3
"Baiklah, permisi!" Aku yang telah selesai memasukkan kembali pakaianku ke dalam koper, mulai melangkah menuju pintu. Belum sempat menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Mas Denny menarikku dengan kuat. Akibatnya, aku yang terhuyung harus merasakan perih di sekitar tulang pelipis. Samar-samar mendengar seseorang memanggil namaku, tapi aku tak bisa mengenali suara itu hingga akhirnya semuanya gelap dan aku tak bisa mendengar ataupun melihat apapun lagi. "Adriana, bangun, Nak! Apa kamu tidak lelah tertidur selama ini? Apa kamu tidak ingin bangun dan menikmati keindahan senja lagi?" "Siapa itu? Apa maksud dari ucapanmu?" teriakku pada orang itu. "Di mana aku? Ini ada di mana?" tanyaku ketika menyadari bahwa saat ini berada di tempat asing. "Bangunlah, Nak! Jika kamu bangun, maka Ibu akan membawamu pulang bersama kami. Kamu nggak akan terkena tekanan batin lagi tinggal bersama mereka. Ayo lah, Nak, bangun!" Lagi-lagi aku mendengar suara itu. Tunggu-tunggu, sepertinya aku tak asing dengan suara itu. Sebab, mirip dengan suara ... Ibu! "Ibu, Ibu kah itu? Ibu di mana? Adriana rindu, Bu, ingin dipeluk ibu." Aku tergugu ketika menyadari bahwa itu adalah suara ibu. Wanita surga yang rela mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku. "Bangun, Nak! Ibu kangen." Dengan perlahan aku membuka mataku. Cahaya matahari yang tepat mengenai wajahku membuatku menyipitkan mata. Wajah Ibu lah yang pertama kali aku lihat. Wajahnya tampak sayu dengan air mata yang menganak pinak di pipi. "Adriana, kamu bangun, Nak?" ucapnya dengan wajah gembira, "Dokter, Anak saya bangun, Dok!" Ibu menggenggam tanganku dengan erat, seolah tengah mengajariku bagaimana cara menyebrangi jalanan yang ramai. "Ibu, apa yang terjadi sama aku? Aku di mana, Bu?" tanyaku pada Ibu. Raut wajahnya terlihat sangat bahagia hingga meneteskan air mata. "Nanti saja ceritanya, Nak. Pokoknya kamu sembuh dulu, nanti Ibu ceritakan semuanya! Oke?" Aku mengangguk pelan menanggapi ucapan Ibu. Beberapa hari di rawat di rumah sakit sungguh membuatku bosan. Ingin rasanya segera kembali ke rumah dan beristirahat dengan tenang tanpa harus beradu dengan bau obat-obatan. Anganku melayang membayangkan masa-masa ketika duduk di atas pasir menikmati senja dengan segala keindahannya. Sinar jingga yang menyapa kulit ini dengan lembut, membuatku merasa nyaman berlama-lama berada di sana. Rindu di Ujung Senja Kala sinar senja menyapa wajah, hati ini menjadi pilu. Rindu kian menyelinap masuk, untukmu yang kumau. Bayang wajahmu, kian menghantui anganku yang tengah berbahagia karena mengenalmu. Kucoba meramu penawar, agar tak terlarut dalam bayangan semu. Senja, Maukah kau menemaniku menikmati rindu ini? Maukah kau menemaniku berangan bertemu dengan pemilik rindu ini? Maukah kau membawaku menuju ke kebahagiaan yang abadi? Tapi, apa arti bahagia itu sendiri? Entahlah. Bahkan sampai saat ini, aku belum mengerti arti bahagia itu sendiri. Rindu, Mengapa kau selalu membayangi diriku? Mengapa kau selalu mempermainkan jiwaku? Mengapa kau tak pernah membiarkanku menikmati hidup tanpa bayangan rindu yang takkan bisa bertemu? Sudut ruangan, 01 Agustus 2023 Ah, senja, lagi-lagi engkau mengingatkanku pada seseorang yang selalu kurindu. Yang kabarnya selalu aku nantikan. Yang perhatian kecilnya mampu mengalihkan perhatianku dari pria yang seharusnya menjadi kunci surgaku, justru menjadi kunci bagiku menuju ke neraka. Keakrabanku dengan Bang Renal dimulai dari story yang diupload-nya hanya dalam waktu beberapa detik. Aku yang saat itu tengah membuka statusWhatsApp salah satu teman, tak sengaja membaca puisi yang saat itu baru diupload-nya. Namun, tak lama setelah itu story itu menghilang sebelum aku sempat menyalinnya. "Adriana, menantu Ibu yang paling cantik. Bagaimana keadaan kamu sekarang, Nak? Apakah sudah lebih baik?" tanya Bu Rahma ketika memasuki ruang rawatku. 'Dih, kesambet apa nih ibu-ibu kompleks?' gumamku dalam hati. "Alhamdulillah baik," ucapku acuh. "Ih, kamu, kok, gitu, sih—" "Bu Rahma, sebaiknya Anda pergi dari sini sekarang juga! Atau perlu saya panggilkan satpam untuk mengusir Anda?" ancam Ibu memotong ucapannya dengan cepat. "Eh, Bu Mila. Anu, Bu, saya cuma mau menjenguk menantu saya." "Tak perlu! Apa belum puas kalian menyakiti anak saya selama ini? Atau jangan-jangan, ibu dan putra kesayangan ibu itu mau masuk penjara saat ini juga?" Ibu mengancam Bu Rahma dengan tatapan tajam yang menghunus matanya. "Ba–baik, Bu Mila. Saya akan pergi sekarang juga." Bu Rahma melangkah keluar setelah mendengar ancaman itu. Rasa kesal pun tak dapat ia sembunyikan begitu saja. "Dasar sombong! Awas aja kalau aku punya uang banyak suatu saat nanti!" Gumaman ibu mertua masih terdengar sampai ia keluar dari ruangan ini dan menutup pintunya dengan keras. "Bu, Ibu, kok, gitu ngomongnya?" tanyaku setelah beberapa saat kami saling terdiam. "Lalu, harus bagaimana lagi, Nak? Orang seperti mereka nggak pantas dihormati, apalagi di hargai!" ucap Ibu dengan emosi yang masih melekat di dada. Aku terdiam mendengar ibu berkata seperti itu. Sebab, sebelumnya aku tidak pernah mendengar ibu berbicara sekasar itu. Apalagi sampai menghina besannya sendiri. "Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku. Tak tahan lagi jika harus menunggu aku kembali ke rumah hanya untuk mendapatkan penjelasan tentang keadaanku. "Nak, sebenarnya ...." *** Bersambung. "Sesuatu yang baik akan berakhir dengan baik jika kita ikhlas dalam menjalaninya. Keikhlasan dan kelapangan dada adalah kunci utama dalam mencapai kebaikan itu." _Renal Setiawan.Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit
Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,
Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da
--- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar