Hari berikutnya Lily pergi bersama Dini. Mereka berjalan bersama untuk mencari barang-barang yang Dini perlukan. “Ciee, calon pengantin sekarang sangat sibuk sekali,” goda Lily lalu menyenggol lengan Dini dengan bahunya. Mendengar ucapan Lily, kedua pipi Dini merona merah. “Kamu tahu, kemarin aku pergi bersama Mama Diana dan aku takut untuk mengemukakan pendapat karena seleraku dan seleranya sangat jauh berbeda. Aku benar-benar merasa ciut, dan merasa sangat tidak pantas menjadi menantunya, apalagi saat bertemu dengan teman-teman sosialitanya,” kata Dini. Dini mengingat bagaimana pilihan Diana yang semuanya berharga di atas ekspektasinya. “Kamu jangan berpikiran seperti itu apalagi berpikiran macam-macam soal Bu Diana. Kamu sudah mau menikah, kalau masih memikirkan soal perbedaan status, yang ada kamu akan galau lagi.” Dini diam, dia memang galau dan bingung. Lily tiba-tiba menarik lengan Dini, dia mengajaknya menuju deretan baju yang ada di butik itu. Dini melihat s
Lily mengerutkan kening, bibirnya tersenyum seraya memandang tangannya yang sedang digenggam erat oleh Arsen. Bukannya pulang setelah dia menyelesaikan pekerjaan, Arsen malah mengajaknya pergi ke taman dekat sekolahnya dulu. Lily membuang pandangan ke arah jalan, meski ini bukan kali pertama, tapi tetap saja digandeng seperti ini membuat hatinya berbunga-bunga. Arsen berhenti melangkah saat sampai di sebuah bangku taman. Dia menurunkan Audrey dari gendongan. Anak itu tidur cukup lama, hingga matanya kini terlihat masih seterang lampu LED. "Papa itu sekolahnya Audrey," oceh bocah itu sambil menunjuk ke sekolah yang pagi tadi dia datangi bersama Lily. "Iya, Audrey mau sekolah di sana? Dulu Mama juga sekolah di situ," balas Arsen seraya mengusap-usap rambut Audrey. "He'em, Audy mau," jawab bocah itu yang masih belum jelas mengucapkan namanya sendiri. Lily tersenyum, dia melihat ada penjual makanan di sana hingga hendak pamit untuk membeli pada Arsen. Namun, suaminya i
Di ARS Arsen sedang mengecek berkas saat melihat kedatangan Anthony ke kantornya. Keningnya berkerut dengan tatapan tertuju pada temannya itu. “Tumben ke sini? Apa kamu datang untuk mengirim undangan pernikahan?” tanya Arsen sambil bangkit dari duduknya. “Undangannya saja belum jadi,” balas Anthony. Berdiri di depan Anthony, Arsen tersenyum tipis lalu berkata, “Akhirnya si Bujang Lapuk akan menikah juga.” Anthony melotot mendengar ledekan Arsen, dia memukul pelan perut Arsen sambil mengumpat, “Sialan.” Arsen tertawa kecil, lalu dia mengajak Anthony untuk duduk. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah mengenalkanku dan Dini,” kata Anthony saat sudah duduk di sofa. “Harusnya kamu berterima kasih pada Lily, bukan padaku. Tapi ada bagusnya juga kamu mengenal Dini, kalau kamu belum juga memiliki kekasih, yang ada ibumu akan terus mengharapkan Lily menjadi menantunya,” balas Arsen. “Sialan,” umpat Anthony lagi. “Ada apa ke sini? Bukankah
Siang itu Lily pergi ke rumah Risha bersama Audrey. Di sana dia dan Risha duduk di halaman samping sambil menatap Audrey yang sedang bermain. “Tumben kamu datang tidak memberi kabar bunda dulu,” kata Risha sambil menoleh pada Lily yang duduk di sampingnya. Mendengar pertanyaan Risha, Lily mengembuskan napas kasar, baru kemudian menoleh pada Risha. Melihat Lily yang seperti punya banyak beban, ekspresi wajah Risha berubah cemas, lalu dia bertanya, “Ada apa, Lily? Apa ada masalah?” “Sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan ke Bunda.” Lily menatap sendu dan bingung harus mulai dari mana. “Ada apa, hm?” Risha semakin cemas karena sikap Lily. Lily kembali mengembuskan napas kasar, lalu mulai bercerita. “Kemarin aku pergi memeriksakan kandungan dengan Arsen, tapi Arsen sepertinya tak sepaham kalau aku ingin hamil lagi. Dia bahkan sempat memberi ide untuk adopsi. Tapi semalam sikapnya berubah lagi.” Risha terkejut, lalu kembali bertanya, “Berubah bagaimana?” “Arsen malah berkata kala
Arsen yang memunggungi Lily hanya diam. Dia melangkah maju tapi Lily lebih dulu memeluknya dari belakang. "Aku tahu kamu melakukannya karena sangat mencintaiku," kata Lily. Arsen bergeming. "Aku sangat mencintaimu, jadi aku akan menuruti apapun keinginanmu, kalau kamu memang takut aku hamil lagi, aku tidak akan hamil lagi," imbuh Lily. Dia semakin mempererat pelukannya ke Arsen. "Jangan begini, aku tidak suka kita dingin seperti ini." Lily berusaha membujuk. Hening Lily mulai berpikir harus melakukan apa agar Arsen kembali bersikap biasa. "Aku ..., merasa bersalah." Lily kaget mendengar ucapan Arsen. Pelukannya perlahan melonggar. Dia menjauhkan badan dari Arsen saat pria itu memutar badan. Lily menggeleng. "Tidak ada yang salah, aku tahu kamu bicara begitu karena mencemaskan aku," kata Lily. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia terharu melihat bagaimana Arsen begitu mencintainya. "Maaf ya, aku pastikan ini kali terakhir aku pergi menemui dokter, setelahnya aku janj
Setelah selesai memeriksakan kandungan. Arsen dan Lily kini sudah berada di dalam mobil. Mereka sama-sama diam, sampai Lily menoleh pada Arsen yang sejak tadi hanya diam.“Aku masih tidak menyangka kalau Aira bisa bertahan dengan Jerry,” kata Lily sambil memperhatikan ekspresi wajah Arsen.Dia sengaja membahas hal lain.“Hmm...”Mendengar jawaban singkat dari Arsen, Lily benar-benar bingung dengan sikap suaminya. Tadi yang menyebut pertama kali soal adopsi adalah Arsen, tetapi kenapa Lily yang malah tidak enak hati dengan diamnya Arsen sekarang.“Soal adopsi, apa--” Belum juga Lily melanjutkan ucapannya, Arsen sudah lebih dulu memotong dengan cepat.“Tidak usah dibahas. Lupakan saja.”Mendengar suara Arsen sedikit membentak, Lily sangat terkejut sampai menatap Arsen dengan tatapan tak percaya.Lily ingin bicara lagi, tetapi Arsen sudah lebih dulu kembali bicara.“Malam ini aku ingin keluar.”Kening Lily berkerut dalam, lalu dia bertanya, “Keluar ke mana?”“Pergi bersama Thomas, sudah