Anneth tidak mengetahui bahwa dirinya adalah gadis yang dilahirkan dengan bakat alami. Bakat itu dijuluki dengan Darah Malaikat. Darah malaikat yang ada di tubuhnya memiliki kekuatan besar dan tidak mempan terhadap semua jenis sihir. Gadis yang bekerja di Omega Laboratorium itu juga tidak mengetahui bahwa dia tidak boleh dekat dengan pemilik laboratorium itu. Daffar Sang Pemilik Lab Omega tampan yang mampu menaklukan manusia itu adalah salah satu dari penyihir tinggi yang selama ini terus mencari dan ingin menghancurkan Darah Malaikat. Pertemuan dengan Daffar yang tidak disengaja itu ternyata membuka kemampuan Anneth yang telah ditutup oleh pengasuhnya. Bekerja langsung di departemen khusus laboratorium yang khusus mencari keberadaan Darah Malaikat itu, tanpa sadar justru membuat Anneth dan Daffar makin dekat dan terlibat hubungan cinta. Mereka tidak menyadari hubungan tersebut ditentang oleh seluruh dunia manusia, dunia sihir dan dunia penengahnya.
View More"Hei!"
"Ini bukan permintaan tapi keharusan! Please ...!" Suara yang keluar dari speaker handphoneku ini diucapkan dengan nada tinggi.
"Ini bukan maksa tapi harus!" Suara itu masih terus tak berhenti.
"Anneth!" Suaranya melengking.
Wah!
Terpaksa aku harus menjauhkan handphone ini dari telinga. Efek nada tinggi itu langsung membuat kuping ini sedikit berdenging.
"Masih hidup gak, sih?" Suara itu kembali terdengar.
"Aku bukan lagi anak sekolah yang butuh kerja part time, Sinna. Kayaknya, aku juga sibuk banget deh," jawabku setelah cerocosan dari saluran telepon itu berhenti.
"Aku tahu, tapi ini emergency! D-A-R-U-R-A-T! Skala nasional deh ..., nasional di rumah tanggaku. Bentar ya! Tunggu! Tunggu!" lanjutnya tak menyerah.
Beberapa detik kemudian notifikasi pesan popped up di layar.
Dan setelah kubuka, ternyata, sahabatku ini mengirimkan sebuah video berdurasi lima detik.
Dalam video itu, terlihat seorang bayi sedang tidur ditempel kompres instant di dahinya.
Kulit bayi itu tampak agak memerah, serta pemandangan di sekitar bayi itu berupa sebuah ranjang yang berserakan dengan barang-barang.
"Anakmu sakit, Neth ...," keluhnya dengan nada memelas.
"Perasaan gak ikutan bikin, kenapa tiba-tiba jadi anakku ya?" jawabku dengan nada datar.
Aku berusaha tak terpengaruh dengan apa yang baru saja terlihat dalam video itu.
"Heh! ‘Kan anakku, anakmu juga, Anneeth!" Penelepon galak itu kembali berteriak.
Telepon dua hari yang lalu itu masih terngiang-ngiang di kuping.
Pembicaraan panjang saling ngeyel itu akhirnya dimenangkan oleh ... Sinna, tentu saja.
Sebenarnya, hati ini langsung menyerah ketika melihat foto anak bayi montok itu tidak ceria. Bayi yang biasanya tertawa-tawa ketika video call antara aku dan Sinna sedang berlangsung itu, kini hanya terbaring.
Dan ternyata, tak lama setelah telepon itu berakhir, bayi montok itu langsung dibawa ke rumah sakit oleh kedua orang tuanya karena kekhawatiran mereka memuncak.
"Tenang! Semua sudah kuatur. Kamu hanya tinggal mengerjakan yang kuinstruksikan saja. Beberapa timku akan berada di sana bersamamu. Aku jamin, Kamu hanya perlu melakukan sedikit pekerjaan yang nggak berat."
Begitulah salah satu bujukan agar aku mau memenuhi permintaannya.
Sebenarnya, kalau boleh memilih, tentu aku lebih suka jika menggantikan sahabatku itu menjaga anak tercintanya di rumah sakit, daripada melakukan ini.
"Hei! Anneth! Emang Kamu punya ASI?" Begitu jawabnya.
Dan dengan alasan itu, tentu akhirnya aku harus memilih untuk menggantikan pekerjaannya sebagai pengelola sebuah Event Organizer.
"Tolong, deh, Neth! Di zaman ekonomi suram ini, jika masih ada pesanan untuk mengadakan dinner dengan bayaran selangit, hanya dinner, hanya acara makan malam saja dan bayarannya bessarr, itu luar biasa." Begitu tambahan bujukannya.
Ah!
Itulah yang paling menyebalkan.
Dari latar belakang acara yang disampaikan saja sudah terbayang orang-orang seperti apa yang akan kutemui.
Hanya dengan membayangkan saja rasa lelah muncul.
"Hei, ingat! Lakukan dengan setulus hati! Jangan sampai bisnis yang sudah kubangun ini hancur gara-gara attitude-mu yang suka sembarangan itu!"
Begitu bunyi pesan terakhir sebelum Sinna menutup telepon.
Dan bagai melaksanakan perintah ibu suri, aku hanya bisa ber-iya-iya saja.
“Penthouse,” ucapku pada petugas lift berseragam rapi ini.
Dengan cekatan, tangan laki-laki ini menekan tombol yang berada di bagian samping pintu lift.
Kotak besi ini langsung bergerak ke atas.
Petugas itu sesekali melirik ke arahku yang berdiri di antara tas-tas besar.
"Jangan mengenakan jas laboratoriummu! Kamu bukan mau menyelidiki satu bahan kimia." Pesan Sinna kembali terngiang di telinga.
Alhasil, aku sekarang mengenakan rok span warna hijau lembut dan kemeja warna putih tulang yang dimasukkan ke dalam rok.
Pesannya untuk mengikat rambut biar terkesan rapi, juga sudah kulakukan.
Sepatu pantofel ber-heel pendek juga sudah berada di kaki.
Tetapi, kenapa petugas lift ini masih melirik-lirik penampilanku, ya?
Apa jadinya jika celana dan baju ala dokter yang sedang mengoperasi seorang pasien lengkap dengan jas laboratorium itu yang kupakai tadi?
Ah... gimana kalau lirikan mata petugas lift ini membuat bagian hitam matanya tidak kembali ke tempat semula?
Aku tersenyum membayangkan jika hal itu terjadi.
Sebenarnya, menurutku, nyaman sekali menggunakan baju-baju itu, baju yang biasa aku kenakan di laboratorium, tetapi jika kupakai untuk menggantikan tugas Sinna, tentu para customer akan heran.
Lift berhenti diiringi suara bel yang berdenting nyaring. Lalu, petugas itu mempersilahkan aku keluar.
Seorang laki-laki muda sudah menunggu di depan pintu lift. Kemudian, ia bergegas membawakan tas-tas yang ada bersamaku.
"Kak Anneth, nanti menghias meja makan dan mempersiapkan alat makan di lantai satu saja," ucap laki-laki muda ini sambil berjalan mendahuluiku.
Aku mengangguk mengiyakan.
Wah!
Sudah tingkat paling puncak masih dibangun dengan tiga lantai lagi.
Itu pikiranku begitu masuk ke dalam ruangan ini.
Mata ini mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menaksir kira-kira berapa total biaya yang dihabiskan untuk memiliki satu lantai di hotel ini.
Ini adalah salah satu ruangan yang ada di hotel legendaris, termewah dan termahal di kota Shirm.
Hotel artistik ini telah dimodernisasi dengan sentuhan teknologi mutakhir hingga bangunan ini tampak seperti kerajaan modern abad ini.
Berulang kali lidah ini tak henti berdecak kagum em ... kagum pada jumlah uang yang dimiliki oleh pemilik lantai ini.
Aku terkikik di dalam hati.
Suara bel pintu terdengar nyaring.
Dan laki-laki muda yang tadi bersamaku bergegas ke arah pintu.
Salah satu anggota tim Sinna itu mengangkat tangan dan memintaku melanjutkan kegiatan menghias dan merapikan meja makan.
“Tidak, kami semua petugas dari EO yang disewa untuk acara dinner ini.” Suara laki-laki muda itu terdengar makin dekat setelah suara pintu dibuka.
Selanjutnya suara ujung heel beradu dengan lantai terdengar nyaring, bahkan bergaung di ruangan yang luas ini.
Suara langkah kaki itu terdengar mendekat ke arahku.
"Plak!"
“Aaah!”
Aku menjerit ketika tiba-tiba satu tamparan keras mampir ke pipi.
"A-," Teriakan tercekat laki-laki muda yang berdiri tak jauh dari tempatku terdengar.
"Rupanya Kau yang mau merebut dia dariku!" teriak seorang perempuan cantik berkulit pucat yang kini berdiri dengan jarak sejangkauan tangan dariku.
Aku terkejut dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi, juga bingung dengan apa yang ia teriakkan.
Terlebih lagi, tamparan itu menimbulkan rasa perih dan panas.
"Sa-say," ucapku gagu.
"Kau bisa menggunakan kecantikan dan tubuhmu untuk mendapatkan siapa saja, tetapi bukan dia!" teriaknya dengan beringas, matanya tampak memerah.
"Ha-h!" seruku bingung.
Aku memegangi pipi yang terasa makin panas, mungkin perempuan itu menggunakan seratus lima puluh persen kekuatannya untuk menggamparku.
"Kau tak bisa mengelak lagi!" jeritnya sambil berusaha kembali menamparku.
"Amora!"
Sebuah suara dari arah lain terdengar.
Dan seruan itu berhasil menghentikan gerakan telapak tangan yang sebentar lagi akan mendarat di pipiku yang lain.
Aku dan wanita yang baru saja dipanggil itu menoleh secara bersamaan ke asal suara.
"Wah!" seruku takjub.
Bagaimana tidak, seorang laki-laki tinggi tegap dengan wajah kategori outstanding berjalan mendekat hanya mengenakan handuk panjang yang dililitkan di pinggang.
Handuk itu menutupi bagian pinggang hingga sedikit di bawah lutut.
"Hah!" jeritku tertahan.
Mata ini membelalak ketika laki-laki yang baru mendekat ini, kini berjarak sekitar tiga meter dari tempatku berdiri.
Bagaimana bisa?!!!
Sesuatu yang terlihat seperti benang yang tebal tampak bergerak di bawah kulit yang bersih milik laki-laki itu.
Benang itu bergerak perlahan dari lengan kanan ke bahu lalu turun ke dada kanan.
Sejenak tubuhku terasa gemetar menyaksikan benda aneh itu.
Dengan cepat aku menggelesot di lantai.“Daffar!” teriakku kencang.Daffar terbangun dengan bingung. Lalu, ia berjalan ke arahku dan memelukku.“Apa yang terjadi?” bisik Daffar lirih.“Nggak tahu. Tiba-tiba aku mendengar ledakan yang seolah datang dari jauh. Kemudian rumah ini bergetar,” jelasku yang masih berada dalam pelukan Daffar.Aku dan Daffar masih berpelukan ketika getaran di rumah ini tak mereda dan bahkan makin menghebat.“Ayo, kita keluar!” seru Daffar dengan cepat.Ia menarik tanganku dan berjalan dengan cepat.“Agh!” seruku kencang.Tiba-tiba ada satu kekuatan tak terlihat yang menghentakan tubuhku. Aku terlepas dari pegangan Daffar.Aku berhasil menguasai diri sebelum terjerembab ke lantai. Lalu, aku kembali menggelesot di lantai.Rumah masih bergetar hebat.Ini mengingatkanku akan goncangan yang terjadi di Anbar ketika itu.Daffar hendak mendekat ke arahku, tapi-“Clap!”“Agh!”Tiba-tiba sebuah sinar mendekat ke arahku. Sinar itu menghalangi gerakan Daffar. Laki-laki it
Tubuhku menegang. Aku menatapnya lekat.“Kamu juga mengingat wajah gadis itu?” tanyaku dengan laju jantung yang berdetak kencang.Daffar menggeser posisi duduknya hingga menghadap ke arahku, ia menatap tajam dan penuh arti.Aku menahan napas.“Ya. Aku mengingatnya,” jawabnya dengan suara yang dalam.Ah?!“Gadis itu adalah Kamu,” ungkapnya dengan wajah yang terlihat serius.Aah ....Aku menunduk lesu, memejamkan mata dan menutup wajahku dengan telapak tangan.Sunyi menyela kami berdua.“Anneth,” ucap Daffar sambil menyentuh bahu ku.Aku nggak sanggup menatap wajahnya. Mata ini merebak.“Aku juga mengingat hal lain,” sambung Daffar masih dengan suara yang dalam.Pelan-pelan, aku mengangkat kepala dan memberanikan menatap matanya.“Awalnya, aku merasa sakit sekali begitu mengingat apa yang Kamu lakukan ketika itu. Tapi, kesakitan itu mengundang ingatan lain. Aku mengingat ada kekuatan kegelapan yang mengejarmu,” jelasnya dengan serius.Dia mengingat Anbar?!Lalu, Daffar mengembuskan napa
“Kamu tahu tentang Daf-?”“Tunggu!”Dua celetukan itu diakhiri dengan diam, ia menatapku penuh selidik.“Ah ...,” ucapnya di ujung selidiknya.“Aku paham sekarang kenapa ada gadis manusia dari kota Shrim mengenal Pangeran kegelapan Anbar, banyak sekali jejak Ardasyr dalam dirimu, Nona,” ucapnya penuh kepahaman.Kurasa laki-laki ini memang mengetahui dua dunia pendamping itu.Laki-laki itu mengembuskan napas dalam.“Jujur saja, aku terkejut bagaimana seorang yang sangat dicintai Anbar masih berada di Shrim setelah penarikan besar itu,” sambungnya lebih lanjut.“Apa penarikan itu yang membuatnya mati?” tanyanya kemudian.Aku menggeleng pelan.“Aku membunuhnya,” kataku jujur.“Hah?!!” serunya terperangah.Ia kembali menatapku penuh selidik.“Apa Kamu-?”“Kamu-?”“Apa Si Darah-?!”“Ya,” sahutku memotong kegaguannya.Ia menelan ludah.“Phuh .... pantas saja,” komentarnya singkat.Lalu, ia mengembuskan napas panjang.“Aku akan menceritakan apa yang kutahu sejak terlepasnya Anbar dari dunia
Aku menatap Kayla dengan antusias.“Apa ada seseorang dari dunia manusia yang mengetahui tentang Anbar?” celetuk ku tak sabar.Kayla mengangguk tanpa ragu.“Aku juga terkejut begitu dia mendatangi rumah ini. Aku benar-benar nggak menyangka ada manusia yang sangat tahu tentang Anbar,” jelasnya bersemangat.Mendengar itu, seketika harapan untuk mendapat jawaban tentang Daffar tumbuh.“Laki-laki itu datang dan memperkenalkan diri sebagai pencari jejak Anbar di dunia manusia. Dan dia langsung mengetahui jika aku menyimpan bagian dari Anbar di rumah ini,” sambung Kayla dengan cepat.“Awalnya aku nggak percaya. Tapi, ia bisa menberikan penawar bagi Nadec agar bisa bertahan di dunia manusia ini tanpa menyerap energi manusia,” sambungnya riang.“Oh, ya?!” sahutku terkejut.Kayla mengangguk dengan cepat.“Dan itu sangat berguna sekali bagi Nadec, karena setelah lepasnya Anbar dari dunia manusia, perubahan dirinya nggak bisa dikontrol,” sambung Kayla lega.“Oh, gitu,” sahutku paham.“Jadi, baga
“Anneth,” panggil Barkiya lirih.Mungkin ia membaca apa yang tersirat di wajahku, suaranya terdengar sedih.Aku menatapnya dan mengangguk pelan.“Kalau begitu, aku akan kembali ke Shrim dan mencoba mencari tahu tentang ini. Semoga ada satu petunjuk yang mungkin tercecer di sekitar Daffar,” balasku mencoba tetap semangat.Barkiya mengangguk pelan.“Anneth, maaf, kali ini kami nggak bisa membantu mu.” Yarim turut mengucapkan itu dengan sedih.Aku tersenyum pada ratu cantik itu, lalu, menatap Barkiya dan Eldona.“Aku harus segera meninggalkan Ardasyr, kita semua tahu apa yang akan terjadi jika aku berada di sini dalam waktu yang lama,” ucapku lirih.“Terima kasih untuk pesta yang akan diadakan untuk ku,” pungkasku dengan menyertakan anggukan hormat.Yarim berdiri, lalu turun dari singgasana kacanya. Ia berjalan mendekat dan memeluk ku erat.“Kini Kamu yang akan menjaga Shrim dan orang-orang yang Kamu cintai di dunia manusia. Terima kasih sudah kembali ke Ardasyr,” ucap Yarim lembut.Beri
Tarikan ini terasa makin kencang, aku memejamkan mata dan membiarkan daya tarik ini membawa ku ke satu arah.Entah berapa lama aku merasa diriku tertarik ke satu arah sampai pada akhirnya kaki ini merasa menapak pada rumput yang rimbun. Bau yang padang rumput yang kukenali tercium hidung.Aku yakin sekali beberapa meter dari sini ada sebuah danau yang terlihat tenang dan indah.“Anneth!”Panggilan itu membuatku dengan cepat membuka mata.“Eldona!” balas ku riang.Wanita berpipi gembul itu mendekat dengan gerakan terburu, di belakangnya seekeor rusa mengikutinya.“Aku tahu Kamu akan kembali lagi ke sini setelah peperangan di tanah perbatasan, meskipun, pintu gerbang ke dunia manusia nggak lagi bisa dibuka,” sambutnya antusias.“Maksudnya?” tanyaku cepat, penasaran.Aku memandang penjaga perbatasan Ardasyr itu dengan nggak sabar.“Kamu pasti tahu bagaimana rekatan Anbar terlepas dari kota-kota manusia seperti Shrim,” jelasnya mengawali.Aku mengangguk dengan cepat dan tak sabar menunggu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments