Setelah acara lamaran seminggu yang lalu di rumah Mbak Arum, pagi ini aku yang memakai gaun warna putih dan Dokter Rasyid yang memakai jas warna senada sudah berada di depan penghulu di sebuah hotel dimana ijab qobul dan resepsi akan dilangsungkan. Orang tua Dokter Rasyid dua duanya sudah tiada jadi wali diwakilkan oleh kakak tertua Dokter Rasyid. Keluarga besar Dokter Rasyid sudah berkumpul di sini ikut menyaksikan ijab Qobul. Juga Mbak Arum dan anak-anaknya yang menjadi wakil satu satunya keluargaku.Aku mencoba berdamai dengan takdir walaupun tak kupungkiri masih berharap akan ada sebuah keajaiban di detik-detik akhir proses ijab qobul seperti di film-film. Dokter Fikri datang sebagai super hero yang akan menyelamatkanku dari pernikahan ini atau menggantikan posisi Dokter Rasyid. Tapi sampai Dokter Rasyid selesai melafalkan ijab qobul tak ada tanda-tanda kehadiran Dokter Fikri. Dan akhirnya sebuah kata menggema di ruangan mengakhiri harapanku. "Sah?""Sah!""Alhamdulillah" Seke
"Tapi, Mas, Adam?" Aku mencoba mencari alasan, pelan-pelan melepas tangan Dokter Rasyid dari pinggang, entahlah bagiku masih terasa aneh. Aku belum siap disentuh suami sendiri. "Masih belum ikhlas dipeluk suami, nih?" "Bukan begitu, Mas. Aku tidak biasa tidur terpisah dengan Adam," jawabku gugup."Hanya malam ini saja, Ra. Adam biar tidur sama Mbok Minah dulu." Tiba-tiba tangan Dokter Rasyid membalikkan badanku, kami pun berhadapan begitu dekat. Tangannya mulai melepas kerudung yang kupakai. Dan tatapannya kenapa belum juga bisa menggetarkan hatiku.Bayangan Dokter Fikri berkelebat di pikiran. Berimajinasi seandainya yang ada di hadapanku ini Dokter Fikri. Bahagianya ...."Sudah, Ra! Sudah! Dia bukan jodohmu!" Aku berusaha mengenyahkannya tapi kenapa dia terus menari nari di otak ini.Seketika mataku mengerjap ketika bibir Dokter Rasyid sudah mengecup keningku. Aku menundukkan wajah dalam-dalam tapi buru-buru ia mengangkat daguku, menatap bagian yang paling ranum di wajahku. Sungguh
Ditipu Mertua dan suamiPart 42Setahun kemudian POV Dokter Fikri."Kamu benar-benar sudah mantap menikahi perempuan pilihan Ibu, Fikri? Tidak ingin memilih istri sendiri? Kamu tidak dalam keadaan terpaksa, kan?""Nggak, Bu. Tenang saja, keputusan Fikri sudah bulat. Sudah kupikirkan matang-matang. Walaupun tak mengenal dan belum mencintai perempuan itu tapi Fikri tidak main-main.""Kamu yakin hanya cukup melihat foto, tidak pengin ketemu secara langsung dulu sebelum ijab qobul besok? Kalau sudah ijab qobul tidak bisa ditarik lho, Fikri." "Iya, Bu, sudah cukup. Aku percaya dengan pilihan Ibu dan Tia. Kalian berdua pasti memilihkan yang terbaik untukku, tidak mungkin menjerumuskanku pada perempuan nggak bener." "Iya, dia seorang perempuan yang sangat tegar. Seorang pengusaha sukses di Yogyakarta. Dia hidup sendiri, janda dan kamu tidak mempermasalahkannya kan?""Iya, itu tidak masalah. Yang penting dia bisa jadi istri yang baik. Ya, sudah ya, Bu, Fikri mau istirahat dulu.""Iya, kamu
"Apa yang sebenarnya terjadi, Dok?" Kugoncang pundak Dokter Rasyid."Saya dan Tiara sudah bercerai. Pernikahan kami hanya bertahan 3 bulan. Sebuah kenyataan, saya tidak bisa memiliki hati Tiara ... juga raganya. Tiara sudah berkorban banyak untuk anak-anakku. Mengorbankankan perasaannya dan segala galanya. Akhirnya setelah memberikan pengertian pada anak-anak, saya memutuskan untuk melepaskan Tiara. Saya kembalikan Tiara padamu, Dok, dalam keadaan masih utuh tak terjamah. Saya mewakili anak-anak juga minta maaf sudah menjadi penghalang hubungan kalian. Saya yang dulu begitu yakin bisa meluluhkan Tiara ternyata salah. Dia hanya bisa bahagia bersamamu, Dok." "Lalu Dokter Rasyid sekarang?""Dokter Fikri tidak perlu kuatir. Saya memang tidak ditakdirkan menjadi suami Tiara sampai akhir hayat, tapi ternyata saya ditakdirkan jadi kakak ipar Tiara insyaAllah sampai akhir hayat.""Maksudnya ...?""Iya, Dokter Fikri. 3 bulan setelah perceraian kami, saya menikah dengan Arum, kakak Tiara. Mak
Tiara memejamkan mata, cengkeramannya semakin kuat di leherku. Kami pun kesulitan bernapas dengan baik, karena harus saling berbagi udara satu sama lain dari bibir.Gejolak di dada semakin tidak bisa kukendalikan. Tiara benar-benar membuatku mabuk kepayang. Pelan-pelan kuturunkan resleting gaunnya."Mas ..." "Aku menginginkanmu, Ra.""Masih siang, Mas. Tidak enak sama tamu di bawah. Nanti malam ya.""Aku mau sekarang!"...Akhirnya yang tertahan selama ini tumpah juga. Dengan nafas yang masih terengah engah dan peluh yang bercucuran kurengkuh tubuh Tiara, menikmati sisa-sisa kenikmatan surga dunia yang baru saja kami rengguk di siang bolong ini."Ra, maaf ya tadi aku masih grothal grathul, cenunak cenunuk. Ini pertama untukku. Belum pengalaman.""Bukannya yang pertama dengan Kartika, Mas?" Dia tampak tercengang menatapku."Masih ingat saja kamu, Ra. Kamu percaya ucapanku saat itu? Mana mungkin aku merelakan keperjakaanku untuk perempuan macam Kartika. Terlalu mahal, Ra.""Jadi Mas
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"