Keenan tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap pintu observasi yang tertutup. Detik berikutnya, pintu itu terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah tegang namun tenang.“Pak Keenan?”“Bagaimana kondisi istri saya? Dan bayi kami?”“Dia mengalami luka di bagian kepala, tapi sejauh ini tidak ada tanda-tanda pendarahan dalam. Cekikan di lehernya cukup parah, tapi tidak merusak saluran napas permanen. Kami juga memantau janinnya... dan untungnya, detak jantung bayi stabil. Tapi kami akan terus observasi selama 24 jam ke depan untuk memastikan tidak ada komplikasi lanjutan.”Keenan menutup matanya, bahunya merosot sejenak. Seperti menahan tangis yang hampir pecah.“Boleh saya masuk?”“Dia sudah sadar. Tapi... mungkin masih sedikit trauma.”Keenan mengangguk pelan lalu melangkah masuk.Adellia terbaring di ranjang putih dengan infus di tangan. Kepalanya diperban, lehernya tampak memar. Tapi matanya terbuka, menatap Keenan dengan lemah.“Del...” suara Keenan pecah saat duduk di sisi ra
Clara terkekeh lirih. Matanya basah, tapi bukan karena sedih—melainkan frustrasi. “Kamu pikir kamu bisa ambil semua ini dari aku? Dia, perusahaannya, bahkan anak yang harusnya...!”“Kamu gila,” bisik Adellia.Clara mendekat lebih agresif. “Aku nggak akan diam. Kalau Keenan nggak mau denger aku, kamu yang harus dengar! Kamu pikir dia mencintaimu karena kamu istimewa? Tidak. Kamu cuma pelarian. Dia kesepian. Sama kayak aku.”“Tapi aku nggak menyakiti orang lain hanya karena kesepian!” balas Adellia lantang. Ia menarik napas, mencoba menahan emosi. “Clara, aku kasihan sama kamu. Tapi ini bukan caranya.”Clara gemetar, masih menggenggam lengan Adellia.“Bukankah kamu yang bilang, kalau aku butuh teman ngobrol, kamu siap menjadi pendengarnya?”Suara itu membuat bulu kuduk Adellia berdiri.Dengan wajah pucat, mata merah, dan senyuman miring yang jauh dari waras. Tangan Clara mencengkram sesuatu di balik jaketnya, tapi Adellia terlalu fokus pada sorot matanya yang membara.Adellia menyipit.
Mereka tertawa bersama. Lalu hening. Tapi bukan hening yang canggung—melainkan damai.Keenan menatap jendela, lalu berbisik pelan, “Hari ini aku mau kita keluar sebentar.”“Keluar?” tanya Adellia, sedikit terkejut. “Kemana?”“Ke tempat yang belum pernah kita kunjungi. Cuma kita.” Ia menatap perut Adellia dan tersenyum.“Trip dadakan?”“Yup. Cuma sebentar. Aku cuma pengen nunjukin ke dunia kalau kamu... keluarga yang ingin aku tunjukkan dengan bangga.”Adellia membisu. Matanya sedikit memerah. “Kamu serius?”Keenan mengangguk mantap.**Matahari mulai naik ketika mobil Keenan melaju menyusuri jalanan pinggir kota yang dipenuhi pepohonan. Angin semilir masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma rumput dan tanah basah yang menenangkan. Di kursi penumpang, Adellia menyender nyaman dengan bantal leher dan headphone di telinga, sesekali mengelus perutnya yang makin bulat.“Nyaman, Nyonya?” tanya Keenan sambil melirik dari balik kacamata hitamnya.“Nyaman banget. Tapi aku kaya
Keenan mengunyah dengan dramatis. “Hmm... 80 persen cinta, 20 persen gula, dan 100 persen kamu.”Adellia tertawa keras. “Matematika kamu kacau!”“Cintaku juga kacau waktu kamu belum datang.”“Oh Tuhan...” Adellia memutar mata, tapi ia tak bisa menyembunyikan senyumnya yang semakin lebar.Keenan bangkit, menghampiri istrinya lagi, kali ini tanpa menyandarkan tubuh. Ia hanya berdiri di depannya, memandangi wajah Adellia dalam-dalam. Lalu, ia mengusap pipi gadis itu pelan dengan ibu jarinya.“Terima kasih, Del.”Adellia menelan ludah. Suasana tiba-tiba terasa hangat, berbeda dari canda mereka sebelumnya. “Untuk apa?”“Untuk bangun lebih dulu pagi ini. Untuk masak sarapan. Untuk masih mau bercanda sama aku, walaupun kamu pasti capek. Untuk... tetap di sini.”Adellia menggigit bibir bawahnya. “Aku juga harusnya yang bilang makasih. Karena kamu nggak pergi, walaupun banyak alasan buat ninggalin aku.”Keenan menyentuh perut Adellia yang kini membulat, lalu mencium bagian atasnya dengan lembu
“Dua puluh menit cukup untuk satu tawa,” sahut Adellia, menyeretnya duduk. “Pertanyaan pertama. Di antara kita, siapa yang paling drama kalau lagi flu?”“...Kamu,” Keenan menjawab cepat.“Jawaban salah! Yang benar: kamu. Aku cuma bersin satu kali langsung dicek suhu, direndam air hangat, dan ditawari ranjang rumah sakit.”Keenan terkekeh pelan. “Itu karena kamu hamil.”Adellia menyilangkan tangan di dada. “Oke. Pertanyaan dua. Kalau suatu hari aku berubah jadi sapi, kamu tetap sayang?”“Sapi?” Keenan menyipitkan mata, geli.“Ya. Sapi. Bukan sapi betina biasa. Sapi agresif. Yang suka tendang pintu.”Keenan tertawa kecil. “Ya. Aku akan tetap sayang... tapi kamu tidur di kandang.”“Kurang ajar!” Adellia mencubit lengannya, membuat Keenan semakin tertawa.*Sepanjang hari itu, Adellia terus melancarkan operasi "Penculikan Senyum". Dari menyanyikan lagu dangdut sambil cuci buah, sampai menyelinap ke ruang kerja Keenan dengan rambut palsu dan menyamar jadi ‘asisten pribadi dari Viremont’.D
Keenan menatapnya sejenak, lalu meraih tangan Adellia.“Clara bukan orang jahat, Del. Tapi dia... rapuh. Sangat rapuh. Dan kalau emosinya terganggu, dia bisa menjadi orang lain. Dia pernah menyayat lengannya sendiri hanya karena merasa diabaikan.”Adellia menelan ludah, jantungnya berdebar tak nyaman.“Aku akan bicara dengannya. Sementara itu, kamu tetap di sini. Jangan ke luar kamar. Apa pun yang terjadi—jangan buka pintu kalau bukan aku yang datang.”“Keenan—”“Aku serius,” potong Keenan, menatapnya dalam. “Aku nggak tahu dia datang karena apa, atau dalam kondisi seberapa parah. Tapi aku gak akan ambil risiko dia menyakitimu.”Adellia mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan Keenan lebih erat. “Hati-hati.”Keenan mencium keningnya, sekali. Lalu berbalik dan melangkah keluar dari kamar.**Ruangan itu dingin, remang-remang. Salah satu ruang cadangan di lantai servis, yang biasa digunakan untuk rapat tertutup atau tamu yang tak diinginkan.Clara berdiri di tengah ruangan, tampak puca