Di kamar, sebelum melepas hijab, aku kembali berlama lama menatap diri di kaca. Senyum-senyum sendiri. Entahlah, memakainya sampai sesiang ini tadi tak ada rasa kegerahan. Justru terasa adem dan nyaman. Baru terpikirkan, aku tidak punya jilbab selain ini. Rasanya sayang kalau kumasukkan ke keranjang baju kotor. Aku pun menggantungnya lagi. Minimal sampai aku punya jilbab yang baru.Setelah sholat, sambil berbaring, aku pun browsing toko online yang menjual jilbab dan baju muslim. Dan aku menemukan toko grosir dengan harga sangat murah. Kubeli 1 lusin jilbab dan baju hamil muslim. Cukup menguras tabunganku tapi tak apa.Setelah membayar, owner toko tersebut malah menawariku untuk jadi reseller dengan sistem dropship. Boleh kucoba, itung-itung buat nambah penghasilan. Tinggal share foto-foto dan aku pun akhirnya berjualan.Pesan mulai masuk bertubi tubi. Ternyata respon pembeli sangat bagus. Alhamdulillah, kadang kita tidak tahu dari arah mana Allah memberi kita rezeki. Yakin dengan ik
"Mas Fikriii!" Kartika memeluk Mas Fikri dengan terisak isak."Kamu kenapa? Ada apa, Kartika?" Tanya Mas Fikri tampak bingung.Kartika berlari ke dapur dengan panik, dia mengambil susu full cream, " Minum, Mas! Cepat minum!" "Kamu kenapa sih, Kartika? Ada apa? Aku kenyang habis makan. Nggak mau minum susu!" Bentak Mas Fikri terlihat kesal."Mas Fikri harus minum susu ini! Cepat, Mas!" "Kenapa, Kartika?! Jangan memaksaku!""Mbak Tiara menaruh racun di makanan itu!" Aku tersentak mendengar tuduhan Kartika."Perempuan laknat, kamu Kartika! Kamu yang menaruh racun di makanan itu! Kamu pikir aku tidak tahu perbuatanmu itu?!" teriakku berang "Apa yang sebenarnya terjadi Kartika, Tiara?!" tanya Mas Fikri dan Ibu berbarengan."Mbak Tiara mau membunuh Mas Fikri! Dia menaruh racun di makanan yang sudah aku siapin buat Tiara, Mas! Makanya dia tidak mau makan makanan itu dan menyuruh Mas Fikri makan makanan itu. Pura-pura mengajak Mas Fikri makan bareng!" "Benar itu, Tiara?!" tanya Mas Fikri
"Pak, ini yang harus Bapak tangkap. Ini pembunuhnya yang coba membunuh saya. Namanya Tiara.""Saya bukan pembunuh! Saya korbannya! Tolong, Pak. Jangan tangkap saya. Dia pembunuhnya. Dia mau membunuh anak saya!" Teriakku mengiba pada Pak polisi sambil menunjuk Kartika. "Iya, Bu, saya memang tidak akan menangkap Ibu tapi menangkap Ibu Kartika!""Apa maksudnya, Pak? Saya yang menelepon Bapak untuk menangkap Tiara bukan Kartika!" Sanggah Mas Fikri."Maaf, Pak. Tapi saya ke sini atas laporan Bapak Fikri bukan ditelepon Bapak." "Nama saya Fikri, Pak. Saya yang menelepon Bapak untuk menangkap Tiara." "Saya jadi bingung ini. Tadi ada orang yang mengatas namakan Fikri pergi ke kantor melaporkan kalau Ibu Kartika berusaha membunuh Ibu Tiara dan bayinya dengan meracuninya. Dia juga menunjukan sebuah video sebagai bukti"Dokter Fikri ... Apa itu Dokter Fikri? Mas Fikri tampak terkejut dan Kartika, dia terpaku ketakutan."Mbak Tiara yang pembunuh bukan saya!" Teriak Kartika terlihat gemetar."A
Ditipu mertua dan suamiPart 27Jantungku berdebar debar menatap layar televisi tapi tiba-tiba Dokter Fikri mematikan TV itu, " Dok, kenapa dimatikan? Belum selesai, kan?" Protesku yang begitu penasaran dengan adegan selanjutnya."Ada adegan 21+nya, nggak pantas dilihat," jawab Dokter Fikri enteng sekali, seketika dadaku memanas seperti terbakar."Apa yang sudah Dokter lakukan dengan Kartika?!" Cercaku yang entah aku merasa tidak rela.Dokter Fikri tak menjawab, fokus menyetir dengan pandangannya tetap lurus ke depan membuatku semakin gregetan."Dokter Fikri sudah melakukannya dengan Kartika?! Iya, Dok?!" Dadaku berdebar tak karuan."Kalau iya kenapa, Ra? Aku single kan? Nggak terikat dengan siapapun," ucapnya seperti petir yang menyambar."Saya sudah bilang, tidak usah menjerat Kartika! Benar, kan, kata saya, Dokter Fikri yang terjerat Kartika!" Pekikku dengan dada bergemuruh, rasanya pengin nangis tidak rela, sangat menyesalkan perbuatan Dokter Fikri.Entahlah aku juga tidak tahu k
