"Kalau istri sudah pulang, beda ya. Makan apa sih, mulutnya jadi manis banget sekarang?"Orang yang berbicara mungkin tidak berniat lain, tetapi Arlina yang mendengarnya langsung merasa malu bukan main. Pikirannya otomatis melayang ke adegan yang dilakukannya dengan Rexa sebelum para dosen datang.Ucapan para dosen yang saling menggoda membuat wajah Arlina semakin merah dan dia hanya bisa menjawab seadanya sambil tersenyum kaku.Tiba-tiba, dari sudut mata, dia melihat seorang wanita berdiri di dekat pintu.Sejak awal, wanita itu hanya berdiri diam tanpa berkata sepatah kata pun. Ketika Arlina menoleh, pandangan mereka tidak sengaja bertemu.Wanita itu sedang menatapnya.Arlina tiba-tiba merasa ada firasat aneh. Dia pasti profesor yang pernah disebut oleh Jazlan.Suasana kantor yang awalnya tenang jadi ramai karena kedatangan rombongan dosen tadi. Setelah mereka puas "mengintip" Arlina seperti melihat hewan langka di kebun binatang dan rasa penasaran mereka terjawab, barulah mereka pami
Tatapan Rexa tampak berkilat.Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Arlina tersenyum manis dengan sisa warna kecokelatan bekas dari teh susu yang baru diminumnya.Sebenarnya Rexa tidak benar-benar merasakan rasa apa pun dari ciuman tadi. Seluruh perhatiannya hanya tertuju pada kelembutan bibir Arlina."Kemarilah, aku kasih tahu rasanya," ucap Rexa tenang.Arlina percaya begitu saja. Baru saja melangkah dua langkah, pergelangan tangannya langsung ditangkap oleh Rexa."Eh ... teh susuku! Tumpah, bisa tumpah!" teriak Arlina panik.Namun, tubuhnya sudah masuk dalam pelukan Rexa. Lengan pria itu kuat dan memeluk pinggangnya dengan mantap, membuat tubuh mereka saling menempel tanpa celah.Tatapan Rexa mengarah ke bibirnya, "Tadi terlalu cepat. Aku belum sempat benar-benar merasakannya."Wajah Arlina seketika memanas. Namun daripada malu-malu, dia malah nekat melakukannya sekaligus! Dia melingkarkan tangannya ke leher Rexa, lalu mengangkat wajah dan menciumnya lebih dalam.Kali ini jauh lebih le
Satu per satu mahasiswa yang melewati mereka awalnya tampak terkejut. Namun setelah sadar, mereka buru-buru memberi salam dengan hormat, "Pak Rexa."Rexa mengangguk singkat ke arah mereka, senyumnya hangat bagaikan embusan angin musim semi.Tak lama kemudian, berita mulai menyebar. Istri Rexa datang ke kampus, ikut duduk di kelasnya, dan bahkan identitasnya diumumkan secara langsung.Kini semua orang tahu bahwa wanita yang bergandengan tangan dengan Rexa adalah sosok yang legendaris itu.Seorang mahasiswa yang cukup berani, tiba-tiba meninggikan suara setelah memberi salam, "Halo, Bu!"Suara yang datang tanpa peringatan itu membