"Cucu apa sih, Pa?" protes Arina pada papanya dengan wajah memerah. Perempuan itu belum memikirkan sampai sana. Perkara nafkah lahir batin aja dia belum kepikiran.
"Rin, Papa sama mama itu nikah anaknya cuma dua, kamu sama kakakmu aja, kakakmu udah nikah, kamu kan udah nikah juga, tapi sebelum nikah kamu udah kabur duluan ke sini, jadi rumah itu sepi enggak ada kalian. Kalau Papa minta cucu tiga kalian enggak keberatan, kan?" Arina melotot pada papanya, pembahasan soal cucu ini entah mengapa membuatnya merasa kesal. Dia tidak berani menatap Yudhi, takut pria itu merasa senang dan ikut menuntut dirinya soal cucu yang diinginkan papanya. "Ya, Pa, nikah aja baru, kok udah mikirin cucu segala sih?" "Kamu sama suamimu umurnya enggak muda lagi, jadi sudah seharusnya direncanakan dari sekarang, Sayang, kapan punya anak pertama, kedua dan seterusnya. Iya enggak Nak Yudhi? Kalau Nak Yudhi sendiri rencana mau punya anak berapa?" Baskara beralih pada Yudhi. "Berapa aja dikasih rezeki sama Allah aja, Pak. Saya enggak akan nuntut Arina untuk punya anak banyak." Yudhi tersenyum dan melirik pada Arina. Entah kenapa dia menjadi kesal dengan Arya dan Yudhi. Jika Yudhi berani membahas anak dengannya, dia janji akan membunuh suaminya. Arina bangkit dari duduknya untuk menghindari pembahasan soal anak. 'Nikah aja terpaksa, enggak tahu mau dibawa ke mana pernikahan ini, kok udah bahas anak sih?' protes Arina dalam hati karena kesal pada dua pria itu. Dia menyiapkan makan siang untuk papa dan suaminya. Makanan yang tadinya akan dia makan bersama sang suami, akan dia berikan pada papanya. Makanan tersaji di meja, Arina pamit, dia akan makan di luar, tidak mau terlibat obrolan apa pun dengan papa dan suaminya. Di luar Arina melihat tukang bakso, dia membayangkan makan bakso yang pedas dan asam untuk meredakan emosinya. Arina pun memesan bakso lalu makan sendirian setelah meracik bakso itu sesuai keinginannya. "Kok makan sendirian? Suaminya enggak diajak?" Suara pria itu, pria yang tidak dia inginkan kehadirannya membuat Arina melongo dan menjatuhkan bakso yang ada di sendok nya. "Mas ngapain ke sini? Bukannya tadi makan sama papa?" Tidak mungkin Yudhi berkata jujur jika Arya menyuruhnya menyusul Arina. Pria itu diminta menenangkan perasaan kesal Arina sekaligus belajar mengenal sifat anak kesayangan Arya itu, agar di kemudian hari dia bisa membujuk istrinya saat sedang kesal dan marah. "Lagi pengen makan makanan yang sama dengan kamu, enggak boleh?" Yudhi berteriak pada pedagang bakso memesan satu mangkuk bakso untuknya. Arina hanya melirik sekilas. Dia tidak memedulikan kedatangan pria itu di sana. Yudhi pun tidak berusaha membujuk Arina agar tidak kesal lagi. Keduanya makan dalam diam. Arina selesai makan lebih dulu, dia membayar dua mangkuk bakso itu lalu meninggalkan Yudhi sendiri di sana. Yudhi mempercepat makannya lalu menyusul Arina yang tidak berjalan menuju rumah. Dia berjalan ke arah lain untuk menenangkan diri. Yudhi menyamakan langkahnya berjalan di sebelah Arina. "Kok ngikutin lagi sih, Mas?" Arina khawatir ditemani Yudhi membuatnya semakin bertambah kesal. "Takut ada yang nyulik kamu." Arina menghentikan langkah, menghembuskan napas berat. "Di sini enggak ada yang bakalan nyulik aku, Mas. Lagian Mas mending pulang deh, enggak akan sanggup jalan jauh ngikutin aku. Perutnya kan masih sakit." Apa yang dikatakan Arina benar. Yudhi masih merasa kurang nyaman di bagian perutnya dan dia juga agak kesulitan mengikuti langkah cepat Arina, tetapi dia bersikap santai seolah tidak merasakan apa pun. Arina melanjutkan langkahnya, Yudhi pun tetap berjalan di sampingnya. Melihat Yudhi mulai berkeringat, dia merasa kasihan. Takut terjadi apa-apa dengan suaminya, Arina putuskan untuk pulang bersama Yudhi dengan berjalan perlahan sampai ke rumah. Ketika keduanya masuk rumah, Papa Arina sudah tertidur di sofa di ruang tengah. Pria itu merasa lelah karena menyetir sendiri untuk melihat anaknya bersama sang suami. Selama bersama dengan Yudhi tadi Arya merasa pria itu akan menjaga Arina dengan baik. Sore hari, Arya terbangun saat azan asar. Arina merasa kasihan dengan Arya harus tidur di sofa. Dia lupa menitipkan pesan pada papanya agar tidur di kamarnya saja kalau ingin istirahat. "Papa malam ini mau nginep di sini?" "Iya, besok Papa pulang ke rumah. Papa enggak berani jalan malam sendirian." "Kenapa enggak ngajak Mama? Oh ya reaksi Mama gimana, Pa?" Arina penasaran juga dengan reaksi mamanya. "Mama enggak Papa ajak. Papa sudah bilang sih kamu nikah di sini. Papa bilang ke mama kamu diamuk warga. Tadinya mama mau ikut ke sini, tapi Papa larang karena Papa bilang di sini kondisinya bahaya." Arina menghela napas. Bisa-bisanya Arya berbohong pada istrinya sendiri begitu. "Padahal kan enggak gitu, Pa." "Mama minta Papa ngajak kamu pulang karena khawatir, tapi sekarang mama udah aman kok. Papa enggak mau ngajak mama ke sini tuh nanti mama heboh nyapin segala macem di sini, bikin syukuran dan lain-lain sedangkan kerjaan Papa lagi banyak, ini juga maksain buat jenguk kamu. Alhamdulillah Papa bisa tenang sekarang." Melihat kelegaan di wajah papanya, Arina pun merasa tenang. Dia hanya berharap ke depannya akan berjalan dengan baik dan semuanya baik-baik saja. Malam harinya mereka makan di luar bersama dengan obrolan hangat. Tidak lupa mengabari sang mama agar tidak perlu khawatir dengan keadaan Arina lagi. Selesai makan malam, mereka beristirahat di rumah. Saat Arya tidur di kamarnya, Arina memutuskan untuk tidur di sofa saja malam itu. Namun, Yudhi yang melihat itu melarangnya dan meminta Arina untuk tidur di kamar pria itu, tetapi Arina menolak. Dia bersikeras untuk tetap tidur di sofa itu. Saat Yudhi ingin menarik tangan Arina agar perempuan itu bangkit perempuan itu malah menarik tangan Yudhi. Tubuh pria itu menjadi tidak seimbang hingga akhirnya dia terjatuh. Keduanya berbaring di sofa dengan posisi yang akan membuat orang lain yang melihatnya berpikiran lain. Saat itu keduanya masih diam dan saling menatap dalam. "Eh, kok malah di sini, masuk kamar sana, enggak enak dilihat kalau kayak gitu. Malu."Setelah diperiksa oleh dokter di rumah sakit dan dinyatakan hamil, Yudhi mengajak Arina konsultasi ke dokter kandungan yang ada jadwal praktek pagi. Setelah diperiksa dengan USG, Arina dinyatakan hamil empat minggu. Dia sendiri tidak menyangka bisa hamil anak kedua secepat itu karena siklus bulanannya belum datang lagi sejak terakhir dia hamil anak pertama. “Dokter kan tahu jika setiap bulan sel telurnya yang matang tetap dilepaskan seperti biasa, hanya saja memang dinding rahimnya tidak menebal karena pengaruh hormon. Selamat ya, Dok atas kehamilan anak keduanya, semoga saja semuanya lancar.” Dokter kandungan yang sudah kenal dengan Arina itu mendoakannya.“Aamiin, terima kasih ya, Dok. Kami pamit pulang dulu.”Yudhi mengajak Arina kembali ke mobilnya. Perempuan itu menarik napas panjang untuk menangkan diri menerima keputusan jika dia telah hamil anak kedua dan harus menerima semuanya dengan lapang dada.“Mas, kayaknya aku harus ngajuin cuti lagi ini ke papa. Padahal aku belum masu
Yudhi tetap terus membantu Arina mengurus anak mereka. Perempuan itu minta cuti satu tahun pada sang papa untuk mengasuh anak pertamanya dan tidak mau melewatkan setiap perkembangan yang dialami putri pertamanya. Begitu juga dengan Yudhi, dia pun tidak mau melewatkan kesempatan yang sama. Meskipun mereka sudah kembali ke apartemen, Arina tetap mengurus bayinya sendiri dengan bantuan ART di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan menemani Arina saat suaminya bekerja. Pada suatu malam, Yudhi ingin membicarakan sesuatu pada Arina, dia pun membahasnya dengan perempuan itu. "Sayang, Mas ada rencana nih. Mas mau minta persetujuan kamu, tapi dengerin dulu, ya." Arina menganggukkan kepala siap mendengar semua apa pun yang akan suaminya katakan padanya. "Jadi, Mas ada rencana mau bikin pesantren." Arina terkesiap mendengar rencana sang suami. Mengapa dia tiba-tiba ingin membangun pesantren, padahal mereka belum pernah membalas ini sebelumnya. "Pesantren, Mas? Di mana?" "DI pinggiran
Hari-hari Arina menunggu waktu melahirkan tetap sama seperti biasanya. Rutin jalan pagi bersama sang suami dan tidur malam harus diawali dengan pijatan di kaki dan dielus bagian punggung sampai dia tertidur. Beberapa hari terakhir, Arina mulai merasakan gelombang cinta di bagian perut, hanya saja belum teratur dan sering. Dia masih menikmati setiap rasa kram dan nyeri itu sebagai sinyal jika sebentar lagi anaknya akan segera lahir. Makin dekat waktu melahirkan makin sering pula gelombang cinta itu dirasakan oleh Arina hingga pada suatu sore dia mendapat flek dan segera minta diantar menuju rumah sakit. Tidak hanya Yudhi yang mengantar Arina, kedua orang tuanya pun ikut mengantar sampai ke rumah sakit. Perempuan itu dibawa ke rumah sakit milik sang papa. Begitu tiba di rumah sakit, Arina dibawa menuju ruang bersalin yang kosong. Di sana dia ditemani oleh suami dan mamanya. Sedangkan sang papa menunggu di luar sambil berzikir. Saat Arina merasakan gelombang cinta yang hebat, sang ma
Yudhi meminta kamar hanya berdua saja dengan Arina pada travel umroh. Dia harus memastikan keadaan Arina baik-baik saja selama 24 jam di sana. Ke mana pun Yudhi pergi pasti ada Arina bersamanya. Ke masjid atau sedang mengikuti perjalanan bersama tour pun mereka selalu bersama. Di depan ka'bah, Arina dan Yudhi selalu memanjatkan doa untuk kelancaran proses kehamilan istrinya dan kemudahan saat proses melahirkan. Meskipun Arina seorang dokter dia tidak bisa melahirkan sendirian tanpa bantuan pihak medis, lagipula dia kan bukan dokter kandungan, Arina adalah seorang dokter bedah umum yang sudah pasti akan menghadapi pasien dengan penyakit yang berbeda. Selesai melaksanakan umroh keduanya kembali ke hotel karena sudah malam. Sebelum masuk ke kamar, mereka makan malam lebih dulu. Selama melaksanakan umroh berat badan Arina naik. Dia sendiri pun merasakan itu, mulai kesulitan bangun dan harus dibantu oleh sang suami. "Mas, kayaknya jas seragam dari travel itu udah enggak cukup lagi deh,
Arina memperhatikan perutnya yang mulai terlihat membuncit di depan kaca, pada usia kehamilan lima bulan, memang perut perempuan hamil sudah mulai terlihat membuncit. Dia merasa tidak percaya diri dengan perutnya di saat dia belum mengumumkan acara resepsi pernikahannya. "Mas, perut aku udah keliatan gendut ya?" tanya Arina dengan wajah cemberut. Rasanya hari itu dia tidak ingin datang ke rumah sakit karena perutnya. "Bukan keliatan gendut, tapi membesar karena hamil. Kalau gendut kan seluruh badan melebar." Arina menghembuskan napas lelah. Terkadang dia masih tidak ingin menjadi bahan gunjingan yang lain atau mendapat fitnah dari yang lain. "Aku enggak usah berangkat ke rumah sakit ya, Mas?" Arina berharap Yudhi akan setuju dengan keputusannya. Namun, nyatanya tidak. Pria itu meletakkan beberapa undangan di tangan Arina. "Suruh mereka semua datang supaya tahu kenyataan yang sebenarnya." Pria itu paham istrinya khawatir dituduh hamil sebelum menikah. "Mas antar sampai ke ruangan
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar