LOGINAruna Maheswari berniat menjual rumah peninggalan ibunya karena tempat yang terlalu besar untuk ditinggali sendiri dan terlalu sarat kenangan untuk dipertahankan. Keputusan itu tampak sederhana, hingga ia mengetahui bahwa rumah tersebut masih memiliki satu pemilik lain yaitu Sagara Setjo Pratama, pria yang meninggalkannya lima belas tahun lalu tanpa penjelasan. Kembalinya Sagara ke Indonesia memaksa Aruna menghadapi masa lalu yang selama ini ia kunci rapat. Urusan hukum berubah menjadi konflik personal ketika tanda tangan yang dibutuhkan justru tertahan oleh kehadiran orang yang paling ingin ia hindari. Terjebak dalam ruang yang sama, Aruna dan Sagara dipaksa berbagi rumah, waktu, dan luka yang belum sembuh. “Sekali lagi kamu bahas soal tanda tangan atau—” ucapnya tertahan, rahangnya mengeras. Aruna menyalang. "Atau apa? atau kamu bakal ber—" Kalimat itu belum selesai ketika ia maju selangkah. Tangan terangkat, menutup mulut lawannya bukan dengan telapak, tapi dengan bibir. "Sekali lagi bicara, aku tutup mulut kamu pakai itu."
View MoreAruna Maheswari menatap ruang tamu rumah itu lebih lama dari yang ia rencanakan.
Langit-langit tinggi, jendela besar dengan tirai tipis warna krem, dan lantai kayu yang selalu dibersihkan ibunya setiap Minggu pagi. Rumah itu terlalu besar untuk satu orang dan juga terlalu sunyi untuk ditinggali sendirian sejak dua tahun terakhir.
“Ma, aku mau jual rumah ini,” gumam Aruna pelan, seolah ibunya masih duduk di sofa sudut sambil menyulam.
Tak ada jawaban, tentu saja. Dan pengakuan Aruna menjadi nyata karena dua minggu kemudian, perempuan itu duduk di kantor notaris dengan punggung tegak dan wajah tenang yang selalu digunakan setiap kali harus mengambil keputusan serius.
Notaris itu, seorang pria paruh baya berkacamata, membuka map coklat tebal di depannya.
“Baik, Bu Aruna. Kita cek dulu dokumen kepemilikan,” katanya ramah.
Aruna mengangguk. “Sertifikatnya atas nama saya, kan? Setelah Mama meninggal, semua sudah diurus.”
Notaris itu tidak langsung menjawab, justru membuka halaman lain, menyesuaikan kacamatanya.
“Sebagian, Bu.”
Aruna mengerutkan dahi. “Sebagian?”
“Ya. Rumah ini tercatat atas dua nama.”
Hah?
“Nama siapa?” tanya Aruna, suaranya datar tapi tegang.
Notaris itu menggeser map sedikit ke arahnya. “Nama Ibu Aruna Maheswari dan Bapak Sagara Setjo Pratama.”
Jantung Aruna seperti berhenti sepersekian detik. Nama itu lagi? Nama yang sudah lama tidak ia dengar, pun sudah lama tidak ia temui orangnya.
“Itu nggak mungkin,” katanya cepat. “Dia gak di Indonesia.”
“Secara hukum, namanya masih tercatat sebagai pemilik bersama,” jawab notaris itu tenang. “Ada akta hibah parsial dari orang tua Ibu dan orang tua beliau. Tertanggal dua puluh lima tahun lalu.”
Dua puluh lima tahun.
Aruna menelan ludah. “Kenapa saya tidak pernah diberi tahu?”
“Itu di luar kewenangan saya, Bu. Tapi tanpa tanda tangan beliau, rumah ini tidak bisa dijual.”
Aruna bersandar ke kursi dengan tangannya mengepal di pangkuan.
“Kalau saya tidak bisa menghubunginya?”
Notaris itu terdiam sejenak. “Maka prosesnya akan sangat panjang. Pengadilan, penetapan hak, dan—”
“Tidak,” potong Aruna, “akan saya usahakan. Saya hanya perlu tanda tangannya.”
Sagara Setjo Pratama.
Nama itu seperti pintu yang lama ia kunci rapat, kini dibuka paksa oleh hukum.
“Alamat terakhir?” tanya Aruna pada Notaris tersebut.
“Kalau menurut data di luar negeri, tetapi ada pembaruan data tiga hari lalu,” jelas si Notaris.
Aruna mendongak. “Pembaruan apa?”
“Status domisili. Beliau tercatat kembali ke Indonesia.”
Dada Aruna mengencang, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kembali?” ulangnya pelan.
“Iya. Alamat sementara di kota ini, Bu.”
Aruna menutup matanya sejenak. Keputusan praktis untuk menjual rumah mendadak berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih personal.
“Terima kasih. Saya akan mengurus sisanya,” setelah mengatakan itu, Aruna berdiri dan melangkah keluar ruangan.
