LOGINDi kehidupan pertamanya, Permaisuri Elara adalah wanita paling naif di Istana Kekaisaran. Dibutakan oleh cinta palsu, ia mengorbankan segalanya demi Kaisar Valerian, hanya untuk dibalas dengan pengkhianatan paling keji. Di malam penobatannya, ia dijebak, dituduh makar, dan menyaksikan seluruh keluarganya dieksekusi atas perintah Kaisar Valerian—suami yang ia cintai. Puncak penderitaannya adalah ketika ia menyadari bahwa dalang di balik semua itu adalah Adelia, adik perempuannya sendiri, yang diam-diam menginginkan tahtanya dan cintanya. Elara menghembuskan napas terakhirnya di penjara dingin, bersumpah untuk membalas dendam bahkan jika ia harus menembus neraka. Ketika ia membuka mata, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali, bukan sebagai Permaisuri yang lemah, melainkan sebagai dirinya yang berusia 17 tahun, tepat sebelum semua pengkhianatan dimulai. Kini, Elara—yang membawa ingatan dan kebencian dari kehidupan pertamanya—memulai permainan catur berdarah di Istana. Ia tidak lagi mencari cinta, ia mencari kekuasaan. Setiap senyum adalah racun, setiap langkah adalah jebakan, dan setiap musuhnya akan dihancurkan dengan kejam. Tujuan Elara jelas: Menghancurkan Kaisar Valerian dan Adelia dari dalam, merebut kembali tahta yang dirampas, dan memastikan tidak ada satu pun pengkhianat yang lolos dari hukuman Permaisuri Abadi. Siapa yang akan menjadi pion, dan siapa yang akan menjadi Raja dalam permainan takdir yang kejam ini?
View MoreBau tajam Sandalwood bercampur aroma darah yang hampir membusuk adalah hal pertama yang menusuk indra Elara.
Ia tersentak, mata terbelalak, tubuhnya menjerit dalam kebingungan. Dinginnya lantai batu di sel penjara terasa nyata di punggungnya, namun sentuhan yang ia rasakan kini adalah kelembutan sutra. Telinganya masih berdenging oleh gema cambukan terakhir. "Aku mati..." bisiknya, suaranya kering seperti padang pasir. Ia memaksa dirinya duduk. Kengerian yang ia rasakan adalah memori sempurna dari eksekusi yang seharusnya baru saja ia alami: difitnah, dilucuti gelar Permaisuri, dan dibiarkan membusuk di sel hingga napas terakhirnya direnggut oleh tangan Algojo yang dibayar Valerian. Di mana luka tusukan itu? Di mana ikatan borgol yang telah merobek kulitnya? Elara menatap tangannya. Jari-jari lentik dan putih tanpa bekas luka sedikit pun. Matanya tertuju pada cermin perunggu besar di sudut ruangan. Di sana, terpantul sosok seorang gadis. Rambutnya hitam legam, terurai indah. Matanya yang besar dan jernih memancarkan kepolosan yang dulu pernah ia miliki. Pipi itu masih merona sehat, belum ditumpahi air mata dan kesedihan yang tak berujung. Ini adalah wajahnya saat berusia tujuh belas tahun. Jantung Elara berdetak seperti genderang perang di dalam dadanya. Ia segera bangkit, berlari ke cermin. Baju tidur sutra merahnya jatuh longgar di bahu. Ia menyentuh wajahnya. Tidak ada kerutan kesedihan yang mengukir di sudut mata. “Ini nyata… ini bukan ilusi… bukan siksaan akhirat,” gumamnya, suara yang keluar terdengar jauh lebih kasar dan berat dari suara Putri Elara yang manja. Ia menoleh ke sekeliling ruangan. Kemewahan yang memuakkan ini adalah Istana Musim Semi, kediamannya sebagai Putri Pertama Wangsa Kaira. Jendela besar terbuka ke arah Taman Kemakmuran. Ia mengenali ukiran naga perak pada tiang ranjang dan lukisan burung Phoenix yang dibingkai emas di dinding utara. Ia kembali. Elara berlari menuju kalender dinding yang mewah, yang dihiasi batu giok dan mutiara. Tangannya gemetar saat menyentuh angka yang terukir di sana. Bulan Keempat, Hari ke-21, Tahun ke-9 Era Kekaisaran. Momen itu menghantamnya seperti palu godam. Itu adalah tiga bulan sebelum perayaan ulang tahun Kaisar Valerian, yang berujung pada pengangkatannya sebagai Permaisuri. Tiga bulan sebelum ia menyaksikan kepala Ayahandanya dipenggal di depan alun-alun. Tiga bulan sebelum Wangsa Kaira dihancurkan dan kekayaan mereka dirampas. Tiga bulan sebelum ia diseret ke ruang penyiksaan hanya karena cinta butanya. Tiba-tiba, ia tidak bisa bernapas. Siksaan dari kehidupan masa lalu terasa begitu hidup. Ia ingat bagaimana Valerian, dengan mata dingin yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, menjatuhkan hukuman mati. Ia ingat bisikan Adelia, adik perempuannya yang berlumur madu dan racun, yang mengatakan bahwa dia adalah pihak yang menang. "Dasar bodoh," Elara meremas kain sutra di tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. "Bagaimana aku bisa sebodoh itu? Buta karena cinta yang tidak ada!" Ia tersungkur ke lantai. Selama beberapa detik, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kebencian yang mendalam. Kebencian terhadap Valerian, terhadap Adelia, dan yang paling utama, kebencian terhadap dirinya sendiri yang rapuh dan mudah ditipu. Namun, air mata tidak jatuh. Kebencian telah membakar semua kelembaban dalam dirinya. Ia menarik napas panjang, bau Sandalwood yang kini terasa ironis. Aku kembali. Aku punya kesempatan ini. Pengetahuan tentang masa depan adalah senjata yang lebih tajam dari pisau terbaik di Kekaisaran. Ia tahu setiap simpul intrik yang akan dimainkan oleh Adelia. Ia tahu setiap kelemahan Valerian. Ia tahu setiap jebakan yang mereka pasang untuk Wangsa Kaira. Ia tidak akan membiarkan sejarah terulang. Permaisuri Elara yang rapuh telah mati. Yang kembali adalah iblis yang lahir dari abu dendam, tanpa hati dan tanpa ampun. Ia mengangkat tangannya, menatap telapak tangannya yang polos. Bukan untuk cinta, Valerian. Kali ini, untuk pembalasan. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pelan dari balik pintu kayu berukir. "Putri? Apakah Anda sudah siap? Saya dengar Putra Mahkota Valerian akan datang sebentar lagi untuk jamuan teh sore. Bibi Lin menyiapkan Green Tea kesukaan Anda." Suara Bibi Lin, kepala pelayan yang setia dan hangat. Bibi Lin yang kemudian digantung oleh Valerian hanya karena menolak bersaksi melawan Elara. Mendengar nama Valerian, otot di rahang Elara mengeras. Valerian... Ia akan datang. Di garis waktu ini, Valerian masih berpura-pura jatuh cinta padanya, berusaha memenangkan hati dan mahar kekayaan Wangsa Kaira. "Aku akan menyambutmu, Valerian," pikir Elara. "Aku akan membiarkanmu berpikir bahwa aku masih boneka naifmu." Elara bangkit, merapikan gaun tidurnya. Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju pintu, memaksakan senyum tipis yang dulu terlihat lugu, namun kini terasa dingin dan mematikan. "Ya, Bibi Lin," jawabnya, suaranya kembali manis dan lembut, hanya sedikit getar yang tersembunyi. "Tentu saja. Tolong siapkan gaun terbaikku. Gaun yang paling disukai oleh... Tuan Valerian." "Dan Bibi Lin," tambah Elara, sebelum Bibi Lin sempat bergerak, "Tolong pastikan tehnya sangat manis, seolah-olah tidak ada racun di dunia ini." Bibi Lin membungkuk, tidak menyadari perbedaan mencolok dalam sorot mata Putri kesayangannya. "Akan saya lakukan, Putri." Saat pintu tertutup, senyum Elara memudar. Ia berjalan ke jendela, menatap pemandangan Istana yang megah, yang sebentar lagi akan menjadi medan perangnya. Permainan sudah dimulai. Dan di akhir permainan ini, hanya ada satu pemenang.Malam itu, Istana Kekaisaran mengadakan perayaan kecil untuk menghormati ulang tahun Ibu Suri—sebuah kewajiban formal yang dihadiri oleh semua bangsawan terkemuka. Elara berdiri di Aula Perjamuan, mengenakan gaun sutra ungu yang anggun, tampak tenang dan ramah, tetapi matanya mengamati semua pergerakan. Di tangannya, ia memegang cangkir arak buah, menjauhkan diri dari kerumunan, membiarkan orang lain mengira ia sedang cemas karena kegagalan proyek Valerian hari itu. "Tampaknya Anda sedang merayakan sesuatu, Putri Elara," sebuah suara lembut berbisik di telinganya. Itu adalah Lord Kael. Dia berpakaian berbeda, mengenakan jubah bangsawan kelas atas berwarna abu-abu gelap dengan aksen perak, dan terlihat seperti seorang Duke dari wilayah kaya. Perubahan drastis dari pakaiannya di rumah teh yang gelap. "Saya merayakan kegagalan, Lord Kael," jawab Elara, tidak berbalik, menjaga suaranya tetap rendah. "Kegagalan itu selalu mendatangkan keuntungan, bukan?" Kael tersenyum. "Informas
Ruang kerja Ayahanda, Kepala Wangsa Kaira, terasa pengap oleh ketegangan. Di atas meja mahoni yang berkilauan terhampar peta-peta militer, namun suasana di ruangan itu jauh dari kata damai. Valerian duduk di samping Ayah Elara, Tuan Kaira, dengan senyum yang dipaksakan. Namun, Elara bisa melihat urat nadi yang berdenyut di pelipisnya. Kedatangan Jenderal Orion—sekutu Wangsa Kaira yang dipaksa pensiun—telah mengganggu semua rencana Valerian. Tuan Kaira, sebaliknya, tampak bersemangat. "Aku tak sabar mendengar analisis Jenderal Orion, Yang Mulia. Dia adalah satu-satunya yang berani menantang proyek-proyek yang membuang-buang uang. Putriku, Elara, kau yang mengundangnya. Kau pasti melihat manfaatnya, Nak." "Tentu saja, Ayahanda," jawab Elara lembut. Ia duduk di seberang Valerian. "Saya hanya ingin memastikan bahwa kekayaan Wangsa Kaira digunakan untuk proyek yang benar-benar memperkuat Kekaisaran dan Yang Mulia." Valerian menyela dengan nada sedikit tajam. "Putri Elara, proyek Bente
Keheningan di ruangan pribadi itu terasa berat, hanya diselingi oleh bunyi api yang berderak di perapian. Lord Kael menatap Elara, matanya yang berwarna perak seperti memindai setiap inci jiwanya. "Harga yang lebih mahal daripada uang," ulang Elara, membiarkan tantangan itu menggantung di udara. "Apa harga yang kau maksud, Kael?" Kael tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku tidak mencari kekuasaan di Istana, Elara. Aku sudah memiliki duniaku sendiri. Yang kubutuhkan adalah kepatuhan mutlak pada saat yang kuminta. Kau harus melakukan apapun yang kuperintahkan, tanpa pertanyaan, asalkan itu tidak mengancam nyawamu atau tahtamu." Ini adalah permainan berisiko tinggi. Valerian meminta kepatuhan naif karena cinta, sementara Kael meminta kepatuhan mutlak karena kesepakatan. Keduanya adalah bentuk rantai. "Aku setuju," jawab Elara tanpa ragu. "Tetapi ada syarat timbal balik. Kau harus memprioritaskan keselamatan Wangsa Kaira, dan tidak pernah menggunakan informasiku un
