Share

Plan B

Sebuah benda kecil yang bertugas merekam percakapan Mas Andri di kamar sudah kutempel sejak satu hari yang lalu. Kusuruh Simbok membelinya. Supaya aku tak keluar rumah.

Barusan Mas Andri marah sekali saat pulang. Dia yang tak berhasil mendapatkan tanda tanganku untuk ia berikan pada pengacara keluarga, langsung membanting pintu dengan keras. Dia mungkin kecewa. Mas Andri, Mas Andri.

Segera aku berlari ke kamar yang selama ini kutempati. Sebuah kamar berukuran kecil. Petak dan tak ber-AC. Namun aku nikmati saja. Demi kelancaran sandiwara ini.

Langsung kudekatkan headset ke telinga. Dimana aku bisa mendengar percakapan Mas Andri atau apapun menggunakan benda yang sudah kubeli. Seperti seorang detektif saja.

"Bod*h! Si Aurel hilang ingatan. Mana mungkin ia ingat soal tanda tangannya? Dan aku? Aku sama sekali tak tahu tanda tangan dia seperti apa. Kalaupun ya aku bisa palsukan, namun tidak, pengacara bilang aku harus tetap bawa Aurel untuk mengalih namakan asetnya."

Jeda.

"Kita sudah terlanjur beritahu namanya Inah. Kamu 'sih! Bikin ide gak mikir panjang. Padahal, waktu itu kita tetap saja kasih tahu nama aslinya. Kedudukannya dia di rumah ini siapa. Dia juga gak akan semprot kamu. Kan dia hilang ingatan!"

Jeda lagi.

"Ya tapi jadinya begini. Aku harus datang bersama Aurel, baru pengacara akan kabulkan keinginan aku. Arkh! Andai saja si Aurel tetap tahu identitasnya, mungkin akan lebih baik. Tinggal kita kasih tahu, kalau semua aset perusahaan itu milikku. Kalau gini kan repot."

Suara hentakkan sesuatu mengarah ke meja kayu.

"Bod*h. Kalau kita bawa Aurel ke pengacara, mereka pasti ngobrol banyak. Pak Syamsul pasti akan tanda tanya. Kenapa Aurel bersikap dingin tak seperti biasa. Ah, ini jadi ruwet!"

"Video? Jadi maksud kamu aku bikin rekaman video untuk pengacara? Nanti kalau si Inah tanya, aku mau jawab apa? Buat kepentingan tik tok? Ah, cari ide lain, dong. Pengacara bilang akan mengabulkan permintaanku kalau ada tanda tangan Aurel juga Aurel sendiri yang harus datang."

Sampai sini aku amat terkekeh.

"Ya, aku bilang Aurel pergi keluar negeri."

"Ah pokoknya ini jadi ruwet. Dan yang aku fikirkan, lebih baik aku gunakan saja semua uang milik Aurel. Kita belikan apapun. Kita investasi dalam bentuk apapun."

"Ya sudah, aku mau mandi dulu. Pikirin caranya."

Aku kaget. Mendengar percakapan Mas Andri yang pastinya itu bersama si Maya selingkuhannya. Dia berniat merampok uangku untuk ia investasikan.

Awas kamu, Mas. Tak segampang itu.

Kutaruh kembali benda yang bisa memperdengarkan suara-suara di kamar yang ditempati Mas Andri. Nanti bisa kudengar lagi. Kan rekamannya bisa tersimpan. Terus merekam dan otomatis tersimpan.

Untungnya Mas Andri tak curiga ketika aku mengambil beberapa lembar uang untuk membeli alat ini. Dia bukan tipikal pria yang rapi. Dan pas kuambil uang, kamera CCTV dimatikan terlebih dahulu. Aku masih tahu caranya.

Aku tak menyangka kamu sejahat ini, Mas. Perawakanmu yang sepadan denganku, kulit sawo matang dan tak begitu tampan itu sudah menyemai keburukan sejak awal ada niat di hatimu untuk menikahiku.

Entah sejak kapan hubunganmu bersama wanita yang bernama Maya itu. Wanita berkulit kunyit bus*k. Bertubuh seksi dengan bobot yang agak lebih besar dariku. Namun t*t*knya 'lah yang membuat bobotnya kelihatan besar. Tak seimbang. Perawakanku memang lebih pendek darinya. Ya, kurang lebih berbeda sepuluh sentian. Tapi wajahnya hanya kinclong dengan make up. Tanpa make up parasnya mungkin nampak seperti hantu.

Seketika aku ingat tentang foto-foto yang disimpan Mbok Mun di gudang, aku segera bergegas untuk mengambil foto itu. Takutnya mereka cepat membakar karena tak ingin ketahuan olehku.

Namun, tiba-tiba, pas keluar, Mas Andri sudah berjalan ke arah kamarku. Entah ia mau ke dapur atau kemana. Aku segera masuk dan menyembunyikan benda penting tadi. Untung Mas Andri belum melihatku. Dan setelah kusimpan benda itu di sela-sela pakaian, aku langsung keluar. Niatku pura-pura berjalan tak melihatnya.

Beberapa detik kemudian.

Dukg!

Aku dan Mas Andri tabrakan. "Eh, maaf, Tuan. Saya buru-buru mau ke dapur." Aku mulai mencari alasan. "Inah, aku mau bicara sama kamu." Ia memintaku untuk bicara dengannya. Tatapannya bingung. Dan aku memasang tatapan polos.

"Ada apa Tuan?" tanyaku menyelidik. Namun Mas Andri seperti bingung akan bicara apa padaku. Ia hanya menggaruk kening dengan pikiran tak karuan. Aku bisa melihatnya. Mas Andri amat bingung.

"Tuan?" Aku memecah lamuannya.

"Eh, enggak. Enggak jadi. Aku mau ke kamar lagi. Kamu gak usah bahas." Mas Andri beralasan. Dia segera membalikan badan untuk menjauh. Aku tahu, Mas, kamu bingung. Kamu juga ingin merampas semua milikku tapi tak bisa.

Ting tong!

Ting tong!

Suara bel berbunyi. Ingin kubuka, namun Mas Andri lebih dulu berjalan ke arah pintu. Mungkin tamunya? Dan yang datang adalah Maya. Si Wanita itu lagi. Ya ampun. Dasar kurang kerjaan.

"Hallo, Mas?" Maya mengecup pipi Mas Andri. Astaghfirullah! Tahan! Aku bukan cemburu. Tapi kesal dengan kelakuan mereka.

"Inah? Ngapain?" Maya melihatku yang sedang memandangi mereka. Aku langsung tersenyum tanpa gugup. Sesantai mungkin.

"Enggak, Non. Barusan saya mau bukakan pintu, eh Non udah masuk. Non mau minum apa?" tanyaku. Dia kini dibawa duduk oleh Mas Andri.

"Gak usah! Aku kemarin sakit perut, Mas. Dan aku yakin, pasti Inah yang masukkan serbuk pencuci perut di minumanku kemarin. Kemarin kan aku habis minum jus jeruk buatan kamu?" Maya menuduh. Tatapan matanya melayang ke arahku. Mas Andri heran.

"Ya ampun, Non. Mana berani saya masukkan kayak gituan. Semasih disini, sampai pulang Non kan baik-baik saja. Saya tak mungkin berbuat jahat pada Non. Pasti Non habis makan yang pedas ya?" jelasku pelan. Tanpa raut gugup atau nada gagap.

"Alah, kamu sirik sama aku 'kan? Aku sebentar lagi jadi majikan kamu. Terus kamu iri sama aku," cungurnya mulai menggelitik telinga. Namun aku hanya diam.

"Non pasti sudah makan yang pedes ya?" tanyaku lagi pelan. Mas Andri melipat keningnya.

"Iya kali, Sayang. Kamu makan pedes? Gak mungkin Inah sirik sama kamu. Kan kemarin kamu ambil minuman milik aku. Jadi kalaupun Inah memang masukkan serbuk itu, buat aku dong. Dan buat apa? Sirik apa sama aku?" Mas Andri mulai paham.

"Mas, kok kamu jadi belain dia 'sih? Aku itu pacar kamu. Kita bentar lagi nikah. Kok kamu belain pembantu ini?" cerosos Maya lagi. Ia terlihat kesal pada Mas Andri yang seperti membelaku. Oh, oh, dia pasti cemburu. Jelas 'lah, wajahku ayu, kulitku putih dan merona. Perawakanku lumayan imut. Haha. Memuji.

"Bukan, bukan gitu. Aku bukan bela dia. Tapi pasti kamu habis makan pedes. Kamu kan suka pedes," kata Mas Andri. Kini tangannya mulai meraba-raba tangan Maya.

"Iya, sih. Aku habis makan pedes. Tapi gak pernah sampai kayak kemarin malam. Mual, sakit, pusing. Untung saja aku gak muntaber!" celetuk Maya lagi. Ia menjelaskan. Memang aku kasih dia serbuk pencuci perut yang akan bereaksi amat sangat bila ia memakan makanan pedas.

"Tuh, kan. Ya sudah, kita ke kamar. Aku mau tagih janji kamu," kata Mas Andri sambil mencolek hidung Maya yang tak semancung indra penciumanku.

"Em, ayok. Tapi kamu akan kasih apa yang aku mau kan?" Mereka bicara sambil melangkah pergi menaiki tangga. Tak hiraukan aku lagi. Dasar! Jangan-jangan mereka ingin berbuat mes*m di kamarku. Tidak, tidak boleh terjadi.

Benar saja mereka berdua makin mendekat ke arah kamar lantai atas. Disana kamar utama kami. Dan aku tak mau kamarku mereka pakai untuk berbuat hal yang menjijikan.

Setelah kedengarannya mereka masuk kamar, aku mengintip sedikit. Aku dengar Mas Andri sedang merayu-rayu si Maya. Kurang ajar!

Aku harus cari ide untuk menggagalkan niat mereka. Dengan segera berlari ke bawah menemui Simbok.

Mulai berteriak. "Mbok! Aku ke gudang dulu. Aku akan bawa sesuatu." Pasti teriakanku terdengar oleh mereka. Namun mereka belum ngeuh.

Aku membisikan sesuatu pada Simbok setelahnya. Supaya ia gagalkan rencana mereka yang akan berbuat m*sum itu.

Simbok segera berlari kelihatannya ke arah lantai atas. Aku sudah mendengar Simbok mengetuk pintu beberapa kali. Belum terbuka. Tak terbayang, mereka yang akan melucuti pakaian terhambat oleh gangguan Simbok.

Dor dor dor!

Simbok menggedor pintu. Pasti diiringi jeritan murka atas kelakuan mereka.

Terdengar pintu membuka.

"Kenapa 'sih, Mbok?" Mas Andri kedengarannya bertanya dengan kesal pada Simbok. Pasti gara-gara niatnya gagal.

Aku segera berlari ke gudang dengan cepat. Kuambil sebuah foto dimana terdapat foto aku dan Mas Andri. Kupilih yang menggunakan pakaian biasa. Supaya ada alasan nantinya untuk dia mengelak. Kalau aku ambil foto yang memakai baju menikah, di pasti akan lebih bingung untuk cari alasan. Kalau-kalau dia beralasan. Akan kupikirkan rencana mendadak.

Aku pura-pura seakan syok dan pingsan setelah melihat foto itu. Kutindihkan sebuah kayu dimana mereka akan menyangka kalau aku pingsan karena tertindih kayu jatuh. Dibagian kepalaku pula.

Beberapa saat kemudian mereka datang. Pastinya Simbok, Maya dan Mas Andri.

"Hah? Mbok? Dia kenapa?" tanya Mas Andri panik. Aku masih pura-pura pingsan. Alhamdulillah, mereka tak jadi berbuat hal lakn*t di kamarku. Enak saja.

"Mas? Foto?" Terdengar Maya berbisik demikian. Pasti mereka ketakutan.

"Ayok, ambil foto itu." Mas Andri menyuruh Simbok mengambil foto kami. Dan disuruhnya Simbok untuk menyembunyikan lagi foto itu di tempat lain.

"Iya, Tuan. Tadi Simbok denger Inah mau ke gudang. Simbok baru ngeuh kalau di gudang ada foto-foto itu. Dan baru saja Simbok mau melarangnya, Inah sudah jatuh. Mungkin tertimpa kayu ini, Tuan." Simbok berusaha meyakinkan. Aku seperti diraih dan dipangku oleh Mas Andri. Kudengar Maya ketakutan. "Mas? Ini gimana? Dia pasti curiga soal foto itu?" Aku mendengarnya. Pintar juga aku pura-pura pingsan. Dan sebentar lagi aku akan segera menyudahi ini. Takutnya aku malah tertawa. Simbok nanti akan ulaskan minyak kayu putih untukku.

Aku dipangku dan diletakkan di sebuah kasur empuk. Dan ternyata sofa. Aku dibaringkan di atas sofa ruang tengah.

"Tuan, biar Simbok yang urus Inah. Tuan gak usah khawatir," kata Simbok. Ia mendekatkan minyak kayu putih ke hidungku.

"Enggak, Mbok. Pas bangun Inah pasti tanyakan tentang foto itu. Awas, Mbok. Jangan jelaskan apapun. Atau Mbok aku pecat!" Terdengar bisikan Mas Andri mengancam Simbok.

"Iyo, iyo, Tuan."

Aku terbangun setelah beberapa saat. Yang kulihat pertama adalah wajah Mas Andri dan Maya. Mereka seakan berharap kalau aku masih amnesia.

Pura-pura pening dan pusing. "Ini? Ini dimana?" tanyaku menyelidik. Simbok, Maya dan Mas Andri masih cemas.

"Mas Andri?"

Dan aku memanggil nama suamiku. Sontak, wajah Mas Andri dan Maya mulai memucat. Simbok pun belum kuberi tahu tentang sandiwara ini. Wajah Simbok bingung sekali.

"Hah?" Mas Andri super kaget.

"Mas? Aku kenapa?" Aku pura-pura sembuh dari amnesia. Namun ... haha.

Simbok kedip-kedipkan mata tanda tak mengerti denganku. Namun aku tak hiraukan dulu. Biar Simbok juga berfikir.

"Kamu siapa? Kamu juga?" Aku menanyakan siapa Simbok. Siapa Maya. Jelas semuanya kaget. Maya mulai berlindung dibalik tubuh Mas Andri. Dia mulai ketakutan. Bahkan sesekali ia palingan pandangan saat kutatap.

"Mas? Kok kamu diem? Lalu Kamu siapa?" Aku menanyakan perihal wanita paroh baya yang ada disampingku. Mbok Mun. Aku pura-pura tak mengetahuinya.

"Dan kamu siapa? Ngapain kalian disini? Ini rumahku 'kan?" Aku bangkit. Lalu menyelidik. Dan intinya aku akan buat kalau amnesiaku pulih. Namun aku hanya mengingat Mas Andri saja. Tak lebih. Hanya Mas Andri saja.

"Mas? Panggil dokter!" bisik Maya menyuruh Mas Andri memanggil dokter. Biarkan mereka memanggil ahlinya untuk cek kondisiku. Toh nanti juga dokter akan tahu sepengecekannya yang diutarakan olehku.

"Bajuku kok gini? Mas? Ini ada apa?" Aku pura-pura terkejut dengan pakaian yang aku kenakan. Sebuah pakaian sederhana pakai rok pula. Maya dan Simbok memasang wajah bingung. Malah wajah si Maya makin pucat.

"Kamu siapa?" tanyaku pada Simbok lagi. Mas Andri terdengar memanggil dokter. Ia menyuruh dokter untuk segera datang.

"Non? Non sudah pulih? Ini Simbok?" jelas Simbok dengan raut kaget. Malah kini bola matanya berkaca-kaca haru. Simbok akting pula?

"Simbok? Siapa?"

"Dan kamu siapa? Tunggu. Yang aku ingat hanya suamiku Mas Andri. Kenapa ini? Ada apa? Mas?" Aku pura-pura histeris. Biar Maya pikir aku tak mengingat kejadian mereka.

"A--Aurel? Ka-kamu?" Mas Andri mendekat. Langsung saja kupeluk suamiku dihadapan si Maya. Biar ia kebakaran jenggot. Karena aku tak mau mereka terus berz*na, aku jalankan plan B. Haha.

"Mas? Aku kok gak inget siapapun? Aku cuma inget kamu suami aku. Dan ini rumah siapa? Rumah kita 'kah?" tanyaku penuh cemas dan histeris. Aku harus pastikan mereka percaya.

Ah mereka pasti makin bingung. Perlahan Mas Andri membalas pelukanku. Sesekali menoleh ke arah Maya. Lihat! Aku akan terus bersandiwara untuk melancarkan aksi kalian. Eit, tapi jangan kegirangan.

"Ka-kamu inget aku? A-aku teman kamu?" celetuk Maya gagap. Simbok heran. Ia bingung harus bagaimana.

"Teman? Benarkah? Ah aku tak tahu. Tolong panggil dokter, Mas. Aku ingin tahu kondisiku ini. Tolong!" Aku menangis. "Iya, aku sudah panggil dokter." Mas Andri menyeka air mataku di depan Maya. Dan Simbok pasti bingung. Dia tak kuberi tahu sejak awal. Malah Simbok pasti berpikiran kalau aku benar amnesia lagi.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status