Di hari pernikahannya, Adellia Carisse Mahesa memergoki tunangannya bercumbu dengan adik tirinya. Ketika semua orang menuntutnya tetap melangsungkan pernikahan demi nama baik keluarga, Adellia memilih jalan mengejutkan: menerima lamaran Keenan Daviero Mahendra, paman dari tunangannya. Pernikahan kontrak pun terjadi. Tapi semakin hari, dunia 'palsu' yang mereka jalani terasa terlalu nyata, apalagi saat luka mulai berubah menjadi cinta.
Lihat lebih banyak“Rico, pelan sedikit!”
Suara lirih perempuan menggema samar dari balik pintu ruang rias pengantin. Adellia menghentikan langkahnya. Tubuhnya yang terbalut gaun pengantin berwarna gading langsung menegang.
Di tangan Adellia, masih tergenggam kotak kecil berisi manset emas yang hendak ia berikan pada calon suaminya, Rico—pria mapan, memesona, dan dianggap sebagai calon menantu ideal keluarga Mahesa.
“Apa kamu ... nggak takut ketahuan?” Suara itu kembali terdengar.
Adellia mengenali suara perempuan tersebut. "Itu suara Qalest, kan?"
“Tenang aja, Sayang! Sandiwara ini akan selesai besok. Setelah akad, dia resmi jadi istriku.”
Rico tertawa kecil, suaranya sinis dan penuh perhitungan.
“Dan beberapa bulan kemudian, selesai. Aku ceraikan dia.”
Kotak di tangan Adellia jatuh ke lantai, mengeluarkan dentingan kecil.
Tapi tak ada yang menyadari.
Jantung gadis yang kini berusia 25 tahun itu berdebar tak karuan, ia mendorong pintu hingga sedikit terbuka.
Di dalam ruangan itu, tubuh Rico sedang menindih Qalest di sofa, bibirnya mencium leher Qalest dengan nafsu tak terkendali. Kancing bajunya terbuka. Gaun Qalest kusut.
“Aku tak pernah mencintai Adellia,” suara Rico terdengar datar namun mantap.
“Pernikahan ini cuma tiket menuju kekayaan Adellia, dan kamu tahu itu.”
Adellia menahan napas, tapi air matanya sudah jatuh tanpa bisa dicegah. Kakinya gemetar, perih menjalar hingga ke ulu hati.
Adellia merasakan darahnya mendidih. Tangannya menggenggam gagang pintu begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Ia melangkah masuk, dan suara langkah sepatunya menggema di lantai marmer.
“Kalian seharusnya memilih tempat lain jika ingin berkhianat.”
Sentak Adellia, cukup untuk membuat Rico terlonjak dari posisi, dan Qalest menjerit kecil sambil merapikan gaunnya.
Wajah mereka berubah pucat seperti mayat. Tak satu pun dari mereka bicara.
“Adellia, ini tidak seperti yang kamu kira,” ucap Rico, panik, tergesa menarik resleting celananya. Mencoba meredakan ketegangan, suaranya dibuat setenang mungkin.
Adellia menyeringai. Dingin.
“Kalau begitu, bantu aku pahami. Mana bagian yang salah? Bahwa kau tidur dengan adik tiriku sesaat sebelum pernikahan kita, atau bahwa kau dan dia sudah merencanakan semua ini dari awal?”
Qalest mencoba bicara, tapi suaranya tercekat. “Aku, aku hanya...”
“Diam!”
Satu kata itu cukup mematikan. Mata Adellia menatap tajam ke arah keduanya. Luka dan kemarahan bertubrukan dalam dadanya, tapi ia menolak jatuh. Ia menolak menjadi korban.
Suara gaduh memancing pihak keluarga berdatangan ke ruang rias. Ayah Adellia, Ibu tirinya, dan orangtua Rico.
Adellia tidak tinggal diam, ia menceritakan apa yang terjadi.
Qalest langsung menangis, bersembunyi di belakang tubuh Rico.
Dan seperti yang sudah sering terjadi, semua langsung memihak Qalest. Sesalah apapun gadis itu.
