Share

Galau

Author: Maheera
last update Last Updated: 2024-06-06 17:33:57

Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah sambil menggenggam ponsel. Sejak pertengkaran dengan Rafa, aku tak bisa lagi tidur dengan nyenyak, pikiran kalut, gelisah mendera dada, bahkan selera makan ikut menghilang. Sudah tiga hari Rafa tidak pulang, laki-laki itu benar-benar membuktikan ucapannya, sampai seutas kabar pun tak dikirimkan padaku. Tega sekali dia menyiksa batinku. Andai jantung ini bisa berteriak mungkin dia akan mengeluhkan rasa sakit yang tak terperi. Andai mata bisa berontak mungkin akan mengeluh lelah terus-menerus menderaikan air mata. Namun, aku bisa apa? Hanya menangis dan menangis. Memang aku selemah itu, walaupun bibir mengatakan membenci Rafa, tetapi hati tetap mendambanya. Bukan menjadi budak cinta, statusku sebagai istri yang membuatku harus mempertahankan hakku.

Aku tak mudah menyukai seseorang. Sejak dulu selalu menjaga jarak dari pergaulan, sehingga tak pernah mengenal kata pacaran. Didikan Ayah juga sangat berpengaruh padaku, sehingga setelah menikah dengan Rafa, detik itu juga kusematkan niat mencintainya seumur hidup, mengabdi sebagai istri dengan setulus jiwa. Tak mudah membujuk hati menyukai seseorang yang baru ditemui di saat akad nikah telah diikrarkan. Butuh ikhlas dan tabah menerima perbedaan yang muncul ketika bersama. Namun, semua bisa kulalui, hari demi hari tunas-tunas cinta itu semakin rimbun, tetapi, lelaki itu tega membakar semua rasaku untuknya.

Notifikasi pesan membuyarkan lamunanku. Satu nomor yang tidak ada dalam daftar kontakku mengirim foto. Dadaku retak seribu ketika dua potret yang dikirimkan selesai terunduh. Bagaimana tidak, di slide pertama tampak Rafa sedang tidur tanpa atasan, sementara bagian pinggang ke bawah tertutup selimut. Harusnya aku tak perlu melihat foto kedua, tetapi rasa penasaran membuat jariku menyentuh gambar tersebut. Mataku seketika berembun, bagaimana tidak, di foto kedua tampak lelaki itu sedang tersenyum memilih pakaian bayi.

"Kamu lihat kan, Mbak, suami kita lebih bahagia bersamaku. Tenang saja, kamu tidak perlu cemas, aku akan merawatnya dengan baik. Jadi, kalau dia tak pulang tak masalah kan?"

Aku bisa menebak siapa yang mengirim kedua foto itu. Apa Laila bermaksud memprovokasiku? Apakah dia ingin mengatakan kalau aku gagal sebagai istri?

Pesan kedua kembali datang. "Mas Rafa bilang baru kali ini dia benar-benar bahagia. Mbak tahu artinya, kan? Jangan salahkan kalau dia lebih mencintaku. Oh, ya, Mas Rafa juga bilang aku lebih bisa memu4skannya."

Aku merem4s ponsel dengan rahang mengatup. Darahku mendidih, seolah-olah ada magma yang siap meledak di dalam dada. Jariku bergerak hendak membalas pesan menjijikkan dari Laila, tetapi satu pesan masuk dari Ayah membuatku urung mengetik.

"Nak, seharian ini Ayah kepikiran kamu terus. Jangan terlalu larut dengan keadaan. Keluarlah, pergilah bersama teman-temanmu."

Aku menghela napas membaca pesan dari Ayah. Lelaki itu selalu tahu kalau putrinya tidak baik-baik saja. Hampir saja aku terbawa arus permainan Laila. Dia sengaja memancing amarahku, membuat pikiranku semakin kacau. Tidak, aku tak akan membalas cara licik wanita itu. Aku memilih meletakkan ponsel ke atas meja bertepatan dengan azan Zuhur. Biarlah Laila merasa menang karena telah berhasil menguasai Rafa, aku tak akan pernah membiarkan wanita itu merusak hatiku dengan hasutannya. Tidak, dia tak pantas mendapatkan perhatianku.

*

Jangan pernah menceritakan masalah kepada manusia, bukannya jalan keluar yang didapat melainkan cemoohan. Satu-satunya tempat curhat paling baik hanyalah kepada Tuhan. Mau sesulit dan sesakit apa pun. Mau menangis ugal-ugalan pun Tuhan pasti akan menunjukkan jalan keluar. Aku percaya nasehat yang kerap diujarkan Ayah. Buktinya, setiap selesai bersujud hatiku merasa tenang, seakan-akan semua beban di dada terangkat. Biarlah suamiku tak lagi mencintaiku, asal Tuhan tak pernah meninggalkanku.

Aku baru saja meletakkan sajadah di atas tempat tidur ketika ponselku berdering. Senyumku terbit melihat nama Rania tampil di layar.

"Tumben kamu nelpon?" Aku bertanya setelah mengucap salam.

"Kamu yang tumben tidak datang ke kelas. Anak-anak nanyain kamu."

Aku memejamkan mata. Masalah beruntun membuatku lupa mengunjungi anak-anak jalanan di rumah singgah. Aku dan beberapa teman memang mengelola beberapa rumah singgah. Di sana kami mengajarkan baca dan tulis untuk anak-anak putus sekolah. Kami bahkan bekerjasama dengan pihak terkait agar anak-anak tersebut bisa mendapat ijazah melalui ujian paket A,B, dan C sehingga mereka punya kesempatan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

"Maaf, dua hari ini aku kurang enak badan. Semoga besok bisa datang."

"Sekarang gimana? Udah enakan?" Suara Rania terdengar cemas. Gadis itu memang sangat dekat denganku. Kami bersahabat sejak mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur.

"Lumayan," jawabku singkat sambil melabuhkan pandangan ke luar jendela melihat langit yang cerah.

"Kalau gitu bisa dong, datang ke rumah biru? Hari ini donatur rumah singgah kita mau berkunjung. Masa ketuanya tidak ada."

Aku bisa membayangkan bagaimana raut Riana sekarang. Gadis itu pasti sedang memanyunkan bibirnya. Aku menghela napas, rasanya ide bagus datang ke rumah singgah sekarang. Diam di rumah tidak akan membuat pikiran dan hatiku lebih baik. Mungkin bertemu dengan teman-teman dan bercengkerama dengan anak-anak beban hatiku lebih ringan.

Setelah bersiap-siap, aku mengirimkan pesan ke ponsel Rafa mengabarkan pergi ke rumah singgah. Serumit apa pun masalah kami dia tetap suamiku, sudah kewajibanku meminta izin ke mana pun pergi. Melihat pesanku centang satu, aku menyimpan ponsel ke dalam tas selempang setelah memastikan posisi taksi pesananku. Mungkin Rafa sedang sibuk dengan Laila. Tak masalah, yang penting aku sudah mengabarinya. Tepat setelah mengunci pintu, taksi berwarna biru berhenti di depan rumah

*

Aku berhenti di depan gang kecil. Memang, salah satu rumah singgah binaanku berada di dekat perumahan warga. Untuk ke sana hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau sepeda motor. Aku berjalan tergesa-gesa karena tadi Riana mengabarkan donatur kami hampir sampai. Sungkan rasanya kalau beliau yang menungguku. Entah mengapa aku merasa diikuti seseorang. Benar saja, ketika menoleh ke belakang seorang laki-laki berbadan tegap berjalan cepat ke arahku. Aku bergidik melihat tato di tangannya. Apalagi wajahnya tidak terlalu jelas karena lelaki tersebut mengenakan topi dan kacamata. Ditambah masker yang dikenakan membuatku ketakutan. Aku terpaksa memacu langkah secepat yang aku bisa, tetapi lelaki itu masih mengejar. Di benakku berseliweran berita-berita kriminal kepada wanita membuat keringat dingin membasahi tubuhku. Beruntung di depan ada belokan. Aku gegas bersembunyi di belakang gerobak penjual mie ayam yang tidak berjualan. Baru saja menghela napas lega, bahuku ditepuk seseorang membuatku tubuhku seketika membatu.

Ya, Tuhan, tolong aku ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diselingkuhi Suami Diratukan Preman Miliarder   Ending

    Aku memperhatikan dokter memeriksa Athar dengan perasaan tak menentu. Cemas, takut, dan marah campur aduk di dadaku. Aku tak melihat luka di tubuh bocah lelaki itu, tetapi yang aku takutkan pengalaman dicu-lik akan mengendap di benaknya dan menjadi trauma berkepanjangan. Sampai saat ini aku bahkan belum memaafkan kelalaianku menjaga Athar. Padahal sebelumnya aku sangat berhati-hati, mungkin inilah yang dinamakan sedang tidak beruntung? "Bagaimana anak saya, dok?" Aku langsung bertanya ketika dokter tadi selesai memeriksa Athar. "Dia mengalami dehidrasi, sepertinya dia tidak mendapat asupan makanan dan minuman lebih dari delapan belas jam." Da-daku seperti digodam besi mendengar penjelasan dokter. Jangankan delapan belas jam, Athar makan teratur tiga kali sehari, bahkan mulutnya tidak berhenti ngemil tiap jam. Membayangkan dia harus menahan lapar dan haus selama itu membuat amarahku kembali berkobar. Aku berjanji Risa harus membayar perbuatannya dengan tinggal di hotel prodeo selam

  • Diselingkuhi Suami Diratukan Preman Miliarder   Semoga Semua Baik-Baik Saja

    "Tante, aku lapal!" Aku berteriak dengan kesal lalu menatap Athar tajam. "Berisik! Bisa diam gak? Lama-lama aku sum-pal mulutmu pakai batu!" Aku menunjukkan batu apung sebesar tinju orang dewasa kepada Athar. Suara rengekannya membuat kepalaku terasa pecah. Apalagi dia selalu memanggil Uminya. Najwa, wanita itu berhasil membuatku malu di media sosial. Aku terpaksa menonaktifkan akun tok-tokku agar tidak diserang lagi oleh netizen. Niatku mencari simpati malah dimentalkan Najwa. Seseakun yang aku yakin dia dalang di belakang layar membuat postingan tandingan sehingga semua tuduhan yang aku arahkan padanya luruh sendiri. Aku tidak mengira dia merekam percakapan kami. Benar-benar wanita licik. Akibat dari postingannya itu aku harus kehilangan follower sampai ribuan. Padahal aku sudah mendapat beberapa endorsan yang belum sempat kuposting. Rencana mendapatkan u-ang dari akun tok-tok gagal total, ditambah lagi sindiran teman-teman di dunia nyata yang juga berteman denganku di sosial med

  • Diselingkuhi Suami Diratukan Preman Miliarder   Terlacak

    Tangisku tak kunjung berhenti, dadaku pun terasa semakin mengkerut membayangkan nasib Athar. Harusnya aku tak membiarkan dia pergi sendiri, harusnya aku yang membeli makanan untuknya. Kata-kata pengandaian terus bermain di kepalaku menikamkan rasa bersalah ke dalam dada. Ya, Tuhan ... di mana putraku? Siapa yang telah membawanya?"Sayang, apa yang terjadi?" Mendengar suara Bastian aku mengangkat kepala, ada setitik rasa lega hadir melihat lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku."Mas, Athar ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, sesak di rongga dada belumlah tuntas memantik tangisku kembali pecah."Annisa, ada apa? Di mana Athar?" "Gak tahu, Pak. Tadi kata yang punya warung makan Athar udah balik ke toko, tapi dia juga gak bisa memastikan Athar sudah masuk atau belum." Annisa menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir.Aku bisa merasakan usapan di punggung serta helaan napas berat dari mulut Bastian. Aku tahu ini kelalaianku, tak seharusnya membiarkan Athar pergi

  • Diselingkuhi Suami Diratukan Preman Miliarder   Ke mana Athar?

    "Sayang, ponselmu dari tadi bunyi. Kayaknya notifikasi dari tiktok." "Oh, ya?" Aku melirik ponsel yang kuletakkan di atas bufet kecil di sudut ruang makan. Aku tersenyum, pasti akun bodong yang aku buat sudah ramai dengan komentar-komentar julid khas netizen plus enam dua, apalagi topiknya tentang pelakor. Biasa, kan, kalau ada bau-bau wanita pengganggu pasti akan dikerubungi seperti semut menemukan gula. "Ada apa? Kok, senyum-senyum gitu?" Bastian yang sedang menyuap bubur ayam melirikku dengan tatapan penasaran. Aku menarik kursi dari meja makan lalu duduk di sebelahnya. "Kamu ingin tahu atau ingin tahu banget?" Aku balik bertanya sambil bertopang dagu dan menatap Bastian dengan sorot menggoda. "Ck, kalau seperti ini pasti seru. Memangnya ada apa?" Bastian mengelap mulutnya. Dia memang penyuka bubur ayam, sebentar saja makanan itu sudah tandas. "Begini." Aku menghadapkan wajah dan tubuh ke arah Bastian, suatu kebiasaan bila ingin bicara sesuatu yang serius. "Kemarin aku pecat

  • Diselingkuhi Suami Diratukan Preman Miliarder   Kicauan Calon Pelakor

    "Pak Bastian di mana?" Risa celingak-celinguk mencari keberadaan Bastian. Wajahnya memucat, tetapi dia sangat pandai mengendalikan diri sehingga tidak terlihat panik. "Untuk apa kau bertanya di mana suamiku?" "Sa, saya ...." Aku bersedekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi menunggu apa jawaban Risa. "Tadi Pak Bastian nyuruh saya masuk. Saya pikir ...." "Kamu pikir itulah kesempatan untuk merayu suami saya, begitu?" Bukannya takut, Risa malah menantang mataku. "Syukurlah kalau Ibuk sudah tahu. Jadi, saya tidak perlu menyembunyikan lagi perasaan saya." Aku berdecak dan geleng-geleng kepala mendengar pengakuan lugas Risa. Tak ada ketakutan di rautnya berkata seperti tadi. Sungguh kepercayaan diri yang tidak berada di tempatnya. "Lalu setelah saya tahu apa yang kamu harapkan?" "Saya harap Ibuk bersedia menerima saya sebagai madu. Tenang saja, walau saya lebih muda, tetapi saya tidak akan menguasai Mas Bastian." Mas? Aku tertawa dalam hati mendengar Risa sangat percay

  • Diselingkuhi Suami Diratukan Preman Miliarder   Bibit Pelakor

    "Kita tunggu Umi, ya. Belum lapar, kan?"Aku tersenyum melihat Athar menggeleng, tetapi tangannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Pipi gembulnya bergoyang membuatku tak tahan ingin mencubitnya."Katanya tunggu Umi, kok, ngemil?" Lagi terdengar protes Bastian. Dia sesekali melirik Athar yang tenang duduk di atas kursi, sementara tangan lelaki itu sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan."Kelipik Umi enak, Bi. Athal suka, Umi pintel masak." Dia menjawab dan mengacungkan jempol ke Bastian untuk memvalidasi ucapannya."Cuma Umi? Masakan Abi juga enak lho." Athar lagi-lagi menggeleng. "Lebih enak masakan Umi."Aku tertawa kecil mendengar balasan Athar, dia memang belum bisa melapalkan huruf R dengan baik. "Wah, makasih, sayang. Umi pinter karena masak Abi yang ngajarin." Aku menghampiri keduanya dan ikut menyela obrolan mereka, lalu memeluk pinggang Bastian yang tersenyum ke arahku.Bastian tersenyum. "Pagi, sayang." Satu kecupan ringan dibubuhkan di dahiku. Gimana tidurny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status