"Ayo, Bu, kita makan, Fikri sudah lapar ini." "Iya, Ayo, Nduk, sarapan dulu. Bayimu pasti juga sudah kelaparan." Ibu Mas Fikri mengelus elus perutku lagi sambil menuntunku masuk ke ruang makan, rasa haru menyusup di relung hati, merasakan belaian seorang ibu.Di meja makan sudah tersaji menu soto lengkap, "Ayo, makan yang banyak, biar bayinya sehat." Ibu Dokter Fikri menyodorkan bakul nasi padaku."Iya, Bu." Aku mengambil nasi dan meracik soto di piring."Mbak Tiara, mau sambalnya nggak? Nih," ucap Tia sambil menyodorkan sambel."Jangan banyak-banyak ya, Nduk, sambelnya, kasihan bayinya. Nih, tempe mendoan saja. Kalau ini sepiring dihabisin juga nggak pa pa," ucap Ibu dan semua terkekeh.Ada rasa bahagia berada di tengah-tengah mereka. Sebuah keluarga idaman yang selama ini tak kudapatkan. Walaupun baru ketemu tapi aku bisa merasakan kasih sayang mereka.Dan Dokter Fikri yang duduk di depanku, dari tadi mencuri curi pandang sambil menyuapkan soto ke mulutnya. Seperti dihujam panah ya
Dengan pikiran kalut akhirnya aku putuskan masuk ke lobby hotel menemui mbak resepsionis, " Maaf, Mbak mau tanya posisi kamar nomor 630 di mana ya, Mbak?" "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Untuk tamu tidak bisa naik ke atas karena untuk naik lift memakai sistem cardlock. Sebaiknya Ibu hubungi orang yang mau Ibu kunjungi untuk menjemput di lobby." "Baik, Mbak. Terima kasih ya, Mbak." Setelah kuhubungi Mas Angga, tak berapa lama dia sudah datang, "Tiara? Ini kamu? Pangling, Ra!" Mas Angga menatapku tak berkedip, aku menunduk ketakutan.Ya Allah lindungi hamba. Detak jantungku berpacu cepat. Semoga keputusanku untuk menemuinya ini akan dapat menyelesaikan semua masalahku dengannya."Tapi dalam keadaan tertutup begini justru semakin membangkitkan hasratku, Ra. Ayo kita naik ke atas.""Aku tidak mau naik ke atas! Hapus video itu, Mas! Aku mohon!" "Iya, tenang saja, Ra. Aku akan menghapusnya setelah kita bersenang senang. Kamu pilih mana? Ikut aku ke atas atau lihat video itu tesebar di duni
"Dimana kamu sembunyikan Tiara! Jawab, pengecut!" Suara yang sangat aku kenal."Tiara, kamu dimana? Keluar, Ra. Kamu sudah aman!" Dokter Fikri ... Itu suara Dokter Fikri, kenapa dia bisa sampai di sini. Terima kasih ya Allah. Sekali lagi Engkau mengirimkan Dokter Fikri buatku di saat yang tepat. Setelah memakai hijab kembali dan merapikan baju yang telah sobek di bagian dada dan tangan, aku mencoba berdiri. Dengan sempoyongan membuka pintu toilet. Dokter Fikri berlari menghampiriku, mencopot kemejanya lalu memakaikannya di tubuhku menutupi bajuku yang sobek. "Tiara, kamu tidak kenapa napa? Kamu pucat sekali, Ra," Tatap Dokter Fikri khawatir sambil mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki" Aku menggeleng, tangisku pecah tak terbendung.Tiba-tiba Dokter Fikri mendekapku erat dan entah kenapa aku tidak menolaknya. Kutumpahkan tangis di dadanya. Sejenak hanyut menikmati ketenangan dan rasa aman dalam pelukan Dokter Fikri."Aku paling tidak bisa melihatmu teraniaya begini, Ra. W
POV Fikri.Gara-gara racun Kartika itu aku pun jadi terkapar di rumah sakit. Untung aku minum susu setelah makan racun itu jadi aku tidak mati. Hanya merasakan mual dan pusing yang teramat sangat dan akhirnya aku dilarikan tetangga ke rumah sakit. Setelah mendapat pertolongan dokter, diinfus dan diberi obat badanku berangsur pulih tapi aku belum boleh pulang dan harus menginap di rumah sakit. Aku masih tergolek lemas."Kemana ini istrimu, Fikri? Dari tadi Ibu hubungi nggak di angkat. Ibu sudah kirim pesan suara sudah dibaca sama dia tapi tetap nggak dibalas. Keterlaluan memang istrimu itu! Istri macam apa itu, tahu suaminya sakit nggak ada peduli pedulinya!" "Sudah, Bu, jangan salahkan Tiara terus. Sadar nggak sih, Bu, selama ini kita sudah memperlakukan Tiara dengan tidak adil. Kita selalu membela Kartika. Dan Ibu lihat sendiri kan perempuan macam apa yang kita bela. Mungkin kesabaran Tiara sudah habis, Bu. Makanya dia pergi dari rumah.""Paling dia pergi ke pelukan dokter itu. Ke