Langkah kaki itu begitu lambat saat keluar dari kantor notaris, Aruna berdiri lama di trotoar. Rumah itu tidak akan bisa terjual tanpa Sagara dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, masa lalu itu kembali menyeruak, memenuhi ruang pikirnya dan membawanya kembali berdiri di depan rumah lamanya.
Kunci rumah lama terasa berat di tangan Aruna. Ia sudah lama tidak membuka pintu itu sendiri. Biasanya, hanya mampir sekadar menengok, lalu pergi. Namun, hari ini berbeda, karena kakinya membawanya masuk perlahan dan menyalakan lampu satu per satu.
Langkahnya berhenti di koridor samping, tempat pintu penghubung itu berada. Pintu kayu tua dengan gagang besi yang menghubungkan rumah ini dengan rumah di sebelah. Dua halaman yang menyatu, dua keluarga yang terlalu dekat untuk disebut tetangga biasa.
Aruna mengulurkan tangan, lalu berhenti, karena mendengar suara dari arah rumah sebelah.
Lalu, tanpa peringatan pintu itu terbuka dan di sana seseorang berdiri sambil menggenggam gagang pintu.
Kemeja biru gelap, lengan digulung rapi, rambut sedikit lebih pendek dari yang ia ingat. Wajahnya lebih dewasa, lebih matang, ada rambut halus di dagu pria itu yang semakin membuatnya dewasa dan sama sekali tidak terkejut.
“Baru pulang?” katanya dengan suara rendah.
Aruna menelan ludah. “Ngapain kamu disini?”
Sunyi menggantung di antara mereka.
“Gak tanya kabarku dulu?”
Aruna memutar bola matanya malas. “Gak penting.”
Sejenak, tak ada yang bicara lagi.
“Untuk apa membuka pintu ini?” tanya Aruna sebisa mungkin suaranya datar meski dadanya terasa sesak.
Sagara tidak langsung menjawab. Tangannya masih menggenggam gagang pintu, seolah ia sendiri ragu apakah pintu itu seharusnya benar-benar terbuka. Matanya menyapu wajah Aruna singkat, lalu berhenti lama pada wajah yang sama sekali tidak berubah dari terakhir kali melihatnya.
“Saya ingin memastikan kalau rumah sebelah kosong,” katanya akhirnya.
Aruna mengerutkan kening, “Terus kamu pikir, rumah ini akan kosong begitu?”
“Saya baru kembali tiga hari lalu,” jelas Sagara.
Aruna menarik tangannya dari gagang pintu, melangkah mundur setengah langkah. Ruang di antara mereka tetap sempit, meski jarak fisik bertambah.
“Saya juga tidak tahu kamu berniat menjual rumah ini,” balas Sagara, nada suaranya tenang, nyaris netral.
Kalimat itu membuat Aruna menegang.
“Dari mana kamu tahu?”
“Notaris menghubungi saya tentang tanda tangan,” jawabnya singkat.
Aruna menghela napas. Tidak ada gunanya berpura-pura. “Aku kesini cuma mau memastikan kondisi rumah sebelum proses selanjutnya.”
“Sendirian?” tanya Sagara.
Ia melepas pegangan pintu dan membiarkannya terbuka, tidak menutup, tidak juga mengundang. Sebuah gestur yang menggantung.
“Masuklah kalau perlu,” katanya. “Saya hanya ingin mengecek listrik dan air.”
Aruna ragu sejenak sebelum melangkah masuk ke ruang yang dulu begitu ia kenal. Rumah sebelah itu masih sama, hanya lebih kosong. Furniture tertata rapi dan tidak ada debu, mungkin saja sudah dibersihkan mengingat sudah 3 hari pria itu di sini.
“Kamu tinggal di sini sekarang?” tanya Aruna.
“Sementara,” jawab Sagara. “Sampai urusan pekerjaan selesai.”
Mereka berdiri berhadapan di ruang tengah, tidak duduk, tidak juga saling mendekat. Sunyi yang muncul bukan canggung, melainkan penuh kehati-hatian.
“Aku nggak berniat buat ganggu. Aku cuma butuh tanda tangan kamu. Setelah itu, aku pergi,” jelas Aruna akhirnya.
Sagara menatapnya lurus. “Pergi ke mana?”
“Itu nggak penting,” Aruna mengalihkan pandangan, “itu urusan pribadiku, Sagara. Nggak perlu diperpanjang.”
Sagara diam, lalu beberapa detik setelahnya kembali berucap, “kamu tidak ingin bicara soal hal lain?”
“Tidak,” jawab Aruna cepat. “Tanda tangani ini.”
Sagara tersenyum tipis, miris saat mendengar jawaban yang penuh rasa percaya diri itu.
Luar biasa, Aruna membuatnya tidak berkutik.
“Lima belas tahun, Aruna. Selama itu pula kita tidak bertemu dan kamu hanya datang untuk membahas tanda tangan?” katanya pelan.
Aruna mengangkat kepala. “Aku nggak datang buat bahas masa lalu.”
"Kamu, kamu salah," gumamnya, suaranya gemetar, tangannya mencengkeram kaos Sagara.Sagara tidak perlu undangan kedua. Lidahnya menyusup masuk, menyapu milik Aruna dengan tekanan yang mendesak, menuntut penyerahan. Aruna membalas dengan gigitan kecil di bibir bawahnya, membuat Sagara mendesis pelan."Nghh Aruna."Tangan Aruna naik, jari-jarinya menyusup ke rambut basah Sagara, menariknya lebih dalam, seolah ingin menyatukan mereka hingga tak ada ruang untuk bernapas. "Kamu bajingan," desahnya di sela-sela ciuman, suaranya pecah oleh napas yang tersengal.Dengan tangan gemetar karena campuran amarah dan gairah, ia menarik kaos Sagara ke atas, jatuh ke bawah dan memperlihatkan dada berotot Sagara yang masih lembab dari mandi tadi."Kenapa... harus kamu," gumamnya, suaranya serak, tapi tangannya tidak berhenti.Sagara menggeram lagi dengan suara rendah dan seharusnya itu adalah isyarat berbahaya untuk Aruna, "Aruna, kalau kamu seperti ini, saya tidak akan bisa berhenti.”Mereka saling me
Keputusan itu datang bukan dari Sagara langsung, melainkan dari pesan singkat notaris yang masuk ke ponsel Aruna di tengah siang yang panas dan pengap. Kalimatnya ringkas, terlalu profesional untuk dampak yang ditinggalkannya.‘Pihak pemilik kedua meminta penundaan tanda tangan hingga seluruh urusan keluarga dan administrasi internal selesai.’Aruna membaca pesan itu dua kali. Tiga kali. Dadanya mengeras, lalu memanas dengan kemarahan yang langsung naik hingga ubun-ubun.“Penundaan? Urusan keluarga?” Gumamnya tajam.Sial. Apalagi sih yang mau pria itu ributkan?Aruna tidak menunggu lama. Sore itu juga, Aruna pulang lebih cepat. Mobilnya berhenti kasar di depan rumah, pintu dibanting tanpa niat menahan suara. Begitu ia masuk, seperti yang sudah diduga, pria itu baru selesai mandi di kamar mandi rumahnya.“Kamu bilang penundaan ke notaris?” Aruna membuka tanpa basa-basi.Sagara mengangguk kecil. “Saya minta waktu.”“SAGARA!” suara Aruna meninggi, “kamu sudah sepakat kalau mau tanda tan
Sejak kesepakatan itu dibuat, Sagara mulai mengganggu ruang pribadi Aruna. Pria itu seolah berperan sebagai pemilik kedua dari pemilik rumahnya- memang benar tapi tidak secara harfiah. Pria itu bahkan memanggil tukang untuk mengecek atap, mengganti kunci pagar belakang tanpa meminta persetujuan Aruna terlebih dahulu. Dan, Aruna kembali ke rumah itu sesuai kesepakatan. Hanya beberapa minggu atau bulan?“Kuncinya sudah longgar. Jadi, saya ganti,” katanya santai suatu pagi. “Sepertinya ada sedikit kebocoran kemarin, jadi saya panggil tukang.”“Rumputnya sudah tinggi-tinggi.”Dan banyak lagi yang membuat Aruna mendesah lelah. Rumah ini benar-benar mulai menjadi milik berdua, tetapi Aruna sama sekali tidak datang ke rumah sebelah. Terakhir kali hanya saat mereka bertemu saja, setelahnya Aruna tidak tertarik. “Kamu bisa bilang dulu,” respon Aruna yang lelah dengan semua alasan Sagara. “Saya selalu bilang kan, Aruna. Tapi, kamu saja yang tidak pernah memberi respon,” jawab Sagara ring
Waktu berhenti bersikap ramah pada Aruna. Notaris mengirim pesan pengingat terkait pada calon pembeli yang mulai mendesak kepastian, dan tenggat administrasi terasa semakin sempit. Rumah yang awalnya ingin ia lepaskan dengan cepat, kini seperti menahannya dengan cara yang tidak kasatmata.Yang paling membuatnya resah bukan tenggat, melainkan satu fakta sederhana bahwa tanda tangan Sagara belum juga ada. Pria itu seolah menghindari Aruna, karena setiap datang ke rumah ini, Sagara tidak ada.“Sagara,” panggil Aruna akhirnya setelah melihat Sagara datang dengan mobilnya dari teras.Sepertinya pria itu baru pulang bekerja- yang mana Aruna pun tidak tahu di mana tempat pria itu mencari nafkah. Sagara baru turun dari mobil, kemeja kerjanya masih rapi, jas dilipat di lengan. Aruna segera bergegas keluar rumah, dan menghampiri Sagara.“Notaris butuh kepastian minggu ini. Kalau enggak, calon pembeli bisa mundur,” terobos Aruna.Sagara mengangguk tanpa menoleh “saya tahu.”“Terus?” Aruna menco






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.