Share

4. Bertemu masa lalu

Author: Cutegurl
last update Last Updated: 2025-05-19 12:08:47

Setelah menyelesaikan operasi darurat yang menegangkan, Elvario berjalan keluar dari ruang bedah dengan langkah tenang. Wajahnya tak menunjukkan lelah sedikit pun, meski bajunya bernoda darah dan sarung tangannya baru saja dilepas. Tatapannya tetap tajam, penuh perhitungan.

Begitu kembali ke UGD, langkahnya terhenti.

Di lorong yang lengang, seorang wanita berdiri membelakanginya. Rambut panjang bergelombang itu tampak familiar. Jas dokter yang melekat di tubuh rampingnya membingkai siluet yang pernah ada dalam hidup Elvario—seseorang yang seharusnya sudah lama ia kubur dalam ingatan.

Wanita itu menoleh.

Mata mereka bersirobok.

Detik itu juga, dunia wanita itu seolah runtuh.

"E-El...?" gumamnya lirih, tangan terangkat menutupi mulutnya. Tubuhnya mundur satu langkah, seakan menghadapi hantu dari masa lalu. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup liar. Wajahnya memucat seketika.

Elvario tidak menunjukkan reaksi berarti. Ia hanya memandang datar, lalu mengalihkan tatapannya ke arah lain, seolah wanita itu hanyalah udara yang lewat.

Namun wanita itu, Sara, tidak tinggal diam. Rasa takut, panik, dan ketidakpercayaan membuncah bersamaan.

"Kamu... kamu tidak mungkin dia, kan?" suaranya gemetar saat ia mendekat. Tatapannya tak bisa berpaling dari wajah El.

Elvario menaikkan alis sebelah, menatap wanita itu sejenak. Sorot matanya penuh ejekan.

‘Menjijikkan,’ batinnya dingin. Tak ada satu pun simpati yang tersisa.

Tepat saat ketegangan itu mencapai puncaknya, suara langkah berat terdengar mendekat.

"Tunggu... Sara!" suara Tama menggema di lorong.

Sara menoleh dengan mata membulat, jari telunjuknya masih mengarah ke El.

“Dia…” suaranya terputus, penuh ketakutan dan kebingungan.

Tama menghampiri mereka, lalu berdiri di sisi Sara. Ia menarik napas pendek dan memaksakan senyum profesional.

“Kenalkan,” katanya. “Dia Elvario, dokter spesialis bedah neurologi. Baru bergabung kemarin.”

Sara terdiam membeku, wajahnya pucat.

“Namanya sama,” gumamnya lirih. “Tapi… bukankah dia sudah mati?”

Suara Sara mungkin pelan, namun cukup jelas untuk didengar El dan Tama. El tetap melangkah tanpa menoleh, seolah tak peduli. Tapi Tama? Ia langsung panik.

Tanpa banyak bicara, Tama menarik lengan Sara dan menyeretnya menuju tangga darurat. Suara langkah mereka bergema di ruang sempit, diiringi napas Sara yang mulai memburu.

Begitu pintu tertutup, Tama menoleh tajam. “Apa yang baru saja kamu katakan?!” bentaknya dengan suara tertahan, matanya liar memeriksa sekitar. “Hati-hati! Jangan asal bicara di depan orang!”

Sara memegangi dada, tubuhnya gemetar. Aura percaya dirinya menguap, tergantikan oleh bayangan kelam yang kembali menghantui.

“Dia… dia…” Sara menggigit kuku jarinya. Matanya tampak panik, bibirnya bergetar. “Apa mungkin dia masih hidup waktu itu? Dan sekarang… sekarang dia kembali. Untuk membalas dendam pada kita?”

Tama menggeleng cepat. “Itu tidak mungkin! Kita—”

"Aku yakin itu dia, Tama!” sela Sara tajam. "Aku sudah mengenalnya selama bertahun-tahun! Aku tahu itu dia!"

Suara Sara meninggi. Kejadian malam itu masih teringat jelas dalam benaknya. Malam di mana ia dan Tama… mengkhianati seseorang yang mempercayai mereka.

Wajah Elvario, bersimbah darah. Napas terakhir yang tercekik. Sorot mata kecewa yang tak pernah bisa ia lupakan.

Sara memeluk dirinya sendiri. “Tama… dia masih hidup. Aku yakin itu dia. Itu El! Dia pasti kembali. Dia akan membalas dendam. Dia akan menghancurkan kita!”

Tama menghela napas berat. Jantungnya juga berdetak cepat. Bukan hanya karena ketakutan—tapi karena keyakinan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

Pria yang mereka racuni saat menjadi relawan medis di daerah konflik. Kini, pria itu kembali. Tak hanya hidup… tapi jauh lebih hebat dari sebelumnya.

Pada awalnya, Tama juga berpikir seperti Sara. Tapi, jikalau pun dia benar-benar El, orang yang sama dengan El yang dulu mereka racuni, mereka juga tidak bisa melakukan apapun, kecuali membuat rencana untuk menyingkirkannya lagi. Kali ini, benar-benar tersingkir. Benar-benar mati.

Dan di sudut gelap lorong itu, El berdiri diam. Tatapannya tajam menembus pintu tangga darurat, tempat Tama dan Sara tengah berbicara. Ia mendengar semuanya.

Tangan El terkepal erat, jemarinya bergetar menahan amarah. Dua orang itu... pikirnya. Dua wajah pengkhianat yang telah menguburnya hidup-hidup, yang telah menghancurkan hidupnya.

'Lihat saja... kalian akan membayar semuanya.'

Tanpa sepatah kata pun, El berbalik. Ia kembali ke ruang tindakan, menanggalkan sejenak emosinya dan mengenakan topeng profesionalnya. Masih ada pasien yang harus ia tangani—nyawa yang bergantung padanya.

Beberapa saat kemudian, Tama dan Sara menyusul ke UGD. Mereka bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Namun, Sara tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupannya. Jemarinya sedikit gemetar saat menyentuh peralatan medis, dan matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah El. Tapi El tak memedulikan mereka. Ia tak menunjukkan reaksi apa pun, dingin dan datar, seperti udara malam yang menusuk tulang.

Setelah shift berakhir, El melepas jas dokternya dan keluar dari rumah sakit. Ia menaiki motor matic bekas yang baru ia beli. Malam sudah turun, angin membawa aroma aspal dan kenangan pahit. Tapi El tetap melaju. Ada tempat yang ingin ia datangi, rumah masa kecilnya. Rumah orang tuanya.

Sudah beberapa waktu sejak ia kembali ke kota ini, namun ia belum sempat pulang. Ada terlalu banyak urusan yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.

Namun, saat tiba di depan rumah yang dulu menyimpan tawa dan kehangatan, El mendapati sesuatu yang tak ia duga.

Rumah itu… telah disegel. Tertutup rapat, dengan stempel bank di pintu pagar. Tak ada lampu yang menyala, tak ada suara kehidupan dari dalam. Halamannya penuh dengan rumput liar yang tumbuh dengan subur.

Kening El mengernyit. Napasnya tercekat.

Dengan cepat, ia menyeberang ke sebuah kedai kopi tua di seberang jalan. Ia ingat, tempat itu sering dikunjungi ibunya dulu. Ia berharap, ada yang tahu di mana orang tuanya sekarang.

Begitu melangkah masuk, lonceng kecil di atas pintu berdenting. Seorang wanita paruh baya yang tengah mengelap meja menoleh, lalu terdiam saat melihat wajah El. Wajahnya langsung berubah.

Kaget. Tak percaya. Emosional.

“Ya Tuhan… Elvario?” gumamnya, menutup mulut dengan tangannya. Matanya membelalak, nyaris tak berkedip. “Kamu… ke mana saja selama ini?”

Suara wanita itu gemetar. El terdiam, menunggu lanjutannya.

“Ibumu… dia sangat cemas. Dia hampir gila karena memcarimu. Dia tak pernah berhenti menangis. Setiap hari, selama berbulan-bulan. Sampai—” Wanita itu menahan napas. “Sampai matanya buta.”

Dunia El runtuh seketika. Seolah udara di ruangan itu mendadak lenyap. Tubuhnya kaku, tenggorokannya tercekat.

Ibu... buta? Karena menangis... karena aku?

Nyeri tajam menyayat dada El. Untuk sesaat, semua dendam yang menghangat dalam dirinya tergantikan oleh luka yang lebih dalam, yaitu rasa bersalah.

“Ayah dan ibumu sekarang tinggal di tempat lain. Mereka pindah setelah rumah ini disita.” Wanita itu melangkah mendekat. “Kalau kamu mau… aku bisa mengantarmu ke sana.”

El mengangguk pelan. Tanpa kata. Tak mampu berbicara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jamrud Khatulistiwa
lanjut......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    128. Kondisi buruk

    Ketika El tiba di lokasi kecelakaan terjadi, aroma dari besi, asap, dan darah yang anyir langsung menusuk indera penciumannya. Pemandangan di depannya saat ini membuat napas El langsung tercekat: ada sekitar sepuluh mobil berserakan tak karuan di jalanan, beberapa dari mobil itu ringsek parah hingga saling menindih. Dan ada juga dua mobil yang terlihat tergantung di bawah jurang, hanya tersangkut bebatuan dan pepohonan. Suara tangis yang menyayat hati, jeritan kesakitan, dan teriakan panik memenuhi udara di tempat itu. Sirene ambulan meraung-raung, lampu strobo merah-biru memantul liar di permukaan jalan. El bergegas turun dari dalam mobilnya. Seorang paramedis tampak berlari ke arahnya, wajahnya terlihat penuh dengan keringat. “Dokter El! Syukurlah Anda datang. Situasinya saat ini sangat kacau, ada terlalu banyak korban. Kami bahkan kekurangan tangan untuk menolong mereka yang terjepit.” El mengangguk cepat mendengar laporan itu. “Tunjukkan semua titik korban. Saya akan b

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    127. Kejadian tidak terduga berurutan

    “Pak! Pak, bangun!” teriak seorang wanita. El dan Azalea sontak menoleh. Seorang pria paruh baya tergeletak tak berdaya di lantai, tubuhnya kejang-kejang hebat. Mulutnya keluar busa, matanya mendelik ke atas. Kakinya menghentak-hentak keras ke lantai. Refleks dokter dalam diri El langsung aktif. Ia langsung bangkit dan berdiri, bahkan kursinya hampir saja terjatuh. “Kami adalah dokter!” serunya dengan suara keras. “Semuanya tolong mundur, beri kami ruang!” Azalea segera menyusul El, wajahnya langsung berubah serius. “Jangan pegang tubuhnya sembarangan! Jauhkan benda berbahaya dari sekitarnya!” Orang-orang yang mendengar kalau El dan Azalea adalah seorang dokter, segera menjauh dari sana dan memberikan jalan. El berlutut di sisi pria itu, matanya menilai dengan tajam, dan dalam sekali lihat, ia langsung mengetahui apa yang terjadi pada pria itu. Kejang epilepsi… grand mal. “Azalea, tolong ambilkan jaketku, gulung, dan taruh di bawah kepalanya agar tidak terbentur,” perintah E

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    126. Menikmati waktu

    Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamar El, menyentuh wajahnya yang masih lelah. Namun, janji yang ia buat pada Azalea kemarin, kembali menguatkan semangatnya. Hari ini, mereka sudah sepakat untuk pergi jalan-jalan bersama. Anggap saja sebagai kencan pertama mereka sejak menjadi sepasang kekasih. El kemudian bersiap dengan sederhana namun rapi, lalu menyalakan mobilnya dan menuju rumah Azalea. Sesampainya di sana, ia sempat berpikir untuk masuk dan menyapa orangtua kekasihnya itu sebagai bentuk sopan santunnya terhadap mereka. Tapi Azalea yang sudah menunggunya di teras rumah tersenyum sambil berkata lembut, “Orang tuaku sedang di luar kota, El. Jadi… hanya ada aku dan beberapa asisten rumah tangga.” El mengangguk pelan mendengar perkataan kekasihnya itu. Senyum samar muncul di wajahnya. “Kalau begitu, aku bisa menculikmu seharian penuh tanpa ada yang marah,” ucapnya, dengan setengah bercanda. Azalea tertawa kecil, matanya berkilat malu-malu saat men

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    125. Seorang ahli racun?

    Tawa rendah itu terdengar seperti gema yang bergulung-gulung, menimbulkan getaran halus di ruang hampa itu. Tabib terkutuk menundukkan wajahnya, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin ia ucapkan begitu saja. “Sorin Angkara…” Tabib Terkutuk bergumam pelan, matanya kemudian menyipit seolah mencoba menembus jarak dan waktu agar mengingat kembali memori yang tersimpan lama. “Nama itu terdengar tidak asing di telingaku. Meskipun aku sendiri belum pernah berjumpa langsung dengannya. Tapi, aku ingat… dulu aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh seorang musuh lamaku. Seorang Ahli Racun yang kejam, bernama Lesmana.” Elvario mendengarkan dengan tegang. Lesmana? Nama itu baru kali ini ia dengar, tapi dari nada gurunya, ia bisa merasakan kebencian mendalam yang tidak main-main. Mungkinkah dendam lama? “Ahli Racun?” ulang El pelan. Matanya menatap seperti sedang meminta penjelasan dari gurunya. Tabib terkutuk kemudian tersenyum tipis, matanya yang redup berkilat aneh. “Ya. D

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    124. Informasi mengejutkan

    Nama di layar membuat mata El menyipit. Panggilan itu ternyata dari salah satu orang kepercayaannya. Yaitu seorang informan bayangan yang ia tugaskan untuk menyelidiki sumber racun langka yang digunakan untuk menyerang Tuan Sujana beberapa waktu lalu. El mengangkat panggilan itu tanpa ragu. “Ya, ada apa, katakan,” ucap El singkat, suaranya terdengar dalam dan juga dingin. Di seberang sana, terdengar suara laki-laki dengan nada terengah, seolah baru saja menghindari sesuatu yang berbahaya. “Tuan Elvario… saya sudah menemukannya. Jejak pemasok racun itu.” El mengepalkan jemarinya di atas setir. Akhirnya, setelah beberapa lama ia hanya bisa menunggu, akhirnya sekarang dia bisa mengetahui siapa dalangnya. “Bicaralah dengan jelas. Siapa dia?” “Namanya… Sorin Angkara. Dia bukan orang yang biasa muncul di publik. Tidak banyak orang yang tahu soal keberadaannya. Tapi saya berhasil menemukan bahwa dia punya jaringan tersembunyi di wilayah perbatasan timur. Dia yang memasok rac

  • Dokter Jenius: Tangan Emas Sang Penyembuh    123. Tidak bisa menerima kenyataan

    Namun, bagi Alya, kata-kata itu adalah pisau tajam yang menusuk tanpa ampun. Ia menoleh perlahan, dan tatapannya jatuh pada Azalea. Sorot matanya penuh dengan emosi campur aduk, rasa kaget, sakit, marah, dan tidak rela. “Kamu…” suaranya parau, nyaris seperti bisikan. “Kamu benar-benar menjalin hubungan dengan Dokter El?” Mata Alya menatap Azalea dengan tajam. Seperti pisau yang siap melukainya kapan saja. Azalea bergeming. Ia tidak pernah menyangka harus berhadapan dengan tatapan setajam itu. Ada rasa bersalah yang samar, meski ia tahu ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Alya melangkah maju, suaranya meninggi, kini penuh emosi. “Azalea! Kamu tahu kan, aku sudah menyatakan perasaanku padanya lebih duku. Aku bahkan mengatakannya di depan ayahku! Kenapa kamu melakukan ini padaku, Dokter Azalea?” Rasa sakit yang teramat besar terlihat jelas dari mata Alya. Dia benar-benar syok dengan kebenaran yang baru saja diketahuinya. Alya melanjutkan kata-kata penuh amarahnya. “Dokter Azalea

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status