Gayatri berkali-kali memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Itu artinya setengah jam lagi ia akan bertemu dengan Iwas.Gayatri menaikkan resleting bomber jaketnya. Ia sedikit kedinginan karena kafe yang ia pilih untuk bertemu dengan Iwas konsepnya adalah ruang terbuka. Ia memang sengaja memilih kafe ini karena selain suasananya nyaman,tempat duduknya juga mempunyai jarak yang cukup renggang. Dengan demikian privacy masing-masing pengunjung lebih terjaga.Sekonyong-konyong Gayatri merasa bulu kuduknya meremang. Indra keenamnya merasa kalau dirinya tengah diamati seseorang. Refleks Gayatri menoleh ke belakang. Iwas tampak berjalan dengan langkah panjang menghampiri mejanya. Rupanya Iwas masuk ke dalam kafe melalui pintu belakang. Kafe ini memang memiliki tiga pintu masuk. Depan, samping dan belakang."Saya tidak terlambat bukan? Masih tersisa waktu sekitar sepuluh menit lagi dari janji kita bertemu." Iwas memindai jam di pergelangan t
"Abang laki-laki. Tidak ada bekas didiri Abang. Abang bisa moved on dan menata hidup dengan Mbak Vira. Tapi saya? Seumur hidup saya membawa beban. Apa Abang tahu, setiap kali saya didekati seseorang, saya selalu gamang. Saya takut kalau nantinya saya akan ditinggalkan karena masa lalu saya. Maklum saja. Saya ini dibilang perawan bukan. Janda juga bukan?" Gayatri tersenyum tanpa merasa lucu. "Abang sadar tidak, sesungguhnya yang menjadi korban itu saya. Bukan Abang. Abang itu korban kemarahan ayah saya. Ayah saya marah karena Abang sudah merusak anak gadisnya. Namun saya tetap tidak membenarkan tindakan ayah saya pada abang sekeluarga. Tidak adil kalau Pak Ilham sebagai ikut disalahkan. Karena Pak Ilham memang tidak tahu apa-apa." Gayatri mengenadah. Menatap langit kelam yang dihiasi taburan bintang-bintang. "Sampai di sini, Abang sudah bisa menangkap poinnya belum? Sebenarnya kita semua bersalah. Tapi yang menerima akibatnya itu saya. Karena saya perempuan. Saya yang bisa hamil." Pa
"Gue sama sekali nggak menyangka kalo anak lo masih hidup, Tri."Bola mata Citra nyaris keluar dari rongganya kala mendengar cerita Gayatri. Saat ini Gayatri sedang berada di rumah Citra. Ia memang berhutang penjelasan soal mengapa dirinya tiba-tiba mencari Iwas setelah sepuluh tahun berlalu. Selain itu ia ingin mengajak Citra berbelanja. Ia membutuhkan saran Citra untuk membeli kado ulang tahun Zana yang ke sebelas. Kedua anak Citra sedang menginap di rumah mertua Citra. Makanya hari ini mereka berdua bisa shopping seharian."Jangankan lo, Cit. Gue aja shock sewaktu diberitahu ibu. Tapi ya, gue seneng sih. Karena ada bagian dari diri gue di dunia ini. Gue jadi nggak ngerasa sendirian." Membayangkan putrinya membuat Gayatri tersenyum bahagia."Muka anak lo mirip siapa, Tri? Mirip lo apa Bang Iwas?" Citra penasaran."Perpaduan, Cit. Anak gue lucu banget. Hidung dan bibirnya mirip gue. Tapi rambut ikal, dagu dan bentuk wajahnya plek ketiplek dengan Bang Iwas. Pokoknya cakep deh."Terken
"Iya, ya." Gayatri mendekati manekin. Mengamati lebih dekat dress simple berlengan balon berwarna putih gading. Di bagian pinggang dress dilengkapi dengan aksen pita yang cantik. Gayatri memeriksa bahan dress dengan melihat tag putih di baliknya. Tertulis terbuat dari 100% cotton. Itu artinya dress ini akan nyaman saat dikenakan seharian."Gue ambil dress ini deh." Gayatri mengambil dress dengan model sama yang di gantung di belakang manekin."Iya, bagus itu Tri. Simple dan nggak panas. Eh, gue ke sono ya? Melihat baju cakep-cakep begini gue jadi pengen ngebeliin buat Si Dilla." Jiwa belanja Citra kembali meronta-ronta."Ya udah sono." Gayatri mengibaskan tangannya. Untuk pertama kalinya ia merasa excited melihat baju-baju anak kecil. Jiwa ibu-ibunya doyan belanja untuk anak sudah mulai melandanya.Gayatri berganti mendekati manekin yang mengenakan blouse lengan panjang berwarna merah muda. Blouse ini tampak unik karena berkerah model Nehru longgar. Sehingga dapat digunakan untuk sega
"Jadi kamu betul-betul menolak Harsa, Tri?" Pak Sanwani menggebrak meja. Kepalanya panas karena menerima teror dari dua sisi. Pak Bakri menerornya agar segera memberi jawaban atas lamaran Harsa. Sementara putrinya meneror dengan sikap kepala batunya."Benar, Pak." Gayatri menjaga nada suaranya agar tetap datar. Saat ini ia sedang berada di kantor pribadinya dalam hotel. Sejak tadi pagi, dirinya dan kepala masing-masing divisi melakukan rapat mendadak. Gayatri berusaha mendongkrak pemasukan hotel dengan menerapkan cara-cara kerja baru. Salah satunya adalah meningkatkan SDM tiap divisi. Kedatangan mendadak ayahnya ini membuat Gayatri menghentikan rapat sejenak. Jikalau sedang emosi, perangai ayahnya cenderung kurang baik. Untuk itulah yang menunda rapat. Ia harus menjaga wibawa di depan para stafnya."Berarti kamu sudah siap kehilangan Hotel Grand Mediterania?" tantang Pak Sanwani lagi."Kemarin dulu Ayah bilang bahwa semua hotel-hotel kita adalah milik Ayah bukan? Berarti Ayahlah yang
"Tadi Ratri mengadakan rapat dengan masing-masing kepala divisi untuk membuat terobosan baru. Terutama divisi Marketing Department. Ratri minta agar mereka lebih gencar lagi dalam melakukan promosi-promosi melalui media sosial. Ratri juga berencana untuk mengendorse artis dan influencer kenamaan tanah air untuk mendongkrak pelanggan agar menginap di hotel kita. Semoga saja rencana Ratri ini berhasil untuk menambah income hotel.""Jikalau tidak?" Pak Sanwani tidak yakin dengan rencana Gayatri."Ya seperti yang ayah katakan tadi, kita akan bangkrut. Harta bergerak dan tidak bergerak kita akan disita oleh bank. Setelahnya kita akan hidup sederhana. Bahasa gampangnya kita akan merasakan hidup menjadi orang miskin." Gayatri menjelaskan segala akibatnya secara gamblang."Jangan sampai!" Pak Sanwani beringsut dari kursi. Ayah pulang dulu. Ayah dan ibu akan berkompromi mencari jalan agar kita tidak menjadi miskin. Musuh-musuh Ayah akan bertepuk tangan nantinya. Terutama Pak Dahlan." Air muka
"Nara! Tri!" Mendengar suaranya dipanggil, Iwas mengurungkan niat membuka pintu mobil. Vira dan Nia terlihat berlari-lari kecil ke arahnya. "Kalian baru datang ya? Lho, kamu kenapa, Tri?" Vira heran melihat rambut Gayatri yang awut-awutan. Mata Gayatri juga basah seperti orang yang baru menangis. Sepertinya malah masih. Karena dua butir air mata tiba-tiba meloncat, saat Gayatri mengedipkan mata."Masih bertanya lagi? Bukannya kamu yang memberitahu ibu kalau aku ada di sini?" Iwas memelototi Vira. Ia yakin Vira lah yang mengatakan pada keluarganya kalau dirinya ada di restaurant ini. Makanya mereka jadi berbondong-bondong datang ke restaurant."Kok kamu nuduh aku sih, Nar? Aku sama sekali nggak tahu apa-apa lho!" Vira menaikkan alisnya. Ia emosi dituduh yang tidak-tidak. "Kalau bukan kamu, siapa lagi? Cuma kita bertiga yang akan berkumpul di sini?" cetus Iwas tak kalah emosi. "Kamu juga yang bilang kalau ingin menunda pernikahan pada Ibu 'kan?" Iwas tidak memberi kesempatan Vira unt
"Setelah sepuluh tahun berlalu, apa kabarmu, Gayatri Harimurti?" Pak Ilham membuka percakapan. Gayatri tersenyum kecil. Waktu boleh berlalu. Namun cara Pak Ilham memanggilnya sama persis seperti dulu. Yaitu menyebut namanya secara lengkap. Kenangan saat menjadi murid Pak Ilham keluar dengan sendirinya."Kabar saya baik, Pak. Bapak bagaimana?" Gayatri berbasa basi."Bapak sudah lebih baik sekarang. Tidak bisa Bapak pungkiri, Bapak memang sangat marah pada ayahmu dulu. Namun sekarang Bapak sudah mengikhlaskan semuanya," ungkap Pak Ilham jujur. "Sekali lagi saya minta maaf atas apa yang sudah dilakukan oleh ayah saya dulu. Waktu itu saya juga sedang bingung. Makanya saya tidak bisa berbuat banyak untuk membela Bapak.""Bapak tidak pernah menyalahkanmu, Gayatri. Kamu masih anak-anak waktu itu."Mata Gayatri berkaca-kaca. Pak Ilham tidak pernah membencinya rupanya."Yang membuat Bapak kecewa itu ayahmu. Ayahmu menghukum orang yang ia anggap salah dengan cara membabi buta. Tapi seperti yan