Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
"Tri kamu sekarang ke rumah Sakit Harapan Bunda di Medan ya? Ibu sudah memesan tiket pukul tiga sore untukmu?" "Ke rumah sakit di Medan sekarang? Siapa yang sakit, Bu?" Sambil menandatangani beberapa dokumen, Gayatri menerima telepon dari sang ibu. Refleks ia memindai jam dinding. Pukul sebelas siang. Artinya ia punya waktu tiga jam lagi untuk sampai di bandara. Cukuplah. Ia sudah terbiasa bepergian dalam waktu mepet. "Anakmu." "Hah, a--anak Ratri. Anak dari mana? Bukankah anak Ratri waktu itu sudah meninggal? Ibu ngomong apa sih?" Gayatri meletakkan pena. Ia kini serius mendengarkan kata-kata ibunya. Hening. Tidak terdengar kalimat apapun dari mulut ibunya. "Ratri menunggu jawaban dari Ibu." "Sebenarnya putrimu tidak meninggal. Ayah dan ibu telah memberikan putrimu pada kerabat jauh ayahmu di Medan sana." "Astaga, Ibu. Mengapa Ibu dan ayah membohongi, Ratri?" Gayatri memegangi dadanya. Ingatannya seketika kembali pada saat dirinya dirinya masih berseragam putih abu-abu. Ya, dir
"Lihat akibat perbuatan tidak pikir panjangmu. Sekarang kamu hamil. Masa depanmu hancur sudah!" Gayatri hanya terdiam saat ayahnya melemparkan sebuah amplop putih ke wajahnya. Dua bulan telah berlalu sejak peristiwa ulang tahun di rumah Citra. Gayatri yang kerap mual-mual di pagi hari, membuat ibunya curiga. Ibunya kemudian membawanya ke rumah sakit untuk melakukan medical check up. Dan inilah hasilnya. Gayatri memungut amplop yang jatuh di lantai. Mengeluarkan isinya dan membaca dengan bibir bergetar. Dugaan ibunya benar. Mual-mualnya selama ini karena ia hamil! "Bu, segera bawa Ratri ke rumah sakit Mas Wahyudi. Minta dia mengugurkan kandungan Ratri." "Jangan, Yah! Anak ini tidak salah apa-apa. Ratri yang salah. Jangan membunuhnya." Gayatri beringsut dari kursi. Ia bersimpuh di hadapan ayahnya. Ia tidak mau anaknya dibunuh. "Kalau kamu mempertahankannya, lantas bagaimana dengan kuliahmu? Ingat, minggu depan kamu akan menghadapi ujian besar. Bulan September nanti kamu sudah akan m
"Dek, jangan bersikap begini. Adek ingin Zana tetap hidup bukan? Ingat apa yang sudah kita diskusikan berulang kali tadi." Pak Azwar menenangkan istrinya. "Iya, Bang. Iya. Aku cuma takut kehilangan Zana." Bu Nuraini mengangguk berulang kali. Ia harus bisa mengontrol emosinya."Di mana... Zana?" Gayatri mengubah kalimat anak saya menjadi menyebut nama putrinya secara langsung. Ia tidak boleh sembarangan berbicara, mengingat kondisi psikologis Bu Nuraini. "Anak kami ada di dalam."Anak kami. Pak Azwar langsung menunjukkan kepemilikannya. Sesungguhnya Pak Azwar juga sama takutnya dengan Bu Nuraini. Gayatri memejamkan mata--menenangkan diri, terlebih kala mendengar penjelasan selanjutnya."Anak kami mengalami kecelakaan tadi siang saat pulang dari sekolah. Mobil yang membawanya ditabrak mobil pick up yang remnya blong.""Nama anak itu Zana bukan? Sekarang keadaan Zana bagaimana?" Gayatri memberi singnal kalau ia tidak menyukai kalimat kepemilikan Pak Azwar. Melalui sudut mata, Gayatri
"Jangan ge-er kamu. Saya mengenalimu, karena tidak ada orang yang memanggil saya Iwas di sini. Orang-orang sekarang memanggil saya Nara. Nama panggilan Iwas sudah saya kubur dalam-dalam.""Saya minta maaf, Bang. Saya--"Tut... tut... tut...Gayatri berdecak. Iwas menutup teleponnya. Tidak bisa, ia harus mencari cara agar Iwas bersedia datang ke Medan. Gayatri kembali menelepon Iwas. Gayatri bertekad akan menebalkan telinga mendengar apapun sindiran Iwas. Yang penting putrinya selamat."Kalau kamu terus mengganggu saya, saya akan memblokir nomor ponselmu.""Bang, dengar dulu. Saya tidak mungkin menelepon kalau saya tidak benar-benar membutuhkan bantuan Abang. Ada seseorang membutuhkan bantuan--""Siapa yang kali ini berulang tahun hingga kamu ingin meminta bantuan? Saya muak dengan segala tipu dayamu! Saya akan memblokir--""Anak kita, Bang. Anak kita yang membutuhkan bantuan Abang!" Gayatri langsung mengeluarkan kartu As-nya. Tidak ada waktu untuk memperhalus ucapannya. Ia takut nyawa
Gayatri hendak menggenggam tangan sang putri.Hanya saja, ponsel Gayatri bergetar. Sepertinya Iwas sudah tiba. Gayatri keluar ruangan dengan dada berdebar kencang. Setelah sepuluh tahun, ini adalah kali pertamanya bertemu dengan Iwas. Dalam situasi tidak biasa pula. Semoga saja Iwas dan dirinya bisa menekan ego masing-masing demi keselamatan buah hati mereka. Yah, semoga.Gayatri duduk dengan punggung sekaku papan di ruang tunggu rumah sakit. Iwas menelepon dan mengatakan bahwa posisinya sudah dekat. Iwas juga memintanya menunggu di depan. Ia tidak mau menghabiskan waktu dengan mencari-carinya di seluruh penjuru rumah sakit katanya. Ponsel Gayatri kembali berbunyi. Refleks, Gayatri berdiri. Pasti Iwas yang meneleponnya. Tatkala memindai ponsel dan nama ayahnya yang muncul, Gayatri mengerutkan kening. Tumben ayahnya meneleponnya? Biasanya, ayahnya lebih suka meminjam lidah ibunya jikalau ingin berbicara dengannya. Semenjak ayahnya gemar bermain saham sekitar tiga tahun lalu, merek
"Saya memang menunggu di depan, Bang. Abang yang kelewatan jalannya. Coba Abang berbalik." Iwas terdiam sejenak. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan penyebab utama kehancuran keluarganya. Bukan hal mudah baginya bertemu kembali dengan Gayatri. Tatkala Iwas berbalik, ia tertegun. Bayangannya akan sosok Gayatri yang glamour sangat jauh dari ekspektasinya. Sebelum bertemu dengan Gayatri, ia sempat mengintip Medsosnya. Sedikit banyak ia ingin tahu kehidupan Gayatri sekarang. Di media sosial Gayatri, ia hanya menemukan dua photo Gayatri pada moment gathering dengan client-clientnya. Yang lainnya adalah postingan promosi-promosi hotel. Gayatri terlihat bagai sosialita papan atas di sana. Glamour dengan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara Gayatri saat ini bernampilan ala karyawati magang dengan kemeja putih kusut dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat buntut kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat di sana sini. Gayatri mirip dengan ka