Semua orang langsung bergerak cepat mendengar suara El yang tegas. Tak ada satu pun yang berani bersuara, bahkan Direktur Rumah Sakit Medical hanya bisa mengangguk patuh, seolah nalurinya tahu—ini bukan saatnya bermain prosedur. Karena yang sedang terbaring kritis di ruang ICU itu bukan sembarang pasien.Itu adalah cucu dari Tuan Sujana, sosok tertinggi dalam daftar kekuasaan di kota ini. Bukan hanya donatur utama rumah sakit tersebut, tapi secara teknis—pemilik sebenarnya dari tempat ini. Setiap ubin, setiap alat medis, bahkan gaji beberapa kepala divisi... semua bisa saja menghilang dalam satu petikan jarinya.Dan sekarang, satu-satunya harapan hidup bagi cucu kecilnya... adalah dokter yang bukan spesialis jantung.Lampu ruang operasi menyala terang, menusuk pandangan siapa pun yang masuk. Suhu ruangan menurun beberapa derajat, namun tangan-tangan di dalamnya sibuk, bergerak cepat seperti orkestra tanpa musik. Setiap instrumen dikeluarkan. Setiap alat dicek ulang. Di tengah kekacau
Suasana di lobby rumah sakit masih diselimuti bisik-bisik dan ketegangan. Semua orang menunggu—siapa sosok yang dimaksud oleh Tuan Sujana? Siapa penyelamat cucunya?Langkah sepatu terdengar menggema di lantai rumah sakit.El maju ke depan, menyibak kerumunan dengan jas dokternya yang rapi dan pas membalut tubuhnya. Sikapnya tenang, tetapi aura dominannya langsung menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Ia tidak berjalan tergesa. Tidak pula mencoba menyembunyikan kehadirannya.Ia berhenti tiga langkah di depan Tuan Sujana.“Bagaimana kondisinya sekarang?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Suaranya rendah namun mengandung tekanan yang membuat orang lain menahan napas.Tuan Sujana mengerutkan alisnya.“Jantungnya sempat mengalami ventricular fibrillation akibat benturan. Apalagi, dia memang punya kelainan jantung bawaan, VSD. Kalau keterlambatan penanganan terjadi lebih dari lima menit, dia tidak akan bertahan,” lanjut El, tenang. “Tapi saya yakin, setelah pemasangan defibrillato
Kedua korban itu segera dilarikan ke rumah sakit. Sementara itu, pria mabuk yang mengemudi secara ugal-ugalan turut dibawa dengan pengawalan ketat dari pihak kepolisian.Polisi mulai meminta keterangan dari beberapa saksi mata di lokasi kejadian. Sedangkan El, setelah memastikan segalanya terkendali, memilih kembali ke kedai milik kedua orang tuanya untuk membantu melayani pelanggan."El, sebaiknya kamu bersiap berangkat kerja sekarang. Kamu seorang dokter—dan dokter harus tepat waktu serta bertanggung jawab terhadap pasiennya!"Suara ayahnya, Bambang, terdengar tegas namun penuh pengertian."Ayah yakin bisa mengurus semuanya?" tanya El ragu."Tentu saja. Lagipula, penglihatan ibumu juga mulai membaik. Jangan khawatir, kami bisa menghandle semua ini."El mengangguk, lalu menatap jam di pergelangan tangannya. Sif kerjanya hampir dimulai. Ia pun buru-buru pulang, mandi, berganti pakaian, dan mengendarai sepeda motornya menuju rumah sakit.Setibanya di sana, El langsung disambut dengan s
Setelah selesai mengobati mata ibunya, El disuruh beristirahat di kamar yang sudah disiapkan oleh kedua orang tuanya. Meski rumah itu sempit dan tua, kamar El tampak terawat. Seprei bersih, rak kayu di sudut ruangan, dan kipas kecil yang berderit pelan di langit-langit. El merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kasurnya tak seempuk kasur di rumah lamanya, tapi ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Namun saat memejamkan mata, bayang-bayang masa lalu itu menyeruak. Tama. Sara. Pengkhianatan mereka. Tangan El mengepal erat. Nafasnya terhenti sejenak. Kebencian itu mencuat lagi, begitu kuat hingga terasa menyesakkan dada. Tapi malam menuntutnya untuk tenang. Ia memaksakan diri tidur, agar esok tak menjadi lebih berat dari hari ini. ★ Keesokan harinya, suara riuh dari dapur dan depan rumah membangunkan El. Ia melirik ponselnya. Masih pukul 04.30 pagi. Langit masih gelap, tapi semangat pagi di rumah itu sudah menyala. El bangkit, lalu berjalan keluar kamar. “Ayah...” panggil El
Perjalanan menuju rumah orang tuanya terasa begitu sunyi dan juga sangat lama. Ibu pemilik kedai itu duduk di jok belakang motor, menunjukkan arah sambil sesekali menatap punggung Elvario yang membisu. Ia tahu, pemuda itu sedang menahan sesuatu yang dalam—lebih dalam dari sekadar rindu.Motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tampak sederhana. Dindingnya mulai kusam, dan halaman depannya dipenuhi tanaman liar yang tumbuh tanpa terurus. Tapi lampu di beranda menyala hangat, seakan masih ada secercah harapan di dalamnya.“Itu rumahnya. Ketuk saja pintunya, orang tuamu ada di dalam. Aku pamit ya, Nak,” ujar wanita tadi lembut. El mengangguk pelan. "Terima kasih karena sudah mengantarku, ya, Bu," ujar El, menunduk hormat. Wanita itu kemudian tersenyum kecil dan mengangguk. Ia melangkah meninggalkan El sendirian sembari menatap rumah yang didalamnya ada kedua orang tuanya.Ep lalu melangkah perlahan ke depan pintu.Ia mengangkat tangannya, hendak mengetuk… namun rag
Setelah menyelesaikan operasi darurat yang menegangkan, Elvario berjalan keluar dari ruang bedah dengan langkah tenang. Wajahnya tak menunjukkan lelah sedikit pun, meski bajunya bernoda darah dan sarung tangannya baru saja dilepas. Tatapannya tetap tajam, penuh perhitungan. Begitu kembali ke UGD, langkahnya terhenti. Di lorong yang lengang, seorang wanita berdiri membelakanginya. Rambut panjang bergelombang itu tampak familiar. Jas dokter yang melekat di tubuh rampingnya membingkai siluet yang pernah ada dalam hidup Elvario—seseorang yang seharusnya sudah lama ia kubur dalam ingatan. Wanita itu menoleh. Mata mereka bersirobok. Detik itu juga, dunia wanita itu seolah runtuh. "E-El...?" gumamnya lirih, tangan terangkat menutupi mulutnya. Tubuhnya mundur satu langkah, seakan menghadapi hantu dari masa lalu. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup liar. Wajahnya memucat seketika. Elvario tidak menunjukkan reaksi berarti. Ia hanya memandang datar, lalu mengalihkan tatapannya