LOGINLorong menuju kamar VIP terasa lebih sunyi dibanding ruang utama. Lampu-lampu dinding memantulkan cahaya kuning keemasan yang lembut tapi membuat setiap langkah terasa berat seolah udara di sana ikut menyimpan rahasia.
Sagara berjalan lebih dulu, langkahnya tenang, bahunya tegap, aroma parfumnya tercium samar wanginya seperti paduan kayu dan sesuatu yang dingin. Tanpa menoleh, pria itu hanya memberi anggukan kecil pada Arman di belakangnya sebelum memasuki kamar 387. Pintu tertutup. Suara klik kuncinya menggema pelan. Aluna menatap pintu itu beberapa detik, lalu menunduk. Ia tahu arti tatapan tadi. Dan lebih dari siapa pun, ia tahu bagaimana dunia ini bekerja, dimana tak semua perintah diucapkan dengan kasar. Beberapa justru dibungkus dengan kesopanan yang lebih menusuk. “Aluna,” suara Arman memecah lamunan. Ia menoleh. Wajah manajernya terlihat canggung, tapi juga tegas. “Rapihin penampilanmu dulu. Kamar mandi di ujung lorong. Jangan lama-lama.” Aluna ingin bicara—ingin bertanya kenapa dirinya, kenapa bukan pelayan lain—tapi suara itu seperti macet di tenggorokan. Akhirnya ia hanya mengangguk, meletakkan baki, dan melangkah ke kamar mandi kecil di ujung lorong. Cermin di depan menampakkan wajah yang terlalu muda untuk semua ini. Makeup-nya masih rapi, tapi ada sesuatu di matanya campuran lelah, takut, dan ketenangan palsu yang sudah jadi kebiasaan. Ia memperbaiki ikatan rambutnya, menyemprot sedikit parfum, lalu menatap dirinya sendiri lama-lama. Suara musik dari bawah masih samar terdengar. Di balik cermin, ada seseorang yang ingin lari. Tapi di dunia nyata, Aluna hanya bisa berdiri diam dan tersenyum tipis. “Cuma nganter minuman,” gumamnya pelan, seolah menghipnotis diri sendiri. “Kayak biasa.” Namun hatinya tahu jika malam ini bukan “kayak biasa.” Ketika ia kembali ke depan kamar 387, Arman masih di sana. “Jaga sikap, ya,” katanya tanpa menatap langsung. “Pak Sagara orang penting. Bikin dia nyaman.” Kalimat itu seperti vonis yang dibungkus sopan santun. Aluna mengangguk pelan, meski jemarinya terasa dingin. Ketukan di pintu terasa lebih berat dari biasanya. Satu kali. Dua kali. Hening. Lalu suara dari dalam terdengar, datar tapi jelas: “Masuk.” Aluna menarik napas. Sekali, dalam-dalam. Pintu terbuka perlahan, dan dunia di dalam kamar itu terasa berbeda seperti lebih sunyi, tapi justru lebih menakutkan. Cahaya lampu kuning lembut jatuh di sisi wajah pria itu. Sagara duduk di sofa kulit, dasinya sudah longgar, jasnya disampirkan di kursi. Tatapannya terarah langsung ke pintu, ke dirinya. Tidak ada senyum. Tidak ada kata sambutan. Hanya tatapan panjang yang membuat Aluna lupa cara bernapas. “Duduklah,” katanya akhirnya, pelan, nyaris ramah tapi justru membuat bulu kuduknya berdiri. Aluna melangkah pelan. Setiap langkah terasa seperti ujian kesadaran. Dan dalam diam yang tebal itu, pikirannya berputar. Ini bukan pertama kali aku di ruang seperti ini. Tapi entah kenapa, kali ini terasa berbeda. Terasa lebih nyata. Lebih berbahaya. Aluna duduk di ujung sofa, menjaga jarak. Tangannya ia letakkan di pangkuan, jari-jarinya saling bertaut, seolah kalau dilepaskan sedikit saja, ia akan gemetar. Ruangan itu sunyi. Yang terdengar hanya suara pendingin udara dan detak jarum jam di dinding—lambat, teratur, tapi terasa menusuk di setiap detiknya. Sagara belum bicara. Ia hanya menatap. Tenang, dalam, penuh kalkulasi. Tatapan yang seperti menelanjangi isi kepala tanpa perlu menyentuh kulit. Aluna menunduk, tapi tatapan itu tak hilang dari pikirannya. Kenapa aku? pikirnya. Dari semua pelayan di klub itu, kenapa harus dirinya? Sagara akhirnya bicara, suaranya rendah dan datar, tapi ada ketegasan yang tidak bisa diabaikan. “Berapa lama kau bekerja di sini?” “Empat tahun, Tuan.” Suara Aluna nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk terdengar. “Empat tahun,” gumamnya pelan, menatap ke gelas di tangannya. “Jadi kau sudah hafal semua wajah yang datang dan pergi di Eden, kan?” Aluna menelan ludah. “Sebagian, Tuan.” “Bagus.” Ia meneguk minuman. “Karena mulai malam ini, wajah yang paling sering kau lihat adalah aku.” Aluna menegakkan punggungnya pelan, kaget oleh nada yang tidak meninggi tapi menekan. Sagara meletakkan gelasnya di meja, lalu bersandar, menautkan jari-jarinya di depan dada. “Orang-orang di sini bekerja untukku sekarang. Termasuk kau,” lanjutnya tenang. “Dan aku tidak suka orang yang berpura-pura tidak mendengar perintah.” Ada jeda panjang. Aluna menatap lantai, lalu berkata pelan, “Saya mengerti, Tuan.” “Tapi kau terlihat takut,” katanya lagi, nadanya nyaris seperti godaan. Sagara sedikit mencondongkan tubuh ke depan. “Kau takut padaku?” Pertanyaan itu menggantung di udara. Mata mereka bertemu sekali lagi. Namun, kali ini lebih lama. Aluna tidak menjawab. Tapi Sagara bisa membaca jawabannya dari cara ia menarik napas terlalu cepat, dari cara jemarinya meremas rok di pangkuan. Ia tersenyum tipis, tanpa benar-benar tersenyum. “Bagus. Takut adalah reaksi alami ketika seseorang tidak tahu apa yang akan terjadi.” Aluna menelan ludah. “Apa yang akan terjadi, Tuan?” Sagara berdiri, langkahnya pelan tapi mantap. Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirai sedikit. Cahaya kota memantul di kaca, membingkai siluetnya. “Belum tahu,” katanya datar. “Aku hanya ingin tahu seberapa jauh seseorang bisa bertahan sebelum memilih lari.” Hening. Aluna menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Saya tidak lari.” Sagara menatap pantulan wajahnya di kaca, lalu berbalik perlahan. Tatapannya tajam, tapi untuk pertama kalinya ada sesuatu yang samar di balik dinginnya rasa ingin tahu. “Benarkah?” Sagara berjalan mendekat, berhenti hanya beberapa langkah di depannya. “Kalau begitu… buktikan.”Aluna terbangun dengan napas berat. Udara terasa lembap. Suasana juga begitu sunyi. Lampu redup di pojok ruangan menyorot samar, cukup untuk memperlihatkan siluet furnitur gelap dan kilau botol di meja bar kecil. Ia mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat. Tenggorokan juga kering. Ada jaket hitam di atas tubuhnya, berbau maskulin yang terlalu familiar. Di mana ini? Kenapa aku di sini? Matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Baru kemudian ia sadar jika ia tidak berada di kamarnya. Ini ruangan berbeda. Luas, berlapis aroma bourbon dan kayu tua. Lantai karpet tebal. Dinding kaca tertutup tirai gelap. Dan di meja di ujung ruangan, terdapat gelas kristal yang tadi. Masih ada sisa cairan di dalamnya. Aluna menegakkan tubuh dengan hati-hati. Jantungnya berdetak cepat. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sosok yang familiar tapi tidak ada siapa pun di sana.
Lampu-lampu gantung berwarna keemasan memantul di meja marmer hitam. Musik jazz pelan mengisi udara dengan nada-nada yang terlalu halus untuk dianggap penghibur, tapi terlalu hidup untuk diabaikan. Sagara berjalan masuk, jas hitamnya rapi tanpa cela, langkahnya tegap dan terukur. Tidak ada lagi sisa kehangatan dari ruangan tempat Aluna tertidur yang tersisa hanyalah dingin dan ketegasan seorang pemimpin. Di salah satu bilik privat, dua pria sudah menunggunya. Salah satunya adalah Tuan Nakamura, pria paruh baya asal Jepang dengan tatapan setajam pisau. Di sebelahnya, penerjemah dan salah satu konsultan keuangan Eden Group, Ardi. “Sagara-san,” sapa Nakamura dengan senyum kecil. “Selalu tepat waktu.” “Ketepatan waktu adalah bentuk penghormatan, Nakamura-san,” balasnya singkat, duduk di hadapan mereka. Ardi membuka map berisi dokumen kerja sama. “Kita bahas kelanjutan joint project antara Eden Holdings dan Akiyama Corporat
Aluna terus merancau mengakibatkan sensasi aneh di leher Sagara. Pria itu menggertakkan rahang. Setiap desah yang meluncur dari bibir Aluna, setiap hembusan napas yang menghangatkan kulitnya perlahan menggerogoti kendali yang selama ini ia banggakan. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan," bisiknya serak, jemarinya mengepal di punggung Aluna. Rasanya ingin mendorong, ingin memeluk erat, tapi malah terjebak di antara dua hasrat. Dengan susah payah, Sagara menarik diri beberapa inci. Matanya gelap. Bukan hanya karena alkohol atau ramuan itu tapi karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya. "Jika kau terus seperti ini aku tidak akan bisa menjagamu lagi." Bisik Sagar pelan, suaranya nyaris patah. "Dan kau tahu hal terburuknya? Aku sudah tidak ingin menjaga diriku sendiri darimu," lanjutnya. Merasakan tubuh Sagara perlahan menjauh, Aluna kembali merengek. Bahkan kini ia terisak pelan. "Hiks. Nggak mau," bisiknya manja. Sagara merinding saat mendengar desah lembutnya. Ras
mobil berhenti di depan club. Aluna keluar lebih dulu, berdiri dengan canggung di samping mobil. Kemudian Sagara turun setelahnya, memasangkan kancing lengan kemeja sebelum memasukan tangan ke dalam saku celana. Tatapanannya lurus ke depan, tapi pandangan ia arahkan ke Aluna dengan jelas. "Berhati-hatilah pada apa yang akan kau lihat dalam situasi seperti ini," katanya sembari memulai langkah panjang ke arah pintu masuk. "Saya sudah terbiasa dengan suasana ini, Pak." Sagara menarik satu alis dengan penasaran. "Sudah biasa?" tanyanya menyeringai. Kali ini, suaranya lebih serius dari sebelumnya. "Mungkin, tapi malam ini akan berbeda. Karena aku akan berada bersamamu." Alea merasa bingung, apa yang berbeda? Meskipun hatinya berdegup takut ia tetap mengikuti Sagara masuk ke dalam ruangannya. "Apa yang bisa saya bantu pak?" Sagara menatapnya untuk beberapa kali, pandangan tegas. Ia berjalan ke arah bar, menyandar di atas meja dengan santai. "Kau tidak perlu melakukan b
Jika biasanya ke kampus adalah hal favorit Aluna maka sekarang terasa berbeda. Kali ini dengan langkah berat ia kembali menuju ruangan Sagara. Di tangannya ada map biru berisi draft judul dan latar belakang masalah skripsinya. Telapak tangannya berkeringat. “Santai, Lun,” gumamnya pelan. “Ini cuma konsultasi. Biasa aja.” Tapi bagaimana bisa biasa, kalau orang yang harus ia temui adalah orang yang semalam menatapnya seolah tahu setiap rahasia di tubuh dan pikirannya? Ia menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. “Masuk.” Suara itu rendah, tenang, dan langsung membuat jantungnya berdebar dua kali lipat. Sagara duduk di belakang meja kerja, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Tak ada aroma alkohol atau lampu neon seperti di Eden, tapi wibawa yang sama masih ada. “Silakan duduk.” Aluna duduk perlahan, menunduk sopan sambil menyerahkan map. “Ini, Pak… draft sementara judul dan latar belakang masalah saya.” Sagara membuka map itu dengan tenang, membaca sekilas, lalu
“Apa saya boleh pergi, Pak?” tanya Aluna pelan, setelah merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. “Tunggu. Kali ini belum.” Sagara menurunkan pandangannya, lalu duduk di samping Aluna. Gerakannya tenang, tapi cukup untuk membuat napas Aluna tercekat. Ia diam, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hatinya berdebar entah karena takut, gugup, atau keduanya. Di sebelahnya, Sagara masih menatap tanpa suara. Tatapan itu menusuk, seperti bisa menembus lapisan pikirannya. “Aku ingin bertanya sesuatu,” katanya akhirnya, lembut tapi tegas. “Jawab dengan jujur. Apakah kau takut padaku, Aluna?” “Sedikit, Pak.” Senyum tipis terbit di sudut bibir Sagara. Nyaris tak terlihat. “Kenapa? Ada alasan tertentu untuk takut?” Aluna menunduk, tak sanggup menatap. Jarak mereka terlalu dekat. Parfum Sagara dengan aroma kayu dan mint yang khas membuyarkan pikirannya. Lalu, jemari Sagara menyentuh lembut rambut Aluna. Ia condong sedikit, suaranya menurun, hampir seperti desau angin. “Kau bisa mendengar