“Kita tidak bisa membatalkan ini, Adellia!” ujar Maya, Ibu tiri Adellia, suara tegas namun dingin. “Para tamu sudah hadir. Nama baik keluarga Mahesa akan hancur jika ini dibatalkan sekarang!”
“Tapi, aku yang dikhianati!” teriak Adellia, matanya membelalak, tak percaya.
Bram, Ayahnya Adellia menunduk, terdiam. Seolah, lebih takut kehilangan martabat ketimbang kehilangan putrinya.
“Adellia,” kata Bram perlahan. “Tahan dulu. Setelah akad, kita bisa pikirkan jalan keluarnya.”
“Tidak!” Jawab Adellia tegas. Menatap penuh nanar ke arah Bram.
Namun seakan tak seorang pun peduli, tak ada satu pun yang benar-benar berpihak padanya.
Bahkan orang tua Rico ikut bersuara dan meminta Adellia untuk tidak membesar-besarkan masalah.
Suara ketukan mendadak terdengar dari arah pintu. Namun bukan ketukan pelan seperti sebelumnya—ini tegas, berat, dan berwibawa.
Pintu terbuka. Seorang lelaki paruh baya berdiri di ambang, mengenakan jas cokelat tua dan tongkat hitam mengkilap di tangan kanannya. Sosok yang nyaris tak pernah muncul di pesta keluarga mana pun, namun semua orang tahu: Dialah kepala keluarga Mahendra.
Semua orang dalam ruangan sontak menoleh. Rico yang tadi duduk dengan angkuh langsung berdiri dengan wajah gugup. “K-Kakek…”
Pria itu mengangguk pelan, lalu masuk tanpa undangan. Langkahnya lambat tapi pasti. Sorot matanya tajam, menyapu seluruh ruangan, dari wajah pucat Adellia, tatapan menyesal orangtua gadis itu, hingga ke wajah Rico dan Qalest yang jelas panik dan tak nyaman.
“Aku sudah tahu apa yang terjadi,” ucapnya, suaranya berat dan berwibawa. “Dan sebelum semuanya jadi lebih buruk, aku datang untuk memberimu pilihan, Adellia.”
Adellia mengerutkan kening. “Pilihan?”
“Pernikahan ini tak bisa dibatalkan,” lanjut sang kakek, menatap mereka satu per satu. “Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Nama keluarga, reputasi, bisnis, koneksi. Tapi...” Ia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menggantung. “Yang bisa kita lakukan adalah mengganti mempelai prianya.”
Semua orang terdiam.
“APA?!” Rico berseru lebih dulu, wajahnya merah padam. “Apa maksud Kakek?! Ini konyol!”
Sang kakek menoleh padanya, tenang namun tajam. Kemudian kembali menoleh ke arah Adellia. “Aku ingin kamu menikah dengan pamannya Rico. Keenan Daviero Mahendra.”
Adellia terbelalak. Itu nama yang sudah sering ia dengar. Nama yang selalu dipenuhi ejekan dan celaan dari mulut Rico. Keenan, paman yang katanya mengerikan, tak berguna, bahkan diasingkan ke luar negeri oleh keluarganya sendiri karena dianggap mencemari nama besar Mahendra.
Sosok yang tak pernah muncul, tak pernah dibicarakan dengan hormat. Rico selalu mengatakan Keenan tak punya masa depan, hanya hidup dari sisa warisan, dan tak akan pernah kembali ke Amberlyn.
“Tidak bisa!” seru Sarah, ibunya Rico, ikut berdiri dari sofa. “Keenan sudah lama tidak berada di lingkaran keluarga ini! Dia... dia bahkan bukan bagian dari kami lagi!”
Satya, Ayahnya Rico juga ikut bicara, suaranya lebih terkendali, tapi tidak kalah tajam. “Dengan segala hormat, Ayah. Ini keputusan yang gegabah. Keenan tidak punya kapasitas untuk—”
“Cukup.” Suara sang kakek memotong, datar tapi membuat semua orang membeku. “Kalian membiarkan anak kalian mempermalukan keluarga ini. Sekarang saatnya aku ambil alih.”
Rico menggeleng keras. “Adellia milikku! Kami akan menikah, semuanya sudah disiapkan!”
Adellia menoleh, tatapannya dingin menusuk. “Setelah yang kamu lakukan? Kamu pikir aku masih ingin menikahimu?”
“Sudah kubilang, itu tidak seperti yang kamu lihat!” bela Rico, mencoba menggenggam tangan Adellia, tapi gadis itu langsung menepisnya kasar.
Sang kakek kembali menatap Adellia. “Keenan akan datang ke sini hari ini. Pilihannya ada di tanganmu, Adellia. Lanjutkan pernikahan ini dengan pria yang mengkhianatimu… atau pilih Keenan. Kamu tidak akan dipaksa. Tapi kamu harus memutuskan sekarang.”
Adellia membeku. Dadanya naik-turun menahan gejolak amarah. Sekilas ia melirik sang ayah, diam membisu, seperti biasa, lebih peduli pada martabat daripada perasaannya.
Adellia mengangkat kepala, dengan suara tenang tapi tegas, ia berkata:
“Lebih baik menikah dengan pria asing, daripada dengan laki-laki pengkhianat.”
Keenan tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap pintu observasi yang tertutup. Detik berikutnya, pintu itu terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah tegang namun tenang.“Pak Keenan?”“Bagaimana kondisi istri saya? Dan bayi kami?”“Dia mengalami luka di bagian kepala, tapi sejauh ini tidak ada tanda-tanda pendarahan dalam. Cekikan di lehernya cukup parah, tapi tidak merusak saluran napas permanen. Kami juga memantau janinnya... dan untungnya, detak jantung bayi stabil. Tapi kami akan terus observasi selama 24 jam ke depan untuk memastikan tidak ada komplikasi lanjutan.”Keenan menutup matanya, bahunya merosot sejenak. Seperti menahan tangis yang hampir pecah.“Boleh saya masuk?”“Dia sudah sadar. Tapi... mungkin masih sedikit trauma.”Keenan mengangguk pelan lalu melangkah masuk.Adellia terbaring di ranjang putih dengan infus di tangan. Kepalanya diperban, lehernya tampak memar. Tapi matanya terbuka, menatap Keenan dengan lemah.“Del...” suara Keenan pecah saat duduk di sisi ra
Clara terkekeh lirih. Matanya basah, tapi bukan karena sedih—melainkan frustrasi. “Kamu pikir kamu bisa ambil semua ini dari aku? Dia, perusahaannya, bahkan anak yang harusnya...!”“Kamu gila,” bisik Adellia.Clara mendekat lebih agresif. “Aku nggak akan diam. Kalau Keenan nggak mau denger aku, kamu yang harus dengar! Kamu pikir dia mencintaimu karena kamu istimewa? Tidak. Kamu cuma pelarian. Dia kesepian. Sama kayak aku.”“Tapi aku nggak menyakiti orang lain hanya karena kesepian!” balas Adellia lantang. Ia menarik napas, mencoba menahan emosi. “Clara, aku kasihan sama kamu. Tapi ini bukan caranya.”Clara gemetar, masih menggenggam lengan Adellia.“Bukankah kamu yang bilang, kalau aku butuh teman ngobrol, kamu siap menjadi pendengarnya?”Suara itu membuat bulu kuduk Adellia berdiri.Dengan wajah pucat, mata merah, dan senyuman miring yang jauh dari waras. Tangan Clara mencengkram sesuatu di balik jaketnya, tapi Adellia terlalu fokus pada sorot matanya yang membara.Adellia menyipit.
Mereka tertawa bersama. Lalu hening. Tapi bukan hening yang canggung—melainkan damai.Keenan menatap jendela, lalu berbisik pelan, “Hari ini aku mau kita keluar sebentar.”“Keluar?” tanya Adellia, sedikit terkejut. “Kemana?”“Ke tempat yang belum pernah kita kunjungi. Cuma kita.” Ia menatap perut Adellia dan tersenyum.“Trip dadakan?”“Yup. Cuma sebentar. Aku cuma pengen nunjukin ke dunia kalau kamu... keluarga yang ingin aku tunjukkan dengan bangga.”Adellia membisu. Matanya sedikit memerah. “Kamu serius?”Keenan mengangguk mantap.**Matahari mulai naik ketika mobil Keenan melaju menyusuri jalanan pinggir kota yang dipenuhi pepohonan. Angin semilir masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma rumput dan tanah basah yang menenangkan. Di kursi penumpang, Adellia menyender nyaman dengan bantal leher dan headphone di telinga, sesekali mengelus perutnya yang makin bulat.“Nyaman, Nyonya?” tanya Keenan sambil melirik dari balik kacamata hitamnya.“Nyaman banget. Tapi aku kaya
Keenan mengunyah dengan dramatis. “Hmm... 80 persen cinta, 20 persen gula, dan 100 persen kamu.”Adellia tertawa keras. “Matematika kamu kacau!”“Cintaku juga kacau waktu kamu belum datang.”“Oh Tuhan...” Adellia memutar mata, tapi ia tak bisa menyembunyikan senyumnya yang semakin lebar.Keenan bangkit, menghampiri istrinya lagi, kali ini tanpa menyandarkan tubuh. Ia hanya berdiri di depannya, memandangi wajah Adellia dalam-dalam. Lalu, ia mengusap pipi gadis itu pelan dengan ibu jarinya.“Terima kasih, Del.”Adellia menelan ludah. Suasana tiba-tiba terasa hangat, berbeda dari canda mereka sebelumnya. “Untuk apa?”“Untuk bangun lebih dulu pagi ini. Untuk masak sarapan. Untuk masih mau bercanda sama aku, walaupun kamu pasti capek. Untuk... tetap di sini.”Adellia menggigit bibir bawahnya. “Aku juga harusnya yang bilang makasih. Karena kamu nggak pergi, walaupun banyak alasan buat ninggalin aku.”Keenan menyentuh perut Adellia yang kini membulat, lalu mencium bagian atasnya dengan lembu
“Dua puluh menit cukup untuk satu tawa,” sahut Adellia, menyeretnya duduk. “Pertanyaan pertama. Di antara kita, siapa yang paling drama kalau lagi flu?”“...Kamu,” Keenan menjawab cepat.“Jawaban salah! Yang benar: kamu. Aku cuma bersin satu kali langsung dicek suhu, direndam air hangat, dan ditawari ranjang rumah sakit.”Keenan terkekeh pelan. “Itu karena kamu hamil.”Adellia menyilangkan tangan di dada. “Oke. Pertanyaan dua. Kalau suatu hari aku berubah jadi sapi, kamu tetap sayang?”“Sapi?” Keenan menyipitkan mata, geli.“Ya. Sapi. Bukan sapi betina biasa. Sapi agresif. Yang suka tendang pintu.”Keenan tertawa kecil. “Ya. Aku akan tetap sayang... tapi kamu tidur di kandang.”“Kurang ajar!” Adellia mencubit lengannya, membuat Keenan semakin tertawa.*Sepanjang hari itu, Adellia terus melancarkan operasi "Penculikan Senyum". Dari menyanyikan lagu dangdut sambil cuci buah, sampai menyelinap ke ruang kerja Keenan dengan rambut palsu dan menyamar jadi ‘asisten pribadi dari Viremont’.D
Keenan menatapnya sejenak, lalu meraih tangan Adellia.“Clara bukan orang jahat, Del. Tapi dia... rapuh. Sangat rapuh. Dan kalau emosinya terganggu, dia bisa menjadi orang lain. Dia pernah menyayat lengannya sendiri hanya karena merasa diabaikan.”Adellia menelan ludah, jantungnya berdebar tak nyaman.“Aku akan bicara dengannya. Sementara itu, kamu tetap di sini. Jangan ke luar kamar. Apa pun yang terjadi—jangan buka pintu kalau bukan aku yang datang.”“Keenan—”“Aku serius,” potong Keenan, menatapnya dalam. “Aku nggak tahu dia datang karena apa, atau dalam kondisi seberapa parah. Tapi aku gak akan ambil risiko dia menyakitimu.”Adellia mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan Keenan lebih erat. “Hati-hati.”Keenan mencium keningnya, sekali. Lalu berbalik dan melangkah keluar dari kamar.**Ruangan itu dingin, remang-remang. Salah satu ruang cadangan di lantai servis, yang biasa digunakan untuk rapat tertutup atau tamu yang tak diinginkan.Clara berdiri di tengah ruangan, tampak puca
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen