Najwa masih berbaring di atas tempat tidur. Tangis wanita itu telah usai sejak tadi, tetapi perih karena perbuatan Rafa masih menggelayuti hati. Sayatan luka yang ditoreh laki-laki itu begitu dalam. Tidakkah Rafa memikirkan perasaannya? Tak bisakah sedikit menghargai dirinya? Sakit pengkhianatan lelaki itu terekam jelas di benak Najwa dan akan meninggalkan trauma berkepanjangan. Bukannya meminta maaf dan berusaha membujuk badai yang sedang mengamuk di dadanya, Rafa malah pergi. Baginya, sudah jelas di mana laki-laki tersebut meletakkan hati.
"Aku tak mau berzina, karena itu aku menikahinya." Alasan yang diujarkan Rafa laksana belati yang menikam dada Najwa. Kalau lelaki itu menundukkan pandangan tak mungkin ada hasrat kepada wanita lain. Ingatan wanita bermata sayu itu terlempar ke masa lalu. Ketika mereka masih baik-baik saja. Nyaris tidak ada pertengkaran, bila terjadi perselisihan selalu dia yang mengalah meski tak bersalah. Dia selalu berusaha memahami Rafa meski sang suami tak pernah melakukan hal yang sama. Bukan terlalu mencintai, tetapi dia ingin berbakti sebagai istri yang baik sebab setelah menikah surga seorang istri ada pada suaminya. Najwa tertawa pahit menyadari kebodohannya menanamkan kepercayaan begitu besar kepada Rafa. Tanpa dia sadari laki-laki yang dianggap baik, kini mendua di belakangnya, yang lebih menyakitkan pengkhianatan itu terjadi ketika dia terbaring di rumah sakit. Saat dia mati-matian menahan sakit sang suami justru tengah mereguk madu dengan wanita lain. Seandainya tak ada iman di dadanya, mungkin Najwa telah kehilangan kewarasannya. Andai saja dia tidak membuka pesan yang baru masuk ke ponsel Rafa, mungkin bangkai itu tidak akan pernah tercium. Inilah jawaban doa-doanya setiap malam. Pengakuan keluar begitu saja dari mulut Rafa tanpa beban. Perlahan-lahan Najwa bangkit setelah berusaha mengumpulkan kekuatannya. Dia berjalan menuju jendela kamarnya yang masih terbuka. Mata wanita itu terpejam merasakan sapuan lembut angin malam di wajah, seolah-olah ingin menenangkan hati yang masih merengek pilu. Najwa menengadah menatap langit malam yang dipenuhi cahaya bintang membuat dia merasa tidak sendiri. Benda langit bercahaya itu seakan tahu kalau hatinya sedang terluka parah. Hari ini akan menjadi awal yang suram untuk hidupnya. Najwa tahu dia tak akan bisa menerima pernikahan kedua Rafa. Dia butuh sang ayah membantunya melewati ujian pernikahan. * Matahari sudah keluar dari peraduannya. Cahayanya belum terlalu terik karena awan kelabu selalu menutupi. Di pekarangan rumah Najwa terparkir mobil sedan hitam yang dikendarai Amir, Ayah Najwa. Laki-laki berusia lima puluh lima tahun itu duduk di atas kursi di ruang tamu di sebelah putrinya yang masih terisak menceritakan perbuatan suaminya. Sebagai ayah Amir sangat memahami perasaan putrinya, tetapi dia tidak bisa menyalahkan Rafa membabi-buta sebelum mendengar pengakuan sang menantu. "Aku mau cerai saja, Ayah. Aku tidak kuat dimadu." Isakan Najwa semakin keras saja. Matanya seolah-olah tak lelah menderaikan cairan beningnya semalaman, meski begitu dadanya masih terasa nyeri. Lelaki yang rambutnya sudah disela uban menghela napas panjang. Dia tidak mengira menantunya berpoligami secara diam-diam. Sebagai ulama dia sangat tahu hal itu diperbolehkan, tetapi agama juga sudah memberi tuntuanan dengan cara yang baik. "Nak, perceraian