Home / Urban / Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh / 17. Menyelamatkan orang penting

Share

17. Menyelamatkan orang penting

Author: Cutegurl
last update Last Updated: 2025-07-24 15:49:46

Sirine ambulans melolong menembus malam, mengiris jalanan kota yang kini lengang. Elvario berada di kursi depan sebuah mobil hitam yang melaju tepat di belakang ambulans. Matanya lurus ke depan, tanpa emosi. Namun tangannya mengepal erat di pangkuan.

“Lebih cepat,” ucapnya singkat pada sopir yang segera menginjak gas lebih dalam.

Dalam pikirannya, ia telah menyusun puluhan kemungkinan. Syok adrenal bisa kambuh dalam dua fase. Jika perawatan awal tidak sesuai prosedur, Tuan Hakim bisa kolaps lagi sebelum tiba di ruang ICU.

Begitu mobilnya berhenti di depan IGD Rumah Sakit Medical, El segera turun. Pintu kaca otomatis terbuka, dan udara dingin khas rumah sakit menyambutnya. Tim medis sudah bergerak cepat, mendorong tandu menuju ruang perawatan intensif.

Namun langkah El terhenti sejenak.

Di lorong putih terang itu, berdiri seorang wanita muda berseragam dokter residen. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, seolah baru saja berlari menembus malam. Matanya membulat ketika meliha
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    92. Situasi apa ini?

    Alya berjalan mendekat ke arah Elvario dan Sanae dengan langkah yang mantap, namun tatapannya tajam seperti sedang mengukur setiap inci dari sosok di hadapannya. Di sisi lain, Azalea juga berjalan mendekat ke arah El dan Sanae, ekspresinya datar tapi matanya menyipit penuh kecurigaan. Sementara itu, dokter Keysha juga berjalan sedikit lebih lambat, kedua tangannya menyilang di depan dada, bibirnya membentuk garis tipis. Tatapan dari dua gadis itu, yaitu Alya dan Azalea terasa benar-benar menusuk. Seolah-olah mereka sedang berusaha “menguliti” El hidup-hidup hanya dengan pandangan mata. Bahkan Keysha yang biasanya lebih santai, kali ini terlihat sangat waspada. Menyadari atmosfer yang mulai terasa menekannya, Elvario segera melepaskan pelukan Sanae dengan gerakan cepat namun tidak kasar. Dia berdehem singkat, mencoba memecah ketegangan. Sanae, yang baru menyadari bahwa pelukannya tadi cukup lama, langsung menunduk dalam-dalam. Pipi gadis Jepang itu memerah, dan suaranya terden

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    91. Tamu?

    Elvario berdiri sejenak di depan cermin di ruang ganti, memastikan rambutnya sudah tertata dan wajahnya tidak lagi terlalu pucat. Sisa ketegangan operasi tadi mulai mereda, tapi bukan berarti pikirannya tenang, bayangan Alya yang bergelayut manja di lengannya tadi masih terasa seperti bekas panas yang sulit hilang.Ia menghela napas, mengunci loker, lalu mendorong pintu keluar. Suara langkah sepatunya bergema pelan di lorong, hingga matanya tertuju pada sosok yang duduk di kursi tunggu.Alya.Gadis itu masih di sini. Duduk dengan kaki bersilang, gaun birunya tampak memantulkan cahaya lampu rumah sakit. Rambut panjangnya jatuh di sisi wajah, dan begitu melihat El, bibirnya langsung merekah dalam senyum lebar. Senyum yang tidak hanya sekadar ramah, tapi ada rasa lega di sana, seperti seseorang yang akhirnya bisa bernapas setelah menahan diri terlalu lama.“Dokter El,” panggilnya, suaranya ringan namun menyiratkan kebahagiaan yang sulit ditutupi.El mendekat, langkahnya tenang, meskipun

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    90. Gadis bergaun biru

    Pintu ruang operasi terbuka, udara dingin dari lorong IGD menyambut langkah Elvario yang baru saja menanggalkan sarung tangan steril. Rasa lelah masih menempel di otot-otot tangannya, sisa ketegangan dari operasi barusan belum sepenuhnya hilang. Rambutnya sedikit basah oleh keringat yang terperangkap di bawah penutup kepala bedah, dan matanya masih menyisakan sorot tajam seorang dokter yang baru saja bertarung melawan kematian. Namun, pemandangan yang menyambutnya di depan membuatnya terhenti sesaat. Di sana, berdiri seorang gadis bergaun biru lembut yang tampak kontras dengan lorong rumah sakit yang putih dingin. Rambut panjangnya yang hitam berkilau jatuh di bahunya, mata indahnya langsung berbinar begitu melihat El. Wajahnya segar, namun menyimpan guratan lega, seolah baru saja melepaskan kekhawatiran yang ia tahan sejak lama. “Dokter El…” panggilnya pelan, tapi penuh emosi. Sebelum El sempat merespons, gadis itu—Alya—sudah melangkah cepat dan… bruk! memeluknya erat. Begi

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    89. Menyelamatkan nyawa

    Pintu ruang operasi terbuka lebar, suara alat monitor berpadu dengan hiruk-pikuk tim bedah yang bersiap. Bau khas antiseptik bercampur aroma besi darah segera memenuhi hidung Elvario begitu ia masuk. Tanpa jas putihnya, ia sudah mengenakan pakaian bedah steril, scrub hijau, masker, dan sarung tangan lateks yang menempel rapat di kulit. Di atas meja operasi, pasien laki-laki itu sudah terbaring, intubasi terpasang dengan ventilator yang memompa napasnya secara mekanis. Monitor jantung menunjukkan denyut yang lemah namun masih bertahan di angka 90-an, tekanan darah rendah 70/40, saturasi oksigen naik sedikit menjadi 90% setelah chest tube tadi terpasang. “Dokter, pasien sudah diberikan dua liter kristaloid dan satu kantong darah O negatif,” laporan seorang perawat anestesi, suaranya cepat namun terlatih. “Namun tekanan darah masih drop.” El mengangguk singkat, matanya fokus. Waktu mereka sempit. Setiap menit yang terbuang bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati. “Scalpel,

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    88. Pasien lagi

    Keesokan paginya, El sudah berangkat menuju rumah sakit. Ia menghela napas pelan, menatap gedung rumah sakit yang berdiri kokoh di depannya. Sudah hampir empat hari ia tidak berlarian untuk menolong pasien darurat di sana, dan sebaliknya, ia malah berbaring tak sadarkan diri di ranjang VIP. Ada rasa rindu yang aneh dalam hatinya, rasa rindu pada hiruk-pikuk IGD, pada aroma antiseptik, bahkan pada suara monitor yang berdengung tanpa henti. Begitu mobilnya memasuki gerbang rumah sakit, suara raungan sirene langsung memecah ketenangan pagi. Sebuah ambulans berbelok tajam ke arah IGD dengan lampu strobo merah-biru yang berkedip-kedip. Refleks, El memutar kemudi dan berhenti di dekat jalur darurat. Ia tak sempat memikirkan jas dokter yang masih terlipat rapi di kursi belakang karena kakinya sudah bergerak cepat turun dari mobil. Di depan, pintu belakang ambulans terbuka keras. Dua paramedis melompat turun, wajah mereka tegang, lalu menarik brankar beroda yang di atasnya terbari

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    87. Pelukan rindu

    “Sudah, jangan banyak bicara soal itu lagi. Yang penting sekarang kamu sudah sadar… dan sehat seperti biasa,” kata Tuan Saya, tapi nada suaranya menyimpan nada lega yang sulit disembunyikan. Ia lalu mendekat, menyelipkan satu tangannya di belakang punggung El, sementara tangan satunya menahan siku pemuda itu. Gerakannya hati-hati sekali, seakan El adalah barang rapuh yang mudah pecah. “Ayo, pelan-pelan. Jangan terburu-buru, nanti pusing,” ujarnya sambil membantu El duduk tegak. El menghembuskan napas pelan. Otot-otot punggungnya kaku, tapi ia mencoba untuk tidak menunjukkan kalau ia masih agak lemas. “Saya baik-baik saja, sungguh. Kalau terus diperlakukan seperti ini, saya bisa-bisa tambah malas bergerak,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Tuan Sujana hanya menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Kau ini memang keras kepala…” gumamnya, sebelum merogoh saku jasnya dan menekan nomor di ponselnya. “Masuk,” katanya singkat setelah sambungan diangkat. Tak lama, salah satu pengawal b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status