”Kenapa? Papah kaget aku bisa kenal sama anak selingkuhan Papah? Dia teman sekelasku Pah, enggak nyangka kan?” Rafa kembali menyeringai. Dewi mulai mengusap lembut pundak putranya, berharap itu mampu meredam amarah putranya, namun sayang Rafa justru semakin menantang. Dia melangkah maju, membusungkan dadanya, lalu menatap tajam ke arahku.
“Sekali saja Papah bikin Mamah nangis, jangankan Arumi, Ibunya sekali pun, aku berani!”“Kamu tahu enggak kelakuan kamu, bisa bikin kamu masuk penjara!”“Aku enggak peduli!”“Kamu pikir enak di penjara? Masa depan kamu bisa hancur!”“HIDUP AKU UDAH HANCUR PAH! HANCUR!”Dewi lantas menarik Rafa dengan sedikit paksa. Dia mendekap erat bocah laki-laki itu. Meski sedikit berontak Dewi berhasil menarik Rafa ke kamar. Sekarang masalahnya tak hanya Rafa. Arumi yang baru saja dipukuli, harus segera ditangani. Apa lagi sejak tadi Eiden tak henti melakukan panggilan telepon.Terdengar suara handle pintu yang terbuka, tampak Dewi keluar dari balik kamar. Panadangannya lurus ke arahku.“Apa yang mau kamu lakukan?”“Aku harus pergi Wi, anak kita baru aja mukulin anak orang, untung yang dia anak...”“Anak selingkuhanmu?”Haruskah kamu perjelas lagi.“Jangan pergi!”“Enggak bisa gitu dong Wi, kita harus tanggung jawab.”“Apa pun alasanmu aku minta tetap tinggal.”“Bagaimana kalau dia bawa kasus ini ke ranah hukum?”“Dia gundikmu, mana mungkin dia menyusahkanmu!”Aku tak suka saat kamu memanggilnya dengan panggilan itu.“Kamu enggak suka dengan panggilan gundik.”“Aku tetap harus pergi.”Aku beranjak untuk menyusul Eiden di klinik tetapi hanya beberapa langkah sudah terhenti.“Jadi kamu lebih memilih anak selingkuhanmu?”“Terserah, kamu mau bilang apa, aku cuma mau pergi buat tanggung jawab, kalau aja kamu pintar mendidik anak, semuanya enggak akan terjadi.”“Jadi semua salahku?”“Ya.”“Aku harap kamu enggak akan menyesal Mas, pergi! Pergi semau kamu!”Saat itu aku mulai goyah, harus pergi atau tetap tinggal, apa lagi melihat aksi Rafa barusan, jujur saja hatiku mulai tergerak, untuk berpikir kalau yang dia katakan memang benar. Aku hanya tak mau disalahkan, meski di lubuk hati aku pun menyadari semua karena tabiat burukku di luar sana. Mana pernah aku tahu kalau Arumi berbagi kelas yang sama dengan Rafa. Pantas saja dia begitu keras.Aku tetap meneruskan tekatku untuk pergi ke klinik. Meninggalkan Dewi yang aku yakin dia masih menatapku.Eiden berhambur memelukku, sedang Arumi bocah itu tampak lebam di kedua pipinya. Entah bagaimana Rafa menamparnya. Kurasa ini sudah tak bisa dibiarkan. Setelah pengobatannya selesai, aku sempatkan mengantar mereka pulang. Eiden memintaku untuk tinggal. Tak mungkin kuiyakan ajakannya. Bagaimana kalau ketahuan warga? Kami ini bukan pasangan yang sah.“Bagaimana kalau anakmu ke sini lagi? Dia bahkan berani mengancam akan memukulku juga?”“Aku ini serumah sama Rafa, aku enggak akan membiarkan itu terjadi.”“Pokoknya aku mau kamu di sini.”“Aku enggak bisa, kita belum nikah Eiden.”“Ya makanya kamu cepat-cepat nikahin aku.”“Aku enggak bisa.”“Maksud kamu apa? Jadi kamu cuma main-main aja?”“Aku belum siap Eiden, sudahlah jangan mendramatisir keadaan, kepalaku pusing, aku ingin istirahat.”Aku bergegas pergi keluar rumah Eiden, ini sudah lewat tengah malam. Telat sedikit saja, kalu sampai satpam lewat rumah Eiden, maka urusannya tak akan mudah. Seraya mempercepat laju kendaraan, tiba-tiba terlintas wajah Dewi, yang bersih keras menahanku. Jalanan begitu sepi tak ada satu kendaraan pun yang melintas kecuali mobilku. Sampai di rumah, aku langsung mendatangi kamar kami yang tampak gelap. Harusnya Dewi ada di sana namun sayang saat aku menyalakan lampunya, tak ada siapa pun di ranjang. Di kamar sebelah pun tak ada, hanya ada anak-anak yang tertidur pulas.Ya Tuhan, jadi yang Dewi bilang, aku akan menyesal, itu artinya... .Sial!Aku lekas menghubunginya lewat telepon namun tak aktif. Ke mana lagi dia malam-malam begini. Kenapa dia begitu tega meninggalkan anak-anak begitu saja. Apa lagi Yuri, dia masih belum lepas ASI, kami bahkan tak punya stock susu formula, karena memang Yuri tak pernah mau meminumnya. Lalu bagaimana kalau dia mencari Dewi malam-malam.Siapa yang harus aku mintai bantuan. Sekarang Yuri mulai bergerak-gerak di ranjang, dia pasti tengah mencari Ibunya. Tak menunggu lama, anak itu terbangun, dia duduk lalu menatap ke sekeliling. Entah kenapa aku malah terpaku di tempat, jelas setelah ini aku tahu dia akan menangis keras.“Mama Mama!”Sekarang bukan hanya Yuri yang terbangun Kakak-Kakaknya yang lain pun ikut terbangun. Namun entah kenapa mereka seakan abai memilih meneruskan tidurnya tanpa peduli adiknya yang menangis. Bukankah biasanya mereka peduli, kenapa dengan hari ini. Aku yang bingung akhirnya menelepon Eiden. Hanya dia yang terlintas di pikiranku saat itu.“Berisik banget sih Pah, itu Yurinya nangis.”“Mamahmu memangnya ke mana Rafa?”“Ya mana aku tahu,” ucapnya seraya mengucek mata dia menatap Yuri yang duduk di samping tempatnya berbaring.“Mamah pasti pergi gara-gara Papah!” katanya lagi.“Terus ini bagaimana Yuri nangis terus?”Rafa justru menutup telinganya dengan bantal. Jujur saja aku merasa heran dengannya padahal kemarin dia begitu peduli dengan adik-adiknya.Pada akhirnya aku memilih menggendong Yuri hingga pagi menjelang. Dia bahkan tidur sambil terisak.Eiden juga tak mungkin datang dia tengah malam begini, maubyak mau aku mengurusnya sendirian. Hingga pukul 7 Dewi tak kunjung pulang. Nomornya pun masih tak bisa dihubungi.Saat itu aku tengah menyiapkan sarapan untuk anak-anak, lalu bel rumah kami ditekan dari luar. Ternyata itu Eiden. Dia datang sesuai permintaanku.Tapi begitu masuk ke dalam, anak-anak menyambutnya dengan tatapan tak suka. Tetapi mau bagaimana lagi aku ada rapat penting hari ini. Eiden dengan sigap berinisiatif pergi ke dapur membuatkanku kopi. Kupikir dengan ini bisa membantu mengatasi ngantuk karena terjaga semalaman.Tapi baru juga tenang Rafa justru sengaja memancing keributan dengan memecahkan piring bekasnya makan. Saat itu entah karena tak tidur semalaman atau apa, kepalaku sakit sekali. Pada akhirnya niatku meminta bantuan Eiden untuk menjaga anak-anak sia-sia saja. Aku menyuruhnya untuk meninggalkan rumah buar aku menjaga mereka. Karena aku rasa tak memungkinkan kalau mengejar meeting dalam kondisi kepalaku yang sakit begini.Eiden yang awalnya menolak, tapi akhirnya dia mau menurut karena Rafa ikut andil mengusirnya. Aku memutuskan untuk pergi ke kamar, beristirahat sejenak setelah kupastikan anak-anak makan dengan benar.Hingga aku terbangun saat mendengar suara pintu yang berdecit, itu artinya seseorang baru saja masuk. Samar-samar tampak seseorang berdiri di ambang pintu. Meski pandanganku masih kabur, jelas aku bisa mengenalnya hanya dari aroma tubuhnya yang khas. Itu Dewi.“Wi akhirnya kamu kembali. Kamu ke mana saja? Mas khawatir banget. Mas cari kamu ke mana-mana tapi enggak ketemu!”Dewi membisu, dengan netra yang memerah, dia menatapku dengan penuh amarah.“Wi kenapa sih?”“Mas, kamu udah bangun?” suara itu, Ya Tuhan.Aku refleks menengok ke samping. Ada Eiden di sana. Itu artinya kami berbagi tempat tidur?“Wi, Mas bisa jelasin.”Belum reda keterkejutanku, dari arah luar suara anak-anak terdengar mendekat. Aku yang panik bergegas merapikan diri. Namun sayangnya tak sempat lagi. Anak-anak lebih dulu sampai ke kamar.“Mamah kenapa Tante itu tidur sama Papah, kenapa bukan sama Mamah?” ucap Adit seraya menunjuk Eiden yang tampak gugup. Entah bagaimana bisa kami bisa berbagi tempat tidur, masih teringat dengan jelas, aku telah mengusirnya.“Dewi Mas bisa jelasin.” Aku beranjak dari ranjang, hendak menggapai tangan Dewi yang hanya diam saja, sejak tadi. Meski Adit terus saja menggoyang lengannya dia tak merespons apa pun.“Wi, demi Tuhan Mas enggak ada niat melakukan ini, Mas tadi sudah suruh dia pergi, Adit juga tahu kan Papah tadi suruh Tante pergi?”“Enggak tahu.”Ya Tuhan, bagaimana bisa Adit mengatakan begitu, bukankah dia ada di sana saat aku mengusir Eiden.“Wi jangan begini, bicaralah sesuatu, Mas minta maaf ya.” Aku mencium lengannya, melihat Dewi yang tak bereaksi apa pun, membuatku semakin merasa bersalah. Padahal seharusnya dia bisa saja memukul kami. Apa perlakuanku memang benar-benar melukai jiwanya.Bagaimana ini?Di tengah kepanikan, terdengar derap langkah mendekat, aku bisa melihat R
"Yuri minum susu basi, Papah mau bawa Yuri ke klinik."“Teledor banget sih Pah! Makanya kalau engngak bisa urus anak, enggak usah misahin kami sama Mamah! Awas aja kalau sampai Yuri kenapa-kenapa.”Sungguh aku sedang tak ingin mendengar ocehan anak itu. Aku hanya khawatir keselamatan Yuri. Meski begitu Rafa masih saja mengikuti.“Papah bawa Yuri ke klinik mana?”“Cahaya Medika, kamu enggak usah ikut, jagain Rio sama Adit, Papah buru-buru.”Mendengar hal itu Rafa menghentikan langkah. Syukurlah dia tak banyak protes. Hanya dia yang bisa kuandalkan. Andai ada kamu Wi, Mas yakin semua ini enggak akan terjadi. Aku berlari menuju parkiran. Sementara Yuri terus memuntahkan isi perutnya. Mau tak mau aku harus berkendara sambil menggendong Yuri, yang terus menangis. Sebenarnya Jarak rumah dan klinik cukup dekat, butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sana, tetapi kali ini kenapa rasanya begitu jauh. Belum lagi saat Yuri yang lagi-lagi mengeluarkan isi perutnya. Aku tak mungkin melanjutkan perja
"Oke, aku memang sengaja bikin kamu tidur. Aku enggak mau ya kamu cuma mainin aku! hubungan kita sudah lama, tetapi kamu enggak pernah kasih aku kepastian.”“Enggak bisa! kamu harus jelaskan semuanya di hadapan Dewi, ayo ikut aku!”“Aku enggak mau! Ngapain juga aku jelaskan, memang kamu enggak mau nikah sama aku?”“Bukan begini caranya Eiden!”“Kalau aku enggak nekat kamu pikir Dewi mau lepaskan kamu gitu aja?”Aku menarik Eiden kali ini dengan sedikit paksaan, aku tak peduli meski ia meronta. Aku tetap bersi keras membawanya ke hadapan Dewi.“Kamu bisa minta apa pun, asal kali ini aja bantu aku menjelaskan semuanya ke Dewi.”“Segitu takutnya kamu kehilangan Dewi? Apa sih bagusnya dia?”“Kami sudah punya banyak anak, kamu enggak akan mengerti.”“Aku juga bisa kasih anak buat kamu Mas, kamu mau berapa pun aku bisa.”“Aku tanya sekali lagi, kamu mau atau tidak?”Eiden terdiam, padahal kami sudah duduk di mobil. Hanya butuh annggukan darinya, maka mobil akan segera melaju.“Iya aku mau,”
"Mas kenal sama perempuan yang baru masuk ke Spesialis Kulit dan Kelamin?”Pria itu rupanya juga tengah menatap ke arah Eiden dengan tatapan yang mencurigakan.“Iya teman saya.”“Ati-ati,” ucapnya seraya menyunggingkan bibir.Apanya yang hati-hati, perkataannya barusan sungguh memancing penasaran. Aku tak mau ambil pusing dengan urusan Eiden. Aku bahkan sedang menggendong jasad putriku, bagaimana bisa memikirkan orang lain.“Mari Mas.” Pria itu sudah berjalan lebih dulu, aku jauh tertinggal di belakang, aku lantas mengejarnya.“Kenapa anda mau menolong saya?” tanyaku.“Seminggu yang lalu putri saya meninggal dunia.” Laki-laki itu tertunduk, meski begitu kami terus berjalan. Katanya tak baik menunda pemakaman jenazah.“Innalillahi, saya turut berduka Mas.”“Mas tenang aja saya enggak akan membawa kabur mobilnya kok.”
Mereka yang tak pernah peduli akan kehadiran Tuhan di sisinya, justru sanksi sosial lah yang lebih memberi efek jera pada para pelaku kejahatan.“Sudah Pak RT orang Bapak kok tega banget ngeracun anaknya sendiri? Lapor polisi aja biar masuk penjara!” Di tengah kepanikan Eiden dengan wajah tak berdosanya, mendekatiku. Semua prang terdiam, seperti tengah memastikan sesuatu.“Loh ini kan perempuan yang di video ya?”“Iya benar, ini nih dasar pasangan mes*m!” umpat seorang wanita paruh baya, yang tampak berapi-api. Dia mendekati Eiden yang mulai ketakutan.Kenapa juga dia harus datang saat kondisi seperti ini.“Tuh Pak RT anaknya baru meninggal aja masih mau main belakang, coba kalau enggak ada kita-kita sudah zina lagi pasti!”“Arak aja, telanj*ng#n sekalian! Dasar perempuan engg#k bener!”Eiden yang makin ketakutan, dia segera pergi ke luar, diiringi sor
Jangan mengharapkan pertolongan orang lain, karena yang bisa membawamu keluar, ada pada kemauanmu sendiri.~PoV Dewi“Wi, kamu sudah lihat video suamimu dan selingkuhannya yang tersebar di media sosial?”“Untuk apa aku melihatnya, enggak penting, apa aku harus peduli dengan pembunuh itu, bahkan kalau hari ini dia mat* aku enggak akan sudi melihat jasadnya!” Risma yang sejak tadi ragu-ragu untuk bertanya akhirnya tak tahan lagi. Mungkin dia pikir hal itu akan memperparah luka di hatiku. Bukankah hidupku begitu menyedihkan. Ditinggalkan anak juga diselingkuhi suami di waktu yang bersamaan.“Astagfirullah, Wi.”“Kenapa?”“Aku tahu kamu sakit hati dengan perlakuan Mas Dani tetapi enggak baik menyumpahi orang lain meninggal.”“Terlalu banyak toleransi yang kuberikan Ris, saking bodohnha aku harus merelakan putriku satu-satunya..hiks hiks hiks.”“Dek Ris kamu apa-apan sih ngapain nunjukin v
"Sudahlah Bapak ini diajak ngomong baik-baik malah begini, Maaf ya Pak Dani, perbuatan Bapak dan ibu itu sudah melanggar norma dan agama, pokonya suka atau tidak suka, Bapak harus mengikuti keputusan saya!”“Saya enggak pernah nyentuh dia, Bapak lihat saya juga Cuma tiduran aja di vidio itu!” ucapku lantang.“Mas! Cukup ya aku juga punya harga diri!”“Kalau kamu punya harga diri kenPa.kamu taruh obat tidur di kopi terus membuka pakaianmu sendiri masuk ke kamarku!”Plakk!!“Cukup!” Dia berteriak seolah apa yang kukatakan tidaklah benar!Perempuan g*la!Aku lantas mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat, membuatnya mendesis nyeri, sungguh aku menikmatinya, ini tak ada apa-apanya dibandingkan kamu yang membuatku kehilangan wajah, di hari pemakaman putriku sendiri.“Sudah! Cukup, terserah kalian mau ngomong apa yang jelas saya akan menikahkan kalian secepatnya! Apa pun alasannya!” Pak Rt menarik Eiden dari cengkeramanku. Tampak jejak merah gelap di s
“Dulu kamu pernah periksa ke Spesialis Kulit dan Kelamin kan? Kamu tuh sebenarnya sakit apa? Buat apa juga kamu sembunyikan semuanya dari suami kamu sendiri?”Mendadak Eiden berhenti merintih, dia berpaling menatapku, menampilkan ekspresi terkejutnya.“Hmm kamu jangan sembarangan nuduh, aku mana pernah periksa ke sana.” Seraya mengalihkan pandangan keluar. Aku bisa melihatnya berubah gugup. Saat bicara dia selalu saja menghindari terjadinya kontak mata denganku.“Aku masih normal Eiden!”“Aww sakit banget Mas!”“Ya sudah tahan lah, sebentar lagi sampai.”“Kita putar balik aja Mas, enggak usah periksa, aku istirahat aja di rumah.”“Kamu itu kenapa sih? Dibaiki malah enggak mau! Lihat aja, bengkak di leher kamu setiap hari semakin besar aja, aku aja yang lihat ngeri, belum lagi ruam kamu, udah hampir seluruh badan, masa iya kamu enggak merasa risi!”Eiden tak menjawab sekarang rintihan itu bercampur isaknya yang memilukan.Apa aku terlalu keras pada