dibolehkan, tetapi itu perkara yang sangat dibenci oleh Tuhan." Amir menasehati putrinya. "Aku mengerti Ayah, tapi sampai kapan? Selama beberapa bulan ini Rafa mengabaikanku. Aku pikir dia lelah bekerja." Najwa mengangkat pandangannya, manik mata wanita itu tak lagi seindah dulu, redup laksana bulan mati. "Aku tak pernah memprotes saat dia pergi pagi pulang larut malam. Aku masih berhusnuzhon padanya, ternyata ...." Najwa tak sanggup meneruskan kalimatnya. Sejak semalam Rafa belum pulang. Dia bertanya-tanya, apakah pernikahan mereka tak ada artinya lagi? Setelah mengakui mendua Rafa seakan tak perlu sungkan padanya atau keluarganya. Amir mengusap kepala Najwa yang tertutup hijap dengan dada terasa penuh. Sebagai ayah dia ikut sakit melihat air mata putrinya yang sejak dulu tak pernah dia biarkan bersedih. Apalagi sejak sang istri tiada, hanya Najwa miliknya yang berharga. Dia tak hanya bisa memberi nasehat penguat agar putrinya bisa meluaskan sabar dan belajar ikhlas. "Ayah tahu ini sulit, tetapi Ayah yakin kamu bisa melewati masalah ini. Kamu putri Ayah yang kuat." Najwa tidak berkata apa-apa lagi, sebab usapan sang ayah mampu meredam semua energi negatif yang kini berputar-putar di kepalanya. Najwa mengusap air mata ketika mendengar deru mobil Rafa di pekarangan rumah. Dia tidak ingin laki-laki itu melihat betapa berantakannya dia. Tampaknya lelaki itu masih memiliki rasa segan kepada ayahnya sehingga segera datang ketika ditelepon. "Ayah." Rafa menghampiri Ayah Najwa, dia melirik sang istri sekilas. Ada iba bergelayut di dadanya melihat paras Najwa yang pucat. Amir menatap menantunya lekat. "Ayah tidak perlu berbasa-basi lagi. Apa benar kau telah menikah lagi?" Rafa mengangguk. Dia duduk di depan lelaki tersebut dan menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap Ayah Najwa, bagaimana pun laki-laki itu mertua yang sangat dia hormati. "Apa kau sudah lupa dengan janjimu dulu ketika menikahi Najwa?' Rafa lagi-lagi menggeleng. "Aku tidak lupa Ayah, tapi aku tidak berdaya. Perasaan ini datang begitu saja." Najwa tersenyum getir mendengar kata tidak berdaya yang keluar dari bibir Rafa. Dia enggan menatap lelaki itu, rasanya seluruh yang ada pada Rafa laksana racun yang membunuhnya perlahan. "Apa kesalahan Najwa hingga kau menikah diam-diam?" Lagi Amir bertanya. Rafa mengangkat pandanganya. "Aku minta maaf sudah mengecewakan Ayah. Aku mencintai Najwa, tapi sampai saat ini kami belum memiliki anak. Setiap laki-laki tentu mendambakan keturunan." "Apa putriku tidak bisa memberikan?" "Bukan tidak bisa, Ayah. Fisik Najwa sangat lemah ditambah dia baru saja sembuh dari sakit, sementara aku sudah terlalu ingin memiliki anak. Itulah alasan paling mendasar kenapa aku menikah lagi." Najwa menatap Rafa dengan sorot tidak percaya. Tega sekali laki-laki itu menyudutkannya. Padahal selama dua tahun ini justru Rafa yang meminta menunda momongan. Akan tetapi, di depan ayahnya sampai hati membalikkan fakta. Dia ingin bicara, tetapi lebih dulu sang suami kembali angkat suara. "Bukankah agama kita tidak melarang poligami, kan, Ayah?' Amir diam. Dia tahu sang menantu sedang mencoba menekannya. Laki-laki berwajah teduh itu tersenyum. "Memang tidak dilarang. Tidak ijin dari istri pun juga tak masalah, hanya saja akan lebih baik dibicarakan baik-baik dengan istrimu. Tidak semua wanita kuat berbagi hati apalagi suami." Meski