LOGINSetelah melihat Naya bisa sangat terpuruk, Ardi jadi lebih memperhatikan permainan Naya di setiap latihan. Bahkan dia juga tidak jarang mengajak Naya berbicara setelah latihan untuk menyadarkan anak itu, bahwa banyak yang sangat memperhatikannya. Seperti hari ini, Naya masih duduk di tepi lapangan saat Ardi melarangnya pulang terlebih dahulu.
Naya hanya menunggu Ardi menyuruh beberapa anak cowok untuk mengembalikan bola ke ruang olahraga. Gadis itu duduk dan menendang angin menunggu Ardi kembali. Tidak lama setelah itu Ardi kembali bersama dengan anak-anak yang membantunya. Setelah anak-anak itu pamit pulang, Ardi berdiri di depan Naya yang langsung mendongak menatap pelatihnya itu. “Saya suka permainan kamu hari ini, Nay. Kamu jauh lebih baik dari sebelumnya.” Ardi memuji permainan Naya. “Tapi saya tidak mencetak poin sama sekali, Pak. Selalu gagal saat mencetak poin karena—” “Itu bukan karena kamu berantakan, tapi karena kalian semua permainannya bagus dan benar-benar all out untuk latihan ini. Jadi, teman-temanmu bisa menghadangmu untuk membuat poin, tapi kamu berhasil membantu teman satu tim untuk membuat poin dengan mengecoh lawan, Nay. Itu yang sangat bagus, ini bukan permainan ego harus menjadi MVP, tapi berkelompok, Nay. Kamu bisa melakukan itu dan membuktikan bahwa kerja sama kamu itu sangat baik.” Ardi memotong kalimat Naya yang penuh ego dan terkesan merendahkan dirinya sendiri. “Pak, selama ini ambisi saya hanya untuk menang dan menjadi MVP, ternyata saya salah. Kerja sama tim jauh lebih penting daripada ego saya sendiri. Saya bahkan tidak pernah menyadari kapan permainan saya bagus dan jelek, karena di mata saya, selama saya bisa mencetak poin, artinya saya baik-baik saja, Pak. Ternyata semua itu yang membuat saya denial dengan permainan saya sendiri.” Naya menatap Ardi yang kini mulai duduk di sampingnya. “Tidak salah juga, Nay. Saya juga sebelumnya seperti itu, Nay. Asal sekarang, kamu sudah tahu mana yang baik, jadi kamu perbaiki semuanya, Nay.” Ardi menganggukkan kepalanya mampu mengerti apa yang Naya rasakan. “Iya, Pak. Saya akan mencoba untuk menurunkan ego saya, Pak.” Naya tersenyum dan merasa memiliki banyak masukan dari pembinanya. “Kalau begitu, kali ini saya antar pulang, Nay. Ini sudah petang banget, Nay.” Ardi berdiri kembali dan mengajak Naya untuk pulang bersama dengannya. “Tapi rumah saya agak jauh, Pak. Bapak juga kayaknya enggak tahu rumah saya, Pak.” Naya melihat Ardi dengan wajah herannya. “Nggak papa, Nay. Kamu bisa kasih tahu saya kan, rumah kamu di mana.” Ardi dengan santai mengatakannya. Naya pun menganggukkan kepalanya dan berdiri mengikuti Ardi yang menunggu dirinya. Naya memasang tasnya ke bahu dan melihat Ardi yang berjalan ke arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari lapangan. Naya pun mengikuti langkah Ardi berjalan menuju ke mobilnya. Ardi menyuruh Naya untuk segera masuk ke mobil. Naya melakukannya dan duduk di bangku belakang. Ardi mengerutkan dahi dan menoleh ke arah Naya yang ada di belakang. “Nay, saya bukan supir. Kamu maju sini di depan.” Ardi memprotes Naya yang tiba-tiba duduk di belakang. “Tapi saya nggak enak, kalau duduk di depan sama Bapak.” Naya mengatakannya dengan jujur. “Pindah, Nay!” Ardi mengatakannya dengan sedikit lebih tegas membuat Naya hanya menganggukkan kepalanya dan pindah ke depan di samping pengemudi. Ardi menjalankan mobilnya saat Naya sudah selesai memasang sabuk pengamannya. Naya memberitahu alamat tempat tinggalnya. Ardi pun mengemudikan mobilnya ke arah di mana rumah Naya berada. Saat sampai di depan sebuah kompleks perumahan, Naya meminta Ardi untuk berhenti. Dia melepaskan sabuk pengaman membuat Ardi menatap gadis itu heran. Naya bergerak membuka pintu mobil dan melihat Ardi yang terlihat menunggu penjelasannya. “Saya turun sini aja, Pak. Nggak nyaman, kalau Bapak antar sampai depan rumah, Pak.” Naya mengatakan dengan jujur apa yang dirasakan dirinya. “Oke, saya tunggu sini. Kalau sudah sampai tolong kirim pesan ke saya. Saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay.” Ardi menganggukkan kepalanya paham akan perasaan Naya yang segan akan keberadaannya. “Iya, Pak. Itu terasa lebih baik. Kalau begitu, saya pulang terlebih dahulu. Rumah saya sudah tidak jauh kok, Pak.” Naya tersenyum dan menutup kembali pintu mobil Ardi dan meninggalkannya. Ardi masih berdiam di tempatnya dan memperhatikan Naya yang berjalan masuk ke kompleks perumahan tersebut. Dia memperhatikan punggung Naya yang berjalan menjauh, bahkan saat hilang di sebuah gang, Ardi masih menunggu di tempatnya. Bedanya, kini dia menatap layar gelap di ponselnya yang masih terkunci. Tidak lama setelah itu, sebuah notifikasi masuk ke ponsel Ardi dan nama Naya terpampang jelas dalam layar ponsel tersebut. [Naya] [Permisi, Pak. Cuma mau bilang, kalau saya sudah sampai di rumah dengan selamat. Terima kasih atas tumpangannya, Pak Ardi. Semoga selamat sampai rumah juga, Pak.] Pesan singkat itu segera Ardi balas dengan sewajarnya dan tanpa banyak menunggu, Ardi langsung menjalankan mobilnya meninggalkan kompleks perumahan Naya. Sepanjang jalan, Ardi masih terus mengingat kedamaian Naya yang duduk di sampingnya dan memberitahu arah untuk menuju ke area rumah tempat tinggalnya. Aroma parfum Naya pun masih terasa tertinggal di mobil Ardi. “Gadis cantik, pintar dan berbakat seperti itu harus bertengkar dengan ego untuk memuaskan semua orang.” *** Tidak berbeda jauh dengan Ardi, Naya juga menatap ponselnya dengan wajah penuh tanda tanya. Setelah mendapat balasan dari Ardi yang memang sewajarnya manusia, Naya menaruh ponselnya ke meja belajar dan masuk ke kamar mandi. Di kepalanya terus berputar wejangan dan sikap Ardi yang sangat memperhatikan dirinya. “Pak Ardi baik banget, apa karena dia tahu kalau aku sempat menangis di depannya itu atau memang dia sebenarnya baik aja dan care sama semua mahasiswanya.” Naya bergumam pada dirinya sendiri di bawah guyuran shower yang membasahi dirinya. “Iyalah dia hanya care sama semua mahasiswanya, kamu aja yang terlalu percaya diri, Nay.” Naya menggelengkan kepalanya dan percaya bahwa dirinya hanya terlalu percaya diri dengan apa yang terjadi. Dia pun memilih untuk menyelesaikan ritual mandinya dan segera kembali ke kamar. Naya duduk di meja belajar dan mengeluarkan bukunya untuk belajar. Naya fokus mengerjakan tugasnya. Namun, tiba-tiba bayangan Ardi yang bersikap terlalu baik padanya masuk ke kepalanya. “Tampan, baik, pasti ayah idaman banget buat anaknya. Kan Sari bilang waktu makan-makan bareng anak basket sampai ajak keluarganya. Benar-benar kepala keluarga yang baik, sepertinya.” Naya kembali menggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan bayangan Ardi yang masuk tanpa permisi di kepalanya. Namun, bayangan itu malah leluasa memutar semua momen bersama dengan Ardi yang terkesan sangat perhatian pada Naya dan membuat gadis itu merasakan hal yang aneh dalam dadanya. “Hanya kangen sosok ayah, bukan hal yang penting.” **Latihan dengan jadwal yang baru membuat Naya masih berada di lapangan kampus saat hari minggu seperti ini. Naya mengambil minumnya saat dia diganti dengan temannya. Dia menghabiskan minumnya dan duduk di tepi lapangan.Ardi melihat Naya yang mengatur napasnya. Naya duduk memperhatikan teman-temannya yang sedang bermain. Dia menyemangati teman-temannya. Teriakan Naya berhenti saat Ardi tiba-tiba menaruh air mineral di pangkuannya.“Minum aja lagi.” Ardi mengatakannya pelan dan meninggalkan Naya yang masih duduk tertegun.Naya menerimanya dan minum lagi karena dahaganya masih terasa. Ardi tersenyum samar melihat Naya minum air yang dia berikan. Ardi pun kembali fokus pada permainan para mahasiswanya yang sedang berlatih. Naya sangat menyadari apa yang dilakukan Ardi selama ini padanya. Pria itu terlihat sangat memperhatikan dirinya. Naya yang tidak pernah mendapatkan perhatian penuh dari seorang ayah, jadi merasa bahagia dengan perhatian Ardi, meski hanya hal kecil seperti memberinya m
Kedekatan antara Naya dan Ardi semakin terlihat saat Naya terpilih menjadi ketua UKM basket. Bahkan Naya mulai terlihat dekat dengan banyak orang lain. Seperti saat ini, Naya duduk bersama dengan Ardi dan wakil ketua UKM basket, Rangga Baskhara yang sedang membicarakan persiapan untuk pertandingan selanjutnya antar sekolah. Naya mendengarkan Rangga yang membicarakan keinginan para cowok yang sangat ingin bertanding dan mencoba di pertandingan dengan tingkat yang lebih luas. Ardi yang mendengar hal itu. Ambisi mereka untuk berkembang memang patut diacungi jempol, tapi Ardi perlu waktu untuk melihat kemampuan mereka. “Kita pasti bisa kok, Pak. Rangga dan anak-anak yang lain, pasti bisa memberikan yang terbaik untuk nama baik kampus, meski tidak menang, tapi tidak akan kalah dengan cara yang buruk, Pak.” Naya mendukung keinginan teman-temannya. “Oke, tapi kalian juga harus bertanggungjawab dengan pilihan kalian. Kalian harus latihan lebih keras untuk membuktikan kekuatan kalian. Bisa
Setelah melihat Naya bisa sangat terpuruk, Ardi jadi lebih memperhatikan permainan Naya di setiap latihan. Bahkan dia juga tidak jarang mengajak Naya berbicara setelah latihan untuk menyadarkan anak itu, bahwa banyak yang sangat memperhatikannya. Seperti hari ini, Naya masih duduk di tepi lapangan saat Ardi melarangnya pulang terlebih dahulu.Naya hanya menunggu Ardi menyuruh beberapa anak cowok untuk mengembalikan bola ke ruang olahraga. Gadis itu duduk dan menendang angin menunggu Ardi kembali. Tidak lama setelah itu Ardi kembali bersama dengan anak-anak yang membantunya. Setelah anak-anak itu pamit pulang, Ardi berdiri di depan Naya yang langsung mendongak menatap pelatihnya itu. “Saya suka permainan kamu hari ini, Nay. Kamu jauh lebih baik dari sebelumnya.” Ardi memuji permainan Naya. “Tapi saya tidak mencetak poin sama sekali, Pak. Selalu gagal saat mencetak poin karena—”“Itu bukan karena kamu berantakan, tapi karena kalian semua permainannya bagus dan benar-benar all out untu
Matahari mulai berpindah ke ufuk barat, membuat semburat senja yang sangat memanjakan mata untuk melihatnya. Naya turun dari ojek online dan masuk kembali ke rumahnya. Dia melihat mobil yang akhir-akhir ini sudah jarang dilihat jam segini di rumah. Naya melanjutkan langkahnya dan bertepatan dengan seorang wanita yang keluar dari dapur. “Kamu sudah pulang, Nay?” tanya wanita itu.“Sudah, Ma. Mama kok tumben sudah pulang, Ma? Nggak terlalu sibuk?” balas Naya.“Nggak, Nay. Mama besok harus ke luar kota, kamu nggak papa sama Bi Ida di rumah? Papa masih belum pulang soalnya, Nay.” Mama Naya menanyakan kesediaan anaknya. “Nggak papa, Ma. Orang biasanya juga lebih sering sama Bi Ida daripada sama Mama atau Papa. Mama jaga kesehatan aja, Ma.” Naya menatap mamanya tanpa ekspresi. “Naya ke kamar dulu, Ma. See you,” lanjut Naya yang langsung melangkahkan kaki ke kamarnya. Di kamarnya, Naya hanya menaruh tas ke meja belajar dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap langit-langit kamar yan
Pertandingan basket sedang berlangsung. Waktu terus bergulir dan di waktu terakhir, Naya mengangkat kedua tangannya memberi kode kepada temannya. Naya menerima bola tersebut dan memantau sekelilingnya. Naya melempar bola ke ring dan berusaha membuat poin di akhir pertandingan. “Three point!” Suara dari para penonton dan sebuah peluit berbunyi pertanda akhirnya pertandingan. Naya berlari berpelukan bersama dengan teman-temannya yang merayakan di tengah lapangan. Saat berpindah ke tepi lapangan, Naya bersalaman juga dengan kepala sekolah yang juga pembina ekstrakurikuler basket. “Selamat Naya, kamu menyelamat kita dari ketertinggalan poin, bahkan memberikan lebih dua poin. Saya hanya berharap seri aja tadi, karena kalian sudah kelelahan di lapangan tadi.” Pria itu menepuk bahu Naya dan mengucapkan selamat pada gadis yang berhasil mencetak tiga poin di ujung pertandingan. “Terima kasih, Pak Ardi. Itu juga karena Bapak yang melatih kami dengan sabar dan selalu menyemangati kami,” ba