Malam itu, Istana Musim Semi diselimuti oleh keheningan yang menyesatkan. Di luar kamar tidurnya, penjaga kerajaan berpatroli dengan irama yang membosankan—irama yang sudah dihafal Elara di kehidupan sebelumnya. Elara berganti pakaian. Ia meninggalkan sutra mewah dan jubah kerajaan, menggantinya dengan jubah hitam polos dengan tudung besar, pakaian yang biasa dikenakan oleh pedagang pasar malam. Ia menyembunyikan cincin giok kecil pemberian Ayahnya di balik lapisan jubah. Itu adalah jimat pelindung, yang kini ia bawa sebagai pengingat akan apa yang harus ia lindungi. Ia tidak membawa senjata. Senjatanya adalah pengetahuan. Menyelinap keluar dari Istana bagi seorang Putri yang dijaga ketat adalah tindakan bunuh diri, tetapi Elara ingat satu jalan rahasia: terowongan suplai bawah tanah tua yang jarang digunakan, menuju ke gudang penyimpanan rempah-rempah yang berada tepat di luar dinding Istana. Ia pernah menggunakannya saat remaja untuk bertemu dengan anak petani secara diam-diam.
Setelah Adelia pergi, dengan bangga membawa misi yang akan menjadi bumerang, Elara segera kembali ke kamarnya. Ia mengunci pintu, memastikan tidak ada pelayan yang menguping. Tidak ada waktu untuk bersantai. Hanya tiga bulan sebelum Wangsa Kaira dihancurkan, dan kunci kehancuran itu terletak pada Proyek Pelabuhan Selatan yang didanai oleh Ayahandanya. Valerian akan menggunakan proyek itu untuk menghabiskan kekayaan Wangsa Kaira, menuduh Ayah Elara menggelapkan dana, dan kemudian merebut sisa hartanya. Di kehidupan pertamanya, Elara, karena cinta, memohon Ayahandanya untuk menyetujui proyek itu. Kini, ia harus menghentikannya. Elara mengeluarkan gulungan peta tua yang disembunyikan di balik ukiran dinding—peta yang dulu ia gunakan untuk bermain di masa kecilnya, tetapi sekarang menyimpan rahasia militer ayahnya. Proyek Pelabuhan Selatan adalah proyek militer yang secara strategis buruk; itu hanya akan membuang-buang uang. Proyek yang benar-benar penting, yang mampu menggandak
Elara tidak menyukai bagaimana Adelia berdiri. Adiknya berdiri terlalu tegak, tersenyum terlalu manis, dan matanya menyembunyikan perhitungan yang dulu, di kehidupan pertama, tidak pernah Elara sadari. "Kakak Elara, Anda terlihat sangat lelah," kata Adelia, melangkah mendekat dengan langkah anggun yang dipelajari. Ia memegang tangan Elara dengan kehangatan palsu. "Saya sungguh khawatir melihat Anda menemui Putra Mahkota segera setelah bangun tidur." "Khawatir?" tanya Elara, menghela napas lembut, membiarkan ekspresi wajahnya terlihat sedikit rapuh. "Aku baik-baik saja, Adelia. Aku selalu senang melihat Valerian." Tentu saja, Valerian adalah mangsa paling lezat, batin Elara. "Kakakku yang manis, kau selalu terlalu baik," Adelia membelai punggung tangan Elara. Elara ingat gerakan ini. Gerakan yang selalu diikuti oleh permintaan, atau, lebih buruk lagi, oleh pemerasan emosional. Di kehidupan pertama, dua minggu setelah adegan ini, Adelia datang memohon agar Elara membantunya menutu












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments