Sambil mengemasi baju, aku terus mencoba menelepon Tiara tapi handphonenya tidak aktif. Aku yakin tujuannya Surabaya. Akan kususul dia. Setelah semua beres, buru-buru kutemui Ibu yang masih ada di ruang tengah bersama anak-anak."Ayah, mau kemana? Aku ikut!" Randi, Dimas, Vania mengakhiri aktivitas bermainnya setelah melihatku menggendong tas ransel."Randi, Dimas, Vania, ayah pergi sebentar. Ayah janji nanti pulang dibeliin mainan.""Mau kemana kamu, Fikri?" tanya Ibu."Aku mau nyusul Tiara, Bu.""Jangan bodoh, Fikri! Ngapain ngemis-ngemis sama dia! Kamu itu laki-laki yang punya harga diri! Dia sudah meninggalkanmu, tidak pantas kamu bela belain begitu! Ibu tidak mengijinkan kamu pergi!" "Tapi, Bu. Ada anakku di perut Tiara. Aku akan memperjuangkannya!""Soal anak itu gampang. Nanti kalau sudah lahir kita tinggal sewa pengacara, kita rebut hak asuhnya dari Tiara! Sekarang lebih baik kamu perjuangkan istri dan anak yang jelas-jelas ada di depan matamu, Fikri!" "Kartika bukan istriku
Lalu aku membuatkan dia susu di dot barunya, "Rania, sementara minumnya pakai ini dulu ya, sayang. Ibu lagi ngambek. Nanti kalau Ibu ngambeknya sudah sembuh, minum ASI ibu lagi." Pelan-pelan kumasukkan DOT di mulutnya. Pertama dia seperti asing, sempat menolak tapi lama-lama mau juga. Lega melihat susunya habis dan akhirnya Rania tertidur pulas. Saatnya aku akan berangkat kerja."Hari ini aku nitip Rania dulu ya, Bu. Dia sudah tidur di kamarku. Mau kutinggal kerja. Nanti coba aku cari baby sister untuk mengasuh Rania biar besok tidak merepotkan Ibu lagi." "Fikri, kenapa kamu bikin repot dirimu sendiri. Rujuk dengan Kartika dan kamu tidak perlu serepot ini!" "Maaf, Bu, Fikri tidak bisa!" ucapku yakin, aku tidak mau kalah dengan ancaman Kartika. Siang hari, handphoneku berdering. Ibu menelepon, suaranya tampak khawatir."Fikri! Rania muntah-muntah dan diare dari tadi pagi! Sekarang badannya lemas lunglai, pucat sekali. Kaki dan tangannya dingin, nafasnya juga seperti berat tersengal
"Iya, Pak, ini akan kita beri susu formula terhidrolisa dulu semoga tubuhnya bisa menerima, tidak menimbulkan reaksi lain.""Bu, Ibu di sini dulu, ya, jagain Rania, Fikri mau pulang dulu membujuk Kartika untuk mau memberikan ASI nya.""Rujuk dengan Kartika, Fikri dan semua selesai, Rania sembuh! Jangan utamakan egomu. Pikirkan keselamatan anakmu!"Aku segera pergi. Sampai di rumah, kuhampiri Kartika yang sedang memompa ASI di kamar. Sepertinya ASI nya melimpah karena tidak diminumkan dan pasti itu sangat menyiksanya. Kata Kartika dulu bikin panas dingin badan."Kartika, sini hasil pompa ASI mu kuambil buat Rania. Dia sangat membutuhkannya.""Tak semudah itu, Mas. Kalau Mas Fikri menginginkan ASI ini, kita rujuk dulu.""Tolong, Kartika, jangan paksa aku untuk rujuk! Kamu itu Ibu macam apa?! Anakmu sedang berjuang antara hidup dan mati dan obatnya ASI mu!""Kenapa Mas Fikri juga sangat egois sekali! Mas Fikri juga tidak mau berkorban demi Rania! Kenapa Mas Fikri lebih memilih berkorban
Aku masuk ke dalam taxi tanpa menengok ke belakang. Suara mengiba Mas Fikri kuanggap angin lalu."Ayo jalan, Pak." perintahku pada sopir taxi."Mbak Tiara mau kemana kok tujuan ke Gambir?" Aku tersentak mendengar ucapan sopir itu. Kulihat dengan seksama wajahnya di spion dari kursi belakang."Rafli?!""Iya, Mbak, ini saya." "Bukannya kamu melaut?" "Nggak, Mbak. Profesi itu bagian dari sandiwara. Mulanya saya pengangguran. Lalu Pak Fikri menawariku pekerjaan yang tidak berat dengan imbalan yang sangat besar. Saya cuma disuruh main sandiwara berperan jadi istrinya Mbak Kartika. Dan Pak Fikri menjanjikan membelikan saya mobil second. Ini mobilnya, Mbak, akhirnya bisa saya gunakan untuk cari duit."Benar- benar permainan sandiwara yang sangat sempurna. Ternyata Mas Fikri seorang sutradara yang handal. Penipu ulung!"Saya tahu banyak tentang Pak Fikri dan Mbak Kartika, Mbak. Sebenarnya mereka itu ...""Sudah, Rafli, aku sudah tahu semuanya!" "Alhamdulillah, akhirnya Mbak Tiara tahu jug
Aku tersentak. Sepertinya dia tidak main-main. Tatapan mata laki-laki itu menjadi sangat menakutkan. Pelan-pelan aku mundur menjauh berniat lari kencang tapi tiba-tiba dia mencekal lenganku kuat."Mau lari kemana?!" Dia menarik paksa tanganku. Kulawan tapi dia terus menariknya sampai sebuah mobil taxi berhenti. Seorang laki-laki keluar, menghampiri kami dan mengambil travel bagku."Mau kamu bawa kemana istriku?! Lepaskan dia! Atau saya telepon polisi!" Teriak laki-laki itu sambil berusaha melepaskan cekalan laki-laki berandal itu dari tanganku lalu dia yang menarik tanganku sambil menyeret travel bag ku masuk ke mobil.Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan, aku duduk di samping laki-laki yang tak kukenal. Aku sadar, aku belum terlepas dari marabahaya. Entah apa tujuan laki-laki ini menolongku. "Ya Allah, lindungi hamba," doaku dengan dengan ketakutan sekaligus sedih.Baru hari pertama tanpa suami aku sudah diuji dengan ketakutan seperti ini bagaimana aku akan menjalani hari hari
"Kamar saya masih kosong kan, Mas?""Iya itu. Paling buat kalau ada tamu. Ya sudah kamu istirahat dulu sana. O iya, pintu kamarnya rusak nggak bisa dikunci. Gara-gara anak-anak mainan di dalam terus terkunci, kuncinya macet jadi kudobrak. Sampai sekarang belum dibenerin lagi.""Iya, Mas, nggak pa pa. Saya ke kamar dulu ya, Mas."Masuk ke kamar aku langsung terkapar karena kecapekan. Bangun pagi, badan rasanya remuk. Setelah sholat subuh yang sudah kesiangan, lalu mandi aku pun ke dapur niat pengin bikin sarapan sekalian buat Mas Angga. Tapi sampai di ruang makan, Mas Angga yang berpakaian kerja rapi sudah duduk di meja makan menikmati sarapan. "Sini, Ra, sarapan.""Wah, sudah ada nasi goreng. Mas Angga yang masak?" "Iya, dong, kan ada tamu istimewa. Katanya tamu adalah raja. Ayo sarapan sekalian sini nemenin Mas." "Makasih, Mas Angga." Kuambil piring lalu menyendok nasi goreng. Aku duduk di depan Mas Angga menikmati sarapan bersama.""Ada apa sebenarnya dengan kalian? Lagi berantem
"Kamu lupa, Ra? Tadi malam kita benar-benar menikmati malam yang sangat indah." ucapnya dengan mata masih tertutup lalu tertidur lagi."Itu tidak mungkin! Tiara tidak ingat apa-apa!" teriakku.Dengan melilit tubuhku memakai selimut, aku berlari ke kamar mandi. Mengguyur tubuhku yang terasa sangat kotor di bawah air shower dengan masih menangis meraung, tidak rela tubuhku disentuh laki-laki lain apalagi itu kakak ipar ku sendiri. Sangat menjijikkan. Dengan keras, kugosok gosok tubuhku dengan sabun."Ya Allah, kenapa semua ini harus terjadi padaku?! Kenapa?! Apa salahku sampai Engkau uji bertubi tubi?!" Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Yang kuingat aku tertidur di sofa lalu Mas Angga membangunkanku. Dia membawa pizza, kami makan sama-sama sampai habis. Setelah itu aku merasa ada yang menjalar di sekujur tubuhku. Aku juga tak tahu itu apa. Tapi setelahnya aku tak ingat apa yang terjadi. Aku keluar kamar mandi, memunguti bajuku lalu mengambil baju bersih membawanya ke ka
"Kamu?!" teriakku dengan mata melotot."Aha ... Akhirnya kita dipertemukan lagi. Itu artinya ..." Dia menghentikan ucapan, mengulum senyum sambil merapikan baju putihnya dan dengan gaya bicara yang berubah sok berwibawa mempersilahkanku duduk."Silahkan, Ibu ... Tiara, benar kan? Apa yang bisa kubantu?" Dia berusaha bersikap serius tapi tetap saja tatapan matanya membuatku jengah, kenapa dipertemukan dengan orang aneh ini terus. "Maaf, saya nggak jadi periksa!" Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju pintu. "Nggak sayang sudah ngantri panjang nggak jadi periksa? Anggap kita nggak kenal, nggak pernah ketemu. Tenang saja, Ibu Tiara, aku akan menjalankan tugasku dengan profesional. Ayo, saya periksa. Apa keluhannya?" teriak dokter aneh itu dari kursinya."Maaf, saya nggak bisa! Permisi." Buru-buru kubuka pintu dan meninggalkan ruangan itu menuju meja pendaftaran."Mbak, apa ada Dokter kandungan lain yang praktek hari ini?""Memangnya kenapa, Bu, dengan Dokter Fikri?" "Siapa, Mbak?!