Share

Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin
Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin
Penulis: Rarha Ira

Bab 1

Penulis: Rarha Ira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 21:10:45

Prang!

Suara menggelegar terdengar ketika aku sedang menyendokkan nasi ke dalam piring. "Udah berapa tahun kamu belajar masak, Adriana?"

Aku yang rasanya sudah muak memilih diam tak berniat membalas ataupun menjawab ucapan pria itu. Kembali duduk dan menikmati makanan yang sudah tersedia di atas meja makan.

"Bertahun-tahun kerjaan cuma jadi tukang masak, tetap saja nggak becus!" Lagi-lagi cacian yang harus kuterima setiap kali ia ada di rumah.

'Aku benci sama kamu, Mas! Kenapa, sih, cepat sekali kamu kembali ke rumah?' bisik hatiku dalam diam.

"Udah nggak bisa ngasih aku keturunan, nggak bisa ngatur uang belanja, masak pun nggak pernah bener!"

Mendengar kata-kata tajamnya yang selalu menyalahkanku perihal anak, membuatku naik pitam. Aku berhenti mengunyah makanan yang ada di dalam mulut dan menelannya dengan susah payah. Meletakkan sendok ke atas piring dengan kasar dan memandang wajah pria yang sudah membersamaiku sejak tiga tahun yang lalu itu dengan berani tanpa peduli adanya ayah mertua yang baru kembali dari kebun belakang rumah.

"Mas, aku tahu kamu itu capek kerja banting tulang buat aku, tapi apa kamu peduli bagaimana keadaanku saat ini? Apa kamu peduli pada perasaanku saat ini? Setidaknya, apa kamu pernah menanyakan keadaanku ketika aku sakit? Enggak, kan?

"Aku juga capek mengurus rumah ini sendirian, memasak sendirian tanpa ada yang mau membantu padahal banyak penghuni rumah ini, mendengar ceramah dan sindiran dari ibumu. Belum lagi cacian dan hinaan dari bibirmu yang dulu berjanji akan membahagiakanku! Mana janjimu itu, Mas? Mana?!"

Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk menguasai diri.

"Soal uang belanja. Gimana mau cukup, kalau yang dikasih makan itu orang satu rumah. Semuanya aku yang nanggung, mulai dari makanan, air, listrik, bahkan jajan adik-adikmu kadang aku juga yang menanggung. Sedangkan uang yang kamu kasih itu cuma dua juta untuk sebulan! Sadar, Mas, sadar!"

Terlahir sebagai seorang wanita dengan rahim yang cukup dalam membuatku sulit untuk memiliki keturunan. Bukan hal yang mustahil, tapi nyatanya sampai sejauh ini kami melangkah, belum juga ada hasil yang menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Mungkin, stres yang berlebihan juga menjadi salah satu penyebabnya.

"Adriana!" teriaknya tepat di depan wajahku. Tatapannya tajam bak pisau yang baru saja di asah.

"Apa?!" Tak kalah berteriak, aku juga memandang matanya dengan tajam. Aku sudah bertekad dalam hati, tak ingin lagi menjadi wanita yang lemah dan tunduk pada suami toxic seperti dirinya.

"Berani kamu melawan pada suamimu, Adriana binti Ruslan? Mau jadi istri durhaka kamu?!" ucapnya mencengkram pipiku dengan kuat sehingga membuatku meringis kesakitan.

"Lepasin, Mas! Sakit!" ucapku berusaha melepaskan diri dari cengkramannya.

"Aku nggak akan lepasin sebelum kamu tarik kata-katamu tadi!"

"Semua itu fakta, Mas! Kamu nggak akan bisa ngelak!"

Pria itu melepaskanku setelah ayah mertua berkata, "sudah, Den. Kamu boleh marah, tapi jangan pernah kasar kepada istrimu!"

"Tapi, Yah—"

"Sudah, selesaikan dengan cara baik-baik!"

Tanpa berkata apapun lagi, aku bangkit dan meninggalkan meja makan dengan perasaan benci yang semakin membuncah. Rasa lapar yang sejak tadi kutahan ketika sedang memasak, kini hilang begitu saja.

"Adriana, kembali! Aku belum selesai bicara!" Teriakkan itu tak aku acuhkan sedikitpun. Langkah kupercepat meninggalkan ruangan itu menuju ke luar rumah.

Aku berjalan menuju salah satu sungai yang ada di kampung ini. Kampung yang beberapa tahun lalu aku jadikan sebagai tempat peraduan setelah menikah dengan Mas Denny. Duduk di atas batu yang ada di pinggir sungai dan menjuntaikan kaki ke dalamnya. Air sungai yang dingin sedikit demi sedikit mampu mengembalikan ketenangan dalam hati.

Aku merogoh ponsel yang ada di dalam saku celana. Memeriksa aplikasi chat yang ada di dalamnya, berharap mendapatkan sebuah pesan yang sedari kemarin aku nantikan. Bohong jika tak ada yang mengirimkan pesan padaku, tapi bukan dari dia, orang yang beberapa hari ini membuat mood-ku berantakan karena hilangnya kabar darinya.

Mengambil gambar kaki yang tengah berendam di air dan mengirimkan pesan padanya dengan keterangan, "sungguh menenangkan duduk di tepian sungai dengan air yang sedingin es ini. Apalagi bila bersamamu, pasti akan lebih menyenangkan."

Aku tahu, pasti hasilnya akan sama dengan pesan-pesanku yang sebelumnya, yaitu centang satu. Pertanda pesan itu belum sampai kepada si penerima.

Tak pantang menyerah, aku terus mengirimkan banyak pesan. Tak peduli ia akan marah karena spam chat dariku.

[Bang.]

[Abang.]

[Abang kemana, sih?]

[Kenapa nggak ada kabar?]

[Adek rindu, tau!]

[Abang, aktifin, dong, nomornya!]

[*emoticon sedih dan menangis.*]

Itulah sebagian spam chat yang aku kirimkan padanya. Akan tetapi, belum ada satupun pesan yang terkirim. Entah apa yang terjadi padanya, sehingga menghilang bak ditelan bumi.

Aku memandang gerombolan ikan yang sedang menikmati makananan dari seorang anak berusia sekitar 5 tahun. Lihatlah, ikan-ikan terlihat begitu bahagia ketika anak itu kembali melemparkan jajanan yang ada di tangannya. Tiba-tiba, pikiran ingin kabur menyusup ke dalam angan-anganku.

"Apa aku kabur aja, ya, dan kembali ke rumah bapak? Tapi ... bagaimana kalau Mas Denny datang dan marah-marah pada mereka? Enggak-enggak! Bisa-bisa mereka juga akan memarahiku karena dulu tak patuh padanya. Terus, aku harus bagaimana sekarang?"

Entahlah. Terkadang aku berpikir bahwa diriku ini cukup beruntung mempunyai suami pekerja keras seperti Mas Denny, tapi di sisi lain, aku merasa menjadi wanita hina yang selalu dipandang rendah oleh keluarganya.

Tak jarang, aku akan berlari ke tempat ini demi menenangkan pikiran yang sedang kalut. Tak ada yang aku lakukan. Mungkin, hanya sekedar duduk dan melihat ikan-ikan yang ada di dalam sungai ini.

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 15. 25 WIB. Beberapa orang akan datang ke tempat ini yang kebetulan ada masjid di belakang sungai.

Suara azan berkumandang menandakan telah tiba waktu salat. Aku bangkit dan menuju ke arah kamar mandi untuk berwudhu sebelum melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba.

Imam telah memulai salat, tapi aku tak bisa fokus sedikitpun. Hinaan yang selalu diucapkan oleh Mas Denny kembali menari di ingatan. Tanpa sadar, aku menangis dalam sujud dengan harapan Sang Maha Kuasa mendengar tangisan kesakitan ini.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sayang, tapi tersiksa. Tunjukkanlah jalan-Mu, agar aku tak salah dalam mengambil keputusan. Aamiin."

"Adriana!" panggil seseorang dari arah belakang. Suaranya seperti wanita, tapi ... siapa? Aku menoleh demi melihat siapa orang itu. Ternyata dia adalah ....

***

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Malam Yang Mencekam

    Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria bernama Jafar

    Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mulai terungkap

    Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status