tersenyum dan menjawab pertanyaan Rafa dengan lembut, Najwa bisa merasakan getaran dalam suara ayahnya. Lidahnya seketika kelu, kata-kata yang hendak diutarakan tertelan kembali. Dada Najwa terasa sangat sakit melihat luka di manik mata sang ayah. Wajar, orang tua mana yang tega melihat anaknya di sakiti, tetapi dia tidak berdaya sebab Rafa menjadikan pengetahuan Ayahnya tentang agama sebagai serangan balik. Najwa menahan air mata ketika tatapannya dengan sang ayah beradu. "Nak, Ayah rasa semua sudah jelas. Semua terserah padamu. Kau tentu tahu apa yang terbaik untukmu. Kau seorang yang pintar. Tenangkan dirimu, pikirkan semua dengan kepala dingin. Ayah yakin kau tahu apa yang terbaik untukmu."Aku memperhatikan dokter memeriksa Athar dengan perasaan tak menentu. Cemas, takut, dan marah campur aduk di dadaku. Aku tak melihat luka di tubuh bocah lelaki itu, tetapi yang aku takutkan pengalaman dicu-lik akan mengendap di benaknya dan menjadi trauma berkepanjangan. Sampai saat ini aku bahkan belum memaafkan kelalaianku menjaga Athar. Padahal sebelumnya aku sangat berhati-hati, mungkin inilah yang dinamakan sedang tidak beruntung? "Bagaimana anak saya, dok?" Aku langsung bertanya ketika dokter tadi selesai memeriksa Athar. "Dia mengalami dehidrasi, sepertinya dia tidak mendapat asupan makanan dan minuman lebih dari delapan belas jam." Da-daku seperti digodam besi mendengar penjelasan dokter. Jangankan delapan belas jam, Athar makan teratur tiga kali sehari, bahkan mulutnya tidak berhenti ngemil tiap jam. Membayangkan dia harus menahan lapar dan haus selama itu membuat amarahku kembali berkobar. Aku berjanji Risa harus membayar perbuatannya dengan tinggal di hotel prodeo selam
"Tante, aku lapal!" Aku berteriak dengan kesal lalu menatap Athar tajam. "Berisik! Bisa diam gak? Lama-lama aku sum-pal mulutmu pakai batu!" Aku menunjukkan batu apung sebesar tinju orang dewasa kepada Athar. Suara rengekannya membuat kepalaku terasa pecah. Apalagi dia selalu memanggil Uminya. Najwa, wanita itu berhasil membuatku malu di media sosial. Aku terpaksa menonaktifkan akun tok-tokku agar tidak diserang lagi oleh netizen. Niatku mencari simpati malah dimentalkan Najwa. Seseakun yang aku yakin dia dalang di belakang layar membuat postingan tandingan sehingga semua tuduhan yang aku arahkan padanya luruh sendiri. Aku tidak mengira dia merekam percakapan kami. Benar-benar wanita licik. Akibat dari postingannya itu aku harus kehilangan follower sampai ribuan. Padahal aku sudah mendapat beberapa endorsan yang belum sempat kuposting. Rencana mendapatkan u-ang dari akun tok-tok gagal total, ditambah lagi sindiran teman-teman di dunia nyata yang juga berteman denganku di sosial med
Tangisku tak kunjung berhenti, dadaku pun terasa semakin mengkerut membayangkan nasib Athar. Harusnya aku tak membiarkan dia pergi sendiri, harusnya aku yang membeli makanan untuknya. Kata-kata pengandaian terus bermain di kepalaku menikamkan rasa bersalah ke dalam dada. Ya, Tuhan ... di mana putraku? Siapa yang telah membawanya?"Sayang, apa yang terjadi?" Mendengar suara Bastian aku mengangkat kepala, ada setitik rasa lega hadir melihat lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku."Mas, Athar ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, sesak di rongga dada belumlah tuntas memantik tangisku kembali pecah."Annisa, ada apa? Di mana Athar?" "Gak tahu, Pak. Tadi kata yang punya warung makan Athar udah balik ke toko, tapi dia juga gak bisa memastikan Athar sudah masuk atau belum." Annisa menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir.Aku bisa merasakan usapan di punggung serta helaan napas berat dari mulut Bastian. Aku tahu ini kelalaianku, tak seharusnya membiarkan Athar pergi
"Sayang, ponselmu dari tadi bunyi. Kayaknya notifikasi dari tiktok." "Oh, ya?" Aku melirik ponsel yang kuletakkan di atas bufet kecil di sudut ruang makan. Aku tersenyum, pasti akun bodong yang aku buat sudah ramai dengan komentar-komentar julid khas netizen plus enam dua, apalagi topiknya tentang pelakor. Biasa, kan, kalau ada bau-bau wanita pengganggu pasti akan dikerubungi seperti semut menemukan gula. "Ada apa? Kok, senyum-senyum gitu?" Bastian yang sedang menyuap bubur ayam melirikku dengan tatapan penasaran. Aku menarik kursi dari meja makan lalu duduk di sebelahnya. "Kamu ingin tahu atau ingin tahu banget?" Aku balik bertanya sambil bertopang dagu dan menatap Bastian dengan sorot menggoda. "Ck, kalau seperti ini pasti seru. Memangnya ada apa?" Bastian mengelap mulutnya. Dia memang penyuka bubur ayam, sebentar saja makanan itu sudah tandas. "Begini." Aku menghadapkan wajah dan tubuh ke arah Bastian, suatu kebiasaan bila ingin bicara sesuatu yang serius. "Kemarin aku pecat
"Pak Bastian di mana?" Risa celingak-celinguk mencari keberadaan Bastian. Wajahnya memucat, tetapi dia sangat pandai mengendalikan diri sehingga tidak terlihat panik. "Untuk apa kau bertanya di mana suamiku?" "Sa, saya ...." Aku bersedekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi menunggu apa jawaban Risa. "Tadi Pak Bastian nyuruh saya masuk. Saya pikir ...." "Kamu pikir itulah kesempatan untuk merayu suami saya, begitu?" Bukannya takut, Risa malah menantang mataku. "Syukurlah kalau Ibuk sudah tahu. Jadi, saya tidak perlu menyembunyikan lagi perasaan saya." Aku berdecak dan geleng-geleng kepala mendengar pengakuan lugas Risa. Tak ada ketakutan di rautnya berkata seperti tadi. Sungguh kepercayaan diri yang tidak berada di tempatnya. "Lalu setelah saya tahu apa yang kamu harapkan?" "Saya harap Ibuk bersedia menerima saya sebagai madu. Tenang saja, walau saya lebih muda, tetapi saya tidak akan menguasai Mas Bastian." Mas? Aku tertawa dalam hati mendengar Risa sangat percay
"Kita tunggu Umi, ya. Belum lapar, kan?"Aku tersenyum melihat Athar menggeleng, tetapi tangannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Pipi gembulnya bergoyang membuatku tak tahan ingin mencubitnya."Katanya tunggu Umi, kok, ngemil?" Lagi terdengar protes Bastian. Dia sesekali melirik Athar yang tenang duduk di atas kursi, sementara tangan lelaki itu sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan."Kelipik Umi enak, Bi. Athal suka, Umi pintel masak." Dia menjawab dan mengacungkan jempol ke Bastian untuk memvalidasi ucapannya."Cuma Umi? Masakan Abi juga enak lho." Athar lagi-lagi menggeleng. "Lebih enak masakan Umi."Aku tertawa kecil mendengar balasan Athar, dia memang belum bisa melapalkan huruf R dengan baik. "Wah, makasih, sayang. Umi pinter karena masak Abi yang ngajarin." Aku menghampiri keduanya dan ikut menyela obrolan mereka, lalu memeluk pinggang Bastian yang tersenyum ke arahku.Bastian tersenyum. "Pagi, sayang." Satu kecupan ringan dibubuhkan di dahiku. Gimana tidurny