LOGINMatahari mulai berpindah ke ufuk barat, membuat semburat senja yang sangat memanjakan mata untuk melihatnya. Naya turun dari ojek online dan masuk kembali ke rumahnya. Dia melihat mobil yang akhir-akhir ini sudah jarang dilihat jam segini di rumah. Naya melanjutkan langkahnya dan bertepatan dengan seorang wanita yang keluar dari dapur.
“Kamu sudah pulang, Nay?” tanya wanita itu. “Sudah, Ma. Mama kok tumben sudah pulang, Ma? Nggak terlalu sibuk?” balas Naya. “Nggak, Nay. Mama besok harus ke luar kota, kamu nggak papa sama Bi Ida di rumah? Papa masih belum pulang soalnya, Nay.” Mama Naya menanyakan kesediaan anaknya. “Nggak papa, Ma. Orang biasanya juga lebih sering sama Bi Ida daripada sama Mama atau Papa. Mama jaga kesehatan aja, Ma.” Naya menatap mamanya tanpa ekspresi. “Naya ke kamar dulu, Ma. See you,” lanjut Naya yang langsung melangkahkan kaki ke kamarnya. Di kamarnya, Naya hanya menaruh tas ke meja belajar dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap langit-langit kamar yang kosong, tapi seolah menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan. Beberapa kali Naya menghela napas yang terasa sesak di dadanya. “Buat apa punya anak, kalau selalu ditinggal? Sebenarnya aku anak Mama sama Papa, atau malah anak Bi Ida sih? Kok lebih sering Bi Ida nemenin aku daripada Mama sama Papa yang nemenin aku di rumah.” Naya bergumam pelan mencoba mengangkat rasa lelah di batinnya. Naya mengatur emosinya sendiri. Dia tidak ingin terlalu larut akan rasa sendirinya. Jika kedua orang tuanya bisa melakukan apa pun, seolah Naya bukan hal yang terlalu penting, lalu mengapa dia harus larut dalam kesendirian yang memang terasa sedikit berat. Itu yang selalu ada di pikiran Naya. Perlahan, Naya bangkit dan memilih untuk membersihkan dirinya. Dia masuk ke kamar mandi dan menjalani rutinitasnya. Setelah mandi, Naya langsung menjatuhkan kembali tubuhnya ke kasur. Seolah tubuhnya sudah sangat bersahabat dengan sebuah benda bernama kasur itu. Matanya terpejam hingga tanpa sadar terlelap begitu saja. *** Sebuah mobil masuk sebuah halaman rumah yang cukup mewah. Belum juga mesin mobil berhenti, terdengar suara teriakan membuat pengemudi keluar dari mobil dan segera mematikan mesin mobilnya. Terlihat anak kecil sedang berada dalam gendongan seorang wanita yang berdiri di ambang pintu. “Ayah!” Anak itu berteriak kembali saat melihat pengemudi yang keluar dari mobilnya. Ardi berjalan mendekat dan menggendong anaknya itu. Anak itu memeluk erat leher ayahnya dan mengecup pipi ayahnya bertubi-tubi. Ardi pun membalas kecupan anaknya di pipi gembul anak kesayangannya itu. “Mbak, Ibu di mana?” tanya Ardi pada wanita yang tadi menemani anaknya. “Ibu tadi pamit keluar dulu, Pak. Ada urusan sebentar aja katanya, Pak.” Wanita itu menjelaskan dengan sopan. Ardi pun hanya menganggukkan kepalanya dan menghabiskan waktu bersama dengan anaknya. “Daffara, kita ke kamar Ayah, ya. Ayah mau mandi dulu, kamu tunggu di kamar, oke?” Ardi memperhatikan anaknya yang minta mengambil miniatur dinausaurusnya. Anak itu menganggukkan kepalanya dan kembali ke gendongan Ardi. Ardi membawa anaknya dalam gendongannya dan segera masuk ke kamarnya. Dia menaruh anaknya di tempat tidur dan meninggalkannya sebentar. Ardi masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah selesai mandi, Ardi langsung menemani anaknya bermain kembali sambil menunggu istrinya pulang. Ardi mendengarkan celoteh anaknya yang memang suka bercerita padanya apa saja yang dilakukan. Sungguh sosok ayah yang baik untuk Daffara. Ardi sendiri sangat menikmati waktunya saat bersama dengan anaknya itu. *** Latihan sore dilakukan seperti biasa, tapi Naya seperti kehilangan semangat dan duduk di tepi lapangan memperhatikan teman-teman tim cowok yang sudah asyik berlatih. Beberapa kali Naya menghela napas panjang seolah sedang merasa berat. Naya berdiri setelah mengganti sepatunya. Naya berdiri di samping Ardi yang memperhatikan permainan beberapa gadis yang tergabung dalam tim basket putri. Ardi menyadari keberadaan Naya yang ada di sampingnya bersiap untuk menggantikan temannya yang kelelahan. Ardi menoleh dan menatap wajah Naya yang terlihat lebih lesu dari biasanya. “Kamu nggak papa, Nay? Apa kamu mau libur latihan dulu? Wajahmu seperti tidak sedang dalam kondisi baik.” Ardi sebagai pelatih dan pembina terlihat khawatir dengan Naya yang tidak terlihat seperti biasanya. “Tidak papa, Pak. Saya baik-baik saja kok.” Naya memberikan senyum terbaiknya. Ardi menganggukkan kepala dan memberikan isyarat untuk pergantian pemain. Naya masuk dan berlatih seperti biasanya. Latihan hari itu terlihat sangat berat untuk Naya, tapi gadis itu berhasil menyelesaikannya dan mencetak beberapa poin selama permainannya. Semua duduk di tepi lapangan dan mendengarkan arahan dari Ardi. Naya hanya duduk di ujung dan meluruskan kakinya. Setelah selesai pengarahan, satu persatu pamit pulang terlebih dahulu. Naya mengganti sepatunya lagi dan memasukkannya di tas. “Naya, saya ingin berbicara denganmu sebentar, bisa?” tanya Ardi yang berdiri di belakang Naya yang sedang memasukkan sepatunya. Naya menganggukkan kepala dan menunggu pelatih sekaligus kepala sekolahnya itu berbicara dengannya. “Ada apa, Pak?” tanya Naya yang berdiri di hadapan Ardi. “Permainan kamu hari ini tidak seperti biasanya, Nay. Kamu sangat berantakan dan seperti tidak fokus pada bola, kamu sedang ada masalah?” tanya Ardi yang memperhatikan Naya. “Saya minta maaf, Pak. Saya akan perbaiki lagi di pertemuan selanjutnya dan saya janji tidak akan seperti ini saat pertandingan.” Naya menundukkan kepalanya di depan Ardi. “Duduk dulu, Nay. Saya tidak ingin terlihat menghakimimu seperti ini.” Ardi duduk terlebih dahulu dan mengajak Naya untuk duduk bersama dengannya. Gadis itu masih menundukkan kepalanya, meski dia mau duduk bersama dengan Ardi untuk membicarakan masalahnya. “Jadi, kamu kenapa, Nay? Tidak biasanya kamu seperti ini. Tim kita sangat membutuhkanmu juga, Nay. Kamu bisa bercerita dengan saya. Saya janji tidak akan ada yang mengetahui masalahmu, Nay. Saya janji!” lanjut Ardi. “Saya merasa sendirian aja, Pak. Saya terlalu ingin dilihat oleh orang tua saya, tapi mereka sama sekali tidak pernah melihat saya. Saya—” Naya tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Gadis itu menangis dan menenggelamkan wajahnya di lututnya. Ardi sangat tidak tega melihat Naya yang terpuruk seperti ini karena kedua orang tuanya. Tanpa sadar, tangan Ardi bergerak membelai rambut Naya memberikan ketenangan untuk Naya yang memang sedang terjatuh pada dirinya sendiri “Saya bisa tahu perasaanmu, Nay. Kamu tidak perlu menahannya, kalau kamu ingin menceritakan dan membutuhkan orang untuk mendengarkanmu, kamu bisa menghubungi saya. Saya juga orang tuamu di sini, Nay. Saya akan menemanimu dan mendengarkanmu, saat kamu butuh, Nay.” Ardi mengeluarkan kalimat pendukungnya. “Terima kasih, Pak. Saya pasti bisa melakukan semuanya sendiri. Saya izin segera pulang, ya, Pak. Saya tidak ingin Bi Ida akan menunggu lama di rumah.” Naya pamit dan melihat Ardi yang menganggukkan kepalanya. Ardi menatap kepergian Naya yang berjalan meninggalkan lapangan. Punggung Naya perlahan pergi dari hadapan Ardi yang masih duduk di tepi lapangan. Pria itu masih terus memperhatikan Naya yang menjauh dan menghilang di keramaian jalan raya. “Ternyata dia tidak seceria itu hatinya.” **Latihan dengan jadwal yang baru membuat Naya masih berada di lapangan kampus saat hari minggu seperti ini. Naya mengambil minumnya saat dia diganti dengan temannya. Dia menghabiskan minumnya dan duduk di tepi lapangan.Ardi melihat Naya yang mengatur napasnya. Naya duduk memperhatikan teman-temannya yang sedang bermain. Dia menyemangati teman-temannya. Teriakan Naya berhenti saat Ardi tiba-tiba menaruh air mineral di pangkuannya.“Minum aja lagi.” Ardi mengatakannya pelan dan meninggalkan Naya yang masih duduk tertegun.Naya menerimanya dan minum lagi karena dahaganya masih terasa. Ardi tersenyum samar melihat Naya minum air yang dia berikan. Ardi pun kembali fokus pada permainan para mahasiswanya yang sedang berlatih. Naya sangat menyadari apa yang dilakukan Ardi selama ini padanya. Pria itu terlihat sangat memperhatikan dirinya. Naya yang tidak pernah mendapatkan perhatian penuh dari seorang ayah, jadi merasa bahagia dengan perhatian Ardi, meski hanya hal kecil seperti memberinya m
Kedekatan antara Naya dan Ardi semakin terlihat saat Naya terpilih menjadi ketua UKM basket. Bahkan Naya mulai terlihat dekat dengan banyak orang lain. Seperti saat ini, Naya duduk bersama dengan Ardi dan wakil ketua UKM basket, Rangga Baskhara yang sedang membicarakan persiapan untuk pertandingan selanjutnya antar sekolah. Naya mendengarkan Rangga yang membicarakan keinginan para cowok yang sangat ingin bertanding dan mencoba di pertandingan dengan tingkat yang lebih luas. Ardi yang mendengar hal itu. Ambisi mereka untuk berkembang memang patut diacungi jempol, tapi Ardi perlu waktu untuk melihat kemampuan mereka. “Kita pasti bisa kok, Pak. Rangga dan anak-anak yang lain, pasti bisa memberikan yang terbaik untuk nama baik kampus, meski tidak menang, tapi tidak akan kalah dengan cara yang buruk, Pak.” Naya mendukung keinginan teman-temannya. “Oke, tapi kalian juga harus bertanggungjawab dengan pilihan kalian. Kalian harus latihan lebih keras untuk membuktikan kekuatan kalian. Bisa
Setelah melihat Naya bisa sangat terpuruk, Ardi jadi lebih memperhatikan permainan Naya di setiap latihan. Bahkan dia juga tidak jarang mengajak Naya berbicara setelah latihan untuk menyadarkan anak itu, bahwa banyak yang sangat memperhatikannya. Seperti hari ini, Naya masih duduk di tepi lapangan saat Ardi melarangnya pulang terlebih dahulu.Naya hanya menunggu Ardi menyuruh beberapa anak cowok untuk mengembalikan bola ke ruang olahraga. Gadis itu duduk dan menendang angin menunggu Ardi kembali. Tidak lama setelah itu Ardi kembali bersama dengan anak-anak yang membantunya. Setelah anak-anak itu pamit pulang, Ardi berdiri di depan Naya yang langsung mendongak menatap pelatihnya itu. “Saya suka permainan kamu hari ini, Nay. Kamu jauh lebih baik dari sebelumnya.” Ardi memuji permainan Naya. “Tapi saya tidak mencetak poin sama sekali, Pak. Selalu gagal saat mencetak poin karena—”“Itu bukan karena kamu berantakan, tapi karena kalian semua permainannya bagus dan benar-benar all out untu
Matahari mulai berpindah ke ufuk barat, membuat semburat senja yang sangat memanjakan mata untuk melihatnya. Naya turun dari ojek online dan masuk kembali ke rumahnya. Dia melihat mobil yang akhir-akhir ini sudah jarang dilihat jam segini di rumah. Naya melanjutkan langkahnya dan bertepatan dengan seorang wanita yang keluar dari dapur. “Kamu sudah pulang, Nay?” tanya wanita itu.“Sudah, Ma. Mama kok tumben sudah pulang, Ma? Nggak terlalu sibuk?” balas Naya.“Nggak, Nay. Mama besok harus ke luar kota, kamu nggak papa sama Bi Ida di rumah? Papa masih belum pulang soalnya, Nay.” Mama Naya menanyakan kesediaan anaknya. “Nggak papa, Ma. Orang biasanya juga lebih sering sama Bi Ida daripada sama Mama atau Papa. Mama jaga kesehatan aja, Ma.” Naya menatap mamanya tanpa ekspresi. “Naya ke kamar dulu, Ma. See you,” lanjut Naya yang langsung melangkahkan kaki ke kamarnya. Di kamarnya, Naya hanya menaruh tas ke meja belajar dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap langit-langit kamar yan
Pertandingan basket sedang berlangsung. Waktu terus bergulir dan di waktu terakhir, Naya mengangkat kedua tangannya memberi kode kepada temannya. Naya menerima bola tersebut dan memantau sekelilingnya. Naya melempar bola ke ring dan berusaha membuat poin di akhir pertandingan. “Three point!” Suara dari para penonton dan sebuah peluit berbunyi pertanda akhirnya pertandingan. Naya berlari berpelukan bersama dengan teman-temannya yang merayakan di tengah lapangan. Saat berpindah ke tepi lapangan, Naya bersalaman juga dengan kepala sekolah yang juga pembina ekstrakurikuler basket. “Selamat Naya, kamu menyelamat kita dari ketertinggalan poin, bahkan memberikan lebih dua poin. Saya hanya berharap seri aja tadi, karena kalian sudah kelelahan di lapangan tadi.” Pria itu menepuk bahu Naya dan mengucapkan selamat pada gadis yang berhasil mencetak tiga poin di ujung pertandingan. “Terima kasih, Pak Ardi. Itu juga karena Bapak yang melatih kami dengan sabar dan selalu menyemangati kami,” ba