Perjalanan menuju rumah orang tuanya terasa begitu sunyi dan juga sangat lama. Ibu pemilik kedai itu duduk di jok belakang motor, menunjukkan arah sambil sesekali menatap punggung Elvario yang membisu. Ia tahu, pemuda itu sedang menahan sesuatu yang dalam—lebih dalam dari sekadar rindu.Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tampak sederhana. Dindingnya mulai kusam, dan halaman depannya dipenuhi tanaman liar yang tumbuh tanpa terurus. Tapi lampu di beranda menyala hangat, seakan masih ada secercah harapan di dalamnya.“Itu rumahnya. Ketuk saja pintunya, orang tuamu ada di dalam. Aku pamit ya, Nak,” ujar wanita tadi lembut. El mengangguk pelan. "Terima kasih karena sudah mengantarku, ya, Bu," ujar El, menunduk hormat. Wanita itu kemudian tersenyum kecil dan mengangguk. Ia melangkah meninggalkan El sendirian sembari menatap rumah yang didalamnya ada kedua orang tuanya.Ep lalu melangkah perlahan ke depan pintu.Ia mengangkat tangannya, hendak mengetuk… namun rag
Setelah menyelesaikan operasi darurat yang menegangkan, Elvario berjalan keluar dari ruang bedah dengan langkah tenang. Wajahnya tak menunjukkan lelah sedikit pun, meski bajunya bernoda darah dan sarung tangannya baru saja dilepas. Tatapannya tetap tajam, penuh perhitungan. Begitu kembali ke UGD, langkahnya terhenti. Di lorong yang lengang, seorang wanita berdiri membelakanginya. Rambut panjang bergelombang itu tampak familiar. Jas dokter yang melekat di tubuh rampingnya membingkai siluet yang pernah ada dalam hidup Elvario—seseorang yang seharusnya sudah lama ia kubur dalam ingatan. Wanita itu menoleh. Mata mereka bersirobok. Detik itu juga, dunia wanita itu seolah runtuh. "E-El...?" gumamnya lirih, tangan terangkat menutupi mulutnya. Tubuhnya mundur satu langkah, seakan menghadapi hantu dari masa lalu. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup liar. Wajahnya memucat seketika. Elvario tidak menunjukkan reaksi berarti. Ia hanya memandang datar, lalu mengalihkan tatapannya
Semua menoleh. Elvario sudah berdiri di sana, lengkap dengan sarung tangan dan mata setajam belati. Tatapannya menusuk ke arah Tama. Tama mencibir. “Kau lagi? Aku rasa seharusnya kau tahu tempatmu, Elvario. Kau mungkin baru, tapi semua orang di sini tahu siapa aku. Aku yang menyelamatkan pasien mati otak semalam. Kau sendiri melihat pasien itu tampak sehat pagi ini, kan?” Orang-orang saling pandang, tampak ragu. El tetap diam, ia berjalan mendekati layar monitor yang baru saja menampilkan hasil CT-scan. Kemudian, El menunjuk area temporal pasien. “Kalau kau melakukan kraniotomi dari parietal, pasien ini akan mati kehabisan darah dalam empat menit. Ini bukan hematoma subdural, tapi epidural hematoma dengan ruptur arteri meningea media. Titik perdarahannya jelas.” Tama menatap layar, lalu Elvario. “Aku tahu perbedaan antara epidural dan subdural. Jangan ajari aku soal anatomi dasar.” “Kalau kau tahu, mengapa kau ingin membedah dari sisi yang salah?” “Aku tidak salah!” bentak Tam
Tepat saat itu, dari ujung lorong terdengar suara datar dan tenang. “Lucu sekali. Bagaimana mungkin aku Anda? Padahal saya tidak melihat Anda di ruangan pasien semalam.” Semua menoleh. Elvario berdiri di sana, menyandarkan tubuh pada dinding dengan tangan bersilang. Sorot matanya tajam, nyaris menusuk. Tama mendongak, tubuhnya kaku. Wajahnya pucat. Jantungnya mencelos saat matanya menangkap sosok pria berjas putih yang berjalan mendekat. Tegap. Gagah. Dan... terasa sangat familiar. “Tidak mungkin...” desisnya, nyaris tanpa suara. Pria itu—dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk—berdiri di ambang pintu. Rambutnya hitam legam, rapi. Aura yang ia bawa seolah menekan atmosfer ruangan. Para perawat langsung memberi jalan tanpa sadar, seperti tunduk pada kekuatan tak kasat mata. Elvario berdiri tegak. Menatap pasien yang kini sadar, lalu matanya bergerak perlahan... menatap langsung ke arah Tama. Tatapan mereka bersirobok. Dan dunia seolah membeku. Tama mematung. Wajah itu...
Di sebuah rumah sakit di kota Samara, terjadi sebuah keajaiban yang membuat para dokter dan perawat geger.Bagaimana tidak—seorang pasien mati otak yang telah dinyatakan meninggal malam sebelumnya, tiba-tiba saja hidup kembali. Bahkan kini, pasien itu telah sadar sepenuhnya.“Bagaimana ini bisa terjadi?”“Tidak mungkin... ini pasti mimpi. Tolong cubit aku!”Keributan pun tak terelakkan. Semua merasa apa yang mereka lihat pagi ini bertentangan dengan logika medis.“Jangan-jangan... dia yang melakukannya,” gumam salah satu perawat, cukup lantang hingga didengar yang lain.“Siapa maksudmu?” tanya rekannya.“Kalian lupa? Semalam ada dokter baru yang datang—katanya ingin memeriksa jenazah pasien sebelum dibawa ke ruang pendingin. Apa mungkin... dia?”Para perawat saling pandang, tatapan mereka berubah gugup. Mereka memang mengingat pria itu. Dokter asing dengan wajah tenang dan sorot mata tajam yang muncul entah dari mana. Tapi... mungkinkah dia?“Jangan konyol! Pasien itu sudah mati otak.