Share

Bab 2

Penulis: Rarha Ira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 21:11:37

"Adriana!" panggil seseorang dari arah belakang. Suaranya seperti wanita, tapi ... siapa? Aku menoleh demi melihat siapa orang itu.

'Oh, dia. Pasti Mas Denny mengadu padanya ketika aku pergi tadi,' bisikku dalam hati.

Tanpa memperdulikan wanita itu, aku kembali melanjutkan melipat mukena yang tadi aku pakai untuk salat. Setelah selesai, kuletakkan kembali pada tempat semula.

"Heh, mantu kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina anakku! Apa maksudnya kamu bilang kalau kamu memberi makan orang satu rumah?!"

Aku tak mempedulikan ocehan wanita yang berstatus sebagai ibu mertuaku dan berjalan keluar meninggalkan tempat ibadah itu.

"Heh, wanita mandul!" Kakiku berhenti tepat di langkah ke lima. Aku yakin wanita itu masih berada di pelataran masjid ketika mengucapkan kata-kata keji itu.

Terdengar langkah kakinya mendekat ke arahku. "Apa? Mau ngelak? Memang begitu, kan, kenyataannya?"

"Maaf, ya, Ibu Mertua yang terhormat. Saya tidak mandul! Anda ingat, saya pernah memeriksakan kesuburan saya ke dokter dan dokter mengatakan semuanya normal?" ucapku menekankan kata-kataku pada wanita itu.

"Lantas, mengapa sampai saat ini kamu belum juga hamil?" tanyanya berusaha memojokkanku.

"Coba periksakan anak Anda ke dokter, Ibu Mertua! Siapa tahu dia lah yang mandul!" Aku tekankan kata-kata terakhir tepat di depan wajahnya.

"Berani kamu sama saya?" tanyanya membesarkan matanya padaku.

"Kenapa saya harus takut?"

"Kamu—"

"Maaf, saya harap jangan membuat ribut di tempat ini. Sebaiknya selesaikan masalah kalian di rumah!" ucap seorang pria memotong ucapan Bu Rahma, selaku ibu mertuaku.

Aku mempersilakan wanita itu untuk berjalan lebih dulu. Dengan langkah yang lebar, mertua super baik–katanya–itu meninggalkanku yang melangkah dengan perlahan.

"Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam ketika membuka pintu.

"Waalaikumsalam," ucap dua orang itu dengan raut tak bersahabat.

"Kamu dari mana aja, Diana?" tanya Mas Denny menyentakku. Padahal, baru selangkah aku memasuki istana yang bagaikan neraka ini.

"Aku dari masjid, Mas," ucapku tenang tanpa ekspresi.

"Ke masjid, tapi bisa-bisanya menghina Ibuku!" ucapnya dengan mata yang nyaris keluar.

"Oh, jadi sebelum aku sampai, ibu udah ngadu duluan sama kamu? Dan, kamu percaya begitu saja?" tanyaku menatap matanya tanpa gentar, "kalau memang iya, berarti itu benar, tapi kalau kamu nggak percaya, berarti itu nggak benar. Aku udah muak ngejelasin semuanya sama kamu. Mulai sekarang, aku lepas tangan. Terserah kalian mau bagaimana menilaiku."

"Heh, wanita mandul! Sudah berani melawan pada suamimu? Mau jadi istri durhaka kamu?" Ah, lagi-lagi hinaan itu yang kuterima.

"Maaf, Ibu Mertua, jangan sampai saya kehilangan hormat kepada Anda! Selama tiga tahun berusaha menjadi menantu yang baik bagi keluarga ini, tapi nyatanya semua perjuangan saya sia-sia!" ucapku melihat ke arahnya.

"Kurang ajar!" Tangan kanannya terangkat, mungkin berniat ingin menamparku. Namun, ayah mertua menangkapnya dengan tatapan nyalang kepada sang istri.

"Aku tidak pernah mengajarkan berbuat kasar kepada kalian! Turunkan tanganmu, atau tanganku yang akan melayang ke wajahmu?" tanya ayah mertua terlihat murka kepada wanita itu.

"Mas, kamu tega berkata seperti itu demi wanita itu?" tanya Ibu Mertua tak terima.

"Semua itu karena kesalahanmu sendiri, Rahma! Selama ini aku berusaha sabar dengan semua tingkah dan kelakuanmu, tapi kamu nggak pernah berubah!"

"Puas kamu membuat kami bertengkar, Adriana?!" tanya wanita itu dengan air mata yang mulai membanjiri pipinya.

"Ha?" Tentu saja aku tercengang mendengar ucapannya. "Kenapa saya?"

"Karena membelamu, suamiku sampai mengancamku."

"Jangan pernah menyalahkan orang lain karena kesalahanmu, Rahma!" ucap ayah mertua membentak istrinya.

"Kamu ingat kejadian satu tahun pertama pernikahan kita, Mas? Aku pernah hampir keluar dari rumah ini karena ucapanmu yang terlampau kasar. Dua tahun ini aku bertahan karena percaya akan janjimu yang akan berubah, tapi mulai sekarang, aku cabut janji itu tepat di hadapanmu dan kedua orang tuamu!" Aku menunjuk wajahnya dengan berani. Tanpa peduli tatapan tajam dari Ibunya. "Jadi, sebaiknya kamu ceraikan aku sekarang—"

"Tidak! Aku nggak akan menceraikanmu sampai kapanpun, Diana!" ucap Mas Denny memotong ucapanku.

"Terserah kamu saja kalau tidak mau menceraikanku. Yang jelas, aku akan tetap mengajukan gugatan cerai ke pengadilan!" Aku berjalan menuju ke kamar meninggalkan ketiga orang itu. Mengambil koper yang ada di atas lemari dan mulai memasukkan pakaianku ke dalamnya.

"Kamu mau kemana, Diana?" tanya Mas Denny dengan lembut setelah aku menyelesaikan pekerjaanku. Aku tahu, pasti dia berusaha untuk membujukku agar tidak meninggalkan rumah.

"Kamu nggak perlu tahu!"

"Aku ini suami kamu, Adriana, wajar saja aku ingin tahu kemana istriku akan pergi."

"Istri? Memangnya kamu pernah memperlakukanku sebagai seorang istri?" tanyaku yang mulai terpancing emosi.

"Apa maksud kamu, Adriana?" Terdengar helaan napasnya beberapa kali. Aku memalingkan wajahku darinya, tak ingin menatap wajah yang semakin kubenci dari waktu ke waktu.

"Sudahlah, Mas. Percuma saja aku jelasin pasti kamu nggak akan percaya." Selesai aku berbicara, selesai pula aku mengemas perlengkapanku. Tanpa memperdulikan pria itu, aku melangkah keluar dari kamar berniat untuk pergi dari rumah ini.

"Mau kemana kamu?" Langkahku terhenti ketika mendengar suara ibu mertua. "Jika ingin pergi, tinggalkan semua barang yang pernah dibelikan anakku untukmu!"

Aku berbalik kemudian melangkah ke arahnya. Berdiri tepat di hadapannya, membuka resleting koper dan mengeluarkan semua isinya. "Maaf, calon mantan ibu mertua, saya bukanlah orang tamak yang akan membawa lari harta orang lain, meskipun itu suami saya sendiri. Semua barang yang ada di koper ini adalah barang-barang yang dahulu saya bawa dari rumah orang tua saya. Termasuk koper ini!'

"Bagus kalau kamu sadar akan hal itu!" ucapnya dengan senyum sinis.

"Baiklah, permisi!" Aku yang telah selesai memasukkan kembali pakaianku ke dalam koper, mulai melangkah menuju pintu.

Belum sempat aku menyentuh gagang pintu, tiba-tiba ....

***

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Malam Yang Mencekam

    Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria bernama Jafar

    Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mulai terungkap

    Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status