"Besok lagi, jangan nerima penumpang pakek masker," ujar Morgan.Begitu tiba di lampu merah yang jaraknya tak jauh dari kampus, Morgan menghentikan motornya. Terlebih lagi, ia tak berhenti mengomel sepanjang jalan gara-gara aksi kakeknya tadi.Begitu lampu hijau menyala, Morgan melaju di jalanan dengan sepeda motornya, rambutnya terombang-ambing oleh angin. Di dunia luar, ia adalah ojek dengan jaket usang dan helm lawas. Tetapi, di dalam hatinya, Morgan tahu bahwa gelar mahal dan kekayaan keluarganya tidak selalu membuatnya bahagia.Ponsel Morgan bergetar di dalam saku jaketnya yang serba simpel. Ia menarik ponselnya dan melihat pesan dari Kakeknya.[Ke kampus sekarang atau kakek sebarkan fotomu, biar semua orang tau siapa kamu sebenarnya]Deg!Jantungnya nyaris berhenti berdetak setelah membaca pesan tersebut. "Buset dah, aki-aki ini nekat banget," ucapnya sambil menggelengkan kepala. "Ahhhh, malas kali ikut seminar. Apalagi yang ngisi kakek," gerutunya menciptakan rasa malas di dal
Keriuhan menyebar diantara para peserta seminar ketika layar proyektor tiba-tiba mati. Sementara suara kakek Morgan terputus, meninggalkan suasana sunyi yang tidak nyaman.Morgan, yang sebelumnya hampir terlena oleh kejutan kehadiran Regina, kini sepenuhnya sadar dan duduk dengan tegang. Menatapnya wajah bingung semua orang, menciptakan suasana yang mirip dengan listrik mati di tengah pertunjukan.Regina mengangkat bahunya dengan santai, seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. “Kayaknya wifi-nya lemot lagi,” katanya sambil tersenyum kepada Morgan.Meski suasana tegang, Morgan tak bisa menahan tawa kecilnya. Rupanya kejadian ini berhasil meruntuhkan sekat-sekat ketidakpedulian Morgan, dan ia menyadari bahwa di balik pesona Regina, gadis itu membawa keceriaan dan ketenangan di saat-saat genting.Sementara itu, di panggung, kakek Morgan tampak agak kesulitan. Mikrofonnya terputus, dan dengan suara yang terdengar dari belakang panggung, ia mencoba memberikan isyarat pada panitia
Setelah seminar selesai, suasana riuh di aula mulai mereda. Satu persatu Mahasiswa keluar dengan berbisik-bisik dan terdapat cahaya redup di sudut-sudut ruangan yang tadinya menjadi pusat perhatian dan sebagai cahaya penerangan. Morgan mengikuti aliran orang-orang, melangkah keluar aula dengan wajah yang masih mencerminkan kepuasan atas penyelesaian masalah tadi. Ketika aula semakin sepi, Regina yang tadi duduk di belakang, kini mengikuti Morgan yang berjalan menuju lorong. Wajahnya berbinar, dan langkahnya mantap mengikuti mahasiswa IT tersebut. Regina mencoba memanggilnya dengan lembut, "Hei, Morgan!" Morgan berbalik dan melihat Regina mendekat. tatapannya yang awalnya datar sedikit berubah redup saat menyadari bahwa Regina menuju ke arahnya. “Apa,” ucapnya singkat. Regina tersenyum lebar, "Kamu tu keren banget sih, serba bisa. Coba kalau kamu nggak ke aula tadi,, kacaulah. Semua peserta berhutang budi atas bantuanmu tadi di ruang IT. Itu benar-benar menyelamatkan seminar kita."
"MORGAN!!!""Morgan tungguin!!!"Telinganya dengan jelas mendengar teriakan wanita itu. Namun apa daya tangan kanannya terlanjur memutar gas hingga motornya melaju dengan kecepatan tinggi."Pa an sih Regina. Paling mau nebeng," ujarnya bodo amat. Langit sudah mulai senja disertai gerimis dan sorot lampu jalan mulai menyala. Morgan mengendarai motornya dengan kecepatan sedang.Namun, ketenangan sore itu seketika terguncang. Suara deru motor yang mendekat dengan cepat membuatnya menoleh. Tiba-tiba, segerombolan geng bersepeda motor muncul di kejauhan. “Duh, itukan dengnya Derren,” ucapnya setelah mengenali jaket dan motor mereka.“Pasti mereka mau balas dendam gara-gara ku laporin polisi kemarin,”Derren dan gengnya, seperti bayangan iblis yang muncul dari kejauhan. Lampu motor mereka menyala terang, menciptakan pantulan sinar di permukaan basah jalanan ketika hujan. Suara deru mesin yang kuat memecah keheningan senja, menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan. Mereka berkeliaran di
Morgan memakai jaket lalu mendekati motornya. Tak lupa ia memberikan helm pada kakeknya yang hendak ikut ke kost.Arthur menatap motor milik cucunya dengan datar, seolah pertama kali melihat objek transportasi tersebut. Matanya menyisir motor itu dari ujung hingga ujung, dan Morgan bisa merasakan aura ketidaknyamanan yang tersirat dalam ekspresi wajah kakeknya.“Ayo dipake helmnya,” pinta Morgan."Tidak bisakah kita naik taksi saja?" tanya Arthur dengan nada keberatan.Morgan tertawa kecil. “Duh, tinggal naik aja repot amat sih,”Arthur menghela napas panjang, tampaknya mencoba menerima kenyataan. Dia mengangguk setuju, meski masih terlihat ragu.Sejatinya Morgan ingin berbagi kebahagiaan sederhana dengan naik motor di jalan yang bebas.*19.30 WIBKlik...ceklikk...."Adooohh, ini pintunya berapa abad sih nggak dibenarin," omel Arthur. Begitu ia kembali ke kamar Morgan sambil menggantung handuk di badan, dengan menahan segala keluhannya selama di kamar mandi yang air krannya kecil.Al
22.00 WIB"Padahal masih jam segini, pada kemana ni drivernya," keluh Arthur sambil memeriksa pesanan di aplikasi yang tak kunjung mendapat driver.Morgan hanya bisa menggelengkan kepala melihat kakeknya bersikeras mendapat fasilitas mewah disini."Emang kakek pesan apa aja sih," tanya Morgan sembari menutup laptopnya. Lantaran muak daritadi tak hentinya mendengar ocehan pria paruh baya itu."Nggak banyak kok," sahut Arthur.Morgan bergegas pindah posisi duduk di sebelah kakeknya. Dimana kasur busa tersebut akan terasa goyang Ketika ada yang pindah posisi."Apa aja coba?" tanya Morgan lagi."Cuma ini kok," Arthur menunjukkan layar ponselnya yang berisi tampilan deretan menu makanan yang ia pesan. "Matcha Slice, Chia Hempseed Choco Brownies, Carrot Cake, Buttermilk Fried Chicken and Waffles Egg Benedict, Hot Cappuccino, Creamy Mac and Cheese,Super Nutty Protein Bowl, dan Vegan Champion Omelette,""Buset banyak banget! Nggak sekalian di pindah kesini aja restorannya." maki Morgan tak ha
Matahari pagi setelah hujan meninggalkan jejak-jejak kesejukan di kampus. Udara segar dan embun pagi masih menempel di rerumputan dan dedaunan. Pepohonan tampak lebih hijau dan segar, tetes-tetes air yang tersisa gemerlap di ujung daun.Suasana pagi itu dihiasi oleh warna-warni payung yang menggantung di tangan mahasiswa. Jejak-jejak basah di tanah mengisyaratkan bahwa hujan belum lama turun. Sebagian mahasiswa yang berjalan di trotoar tampak membawa tas dan payung, sementara sebagian lainnya memilih untuk menikmati pagi tanpa perlindungan, menyusuri trotoar sambil merasakan tetes air yang masih menggantung di daun-daun.Di area terbuka, beberapa kelompok mahasiswa terlihat berkumpul, duduk di bangku-bangku atau rumput yang kering. Beberapa di antara mereka asyik berbicara dan tertawa, sementara yang lain tengah sibuk mengamati ponsel mereka atau membaca buku. Sementara itu, aroma tanah basah dan udara segar pagi menciptakan suasana yang menyegarkan. Sejauh mata memandang, bangunan-ba
Gerombolan geng Derren tiba di kampus. Mereka berjalan dengan sikap yang percaya diri, langkah yang berirama seolah-olah menandakan keberanian. Mereka bergerak dalam formasi yang teratur, sesekali berbicara dan tertawa dengan nada keras. Ekspresi wajah mereka memberikan kesan antara santai dan siap siaga, seolah-olah mereka adalah pemain besar di kampus ini dan siap menghadapi apapun yang datang.Outfit mereka mencerminkan identitas geng yang kuat dan solid. Tidak ada dari mereka yang menggunakan outfit murahan. Pasti outfit yang mereka pilih dari brand terkenal.Beberapa di antara mereka mungkin melemparkan tatapan tajam, menunjukkan bahwa reputasi geng ini telah meluas, dan orang-orang di kampus tahu bahwa mereka bukan sekadar kelompok biasa. Sementara itu, sebagian mahasiswa lain mungkin merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka, dan suasana kampus yang seharusnya riuh menjadi sejenak hening seiring dengan kedatangan geng ini."Ren, jujur aku masih nggak terima. Kita harus balas