan yang tak pernah padam.“Paman…” bisik Arcelia, jemarinya menggenggam tangan lelaki tua itu. “Aku akan pergi. Dunia bawah memanggil. Masih banyak yang harus kulakukan.”Paman Liam mengangguk pelan. Ia tahu hari ini akan datang.“Kau bukan lagi gadis kecil yang dulu paman sembunyikan di loteng… Kau telah menjadi cahaya yang tidak bisa disembunyikan oleh siapa pun.”Arcelia tersenyum. Tapi matanya
Setelah menyusuri desa demi desa, Arcelia kini menyentuh kakinya di tanah di mana dia dulu pertama kali menginjak tanah. Sebelum kembali ke dunia bawah, dia ingin menghampiri pamannya, Liam.Langit di atas desa kelahirannya tak berubah. Masih kelabu, masih penuh angin dan abu. Tapi langkah Arcelia kini berbeda. Ia bukan lagi gadis kecil yang dulu lari dari rumah itu dengan tubuh penuh luka dan hati yang lebih hancur dari kulitnya.Kini ia kembali… bukan sebagai korban, tapi sebagai cahaya yang menolak padam.Rumah itu masih berdiri. Rapuh, tua, tapi tidak roboh—seperti dendam yang menunggu waktu untuk jatuh. Catnya mengelupas, jendela-jendelanya pecah sebagian, dan taman kecil di depannya kini dipenuhi rumput liar.Rumah yang dulu megah dan menjadi simbol kebanggaan keluarga kini memudar.Arcelia tidak mengetuk. Ia hanya menatapnya lama, sampai suara dari belakang menyapanya lirih.“Rambutmu panjang… seperti ibumu dulu.”Ia berbalik. Paman Liam berdiri di sana, tubuhnya sedikit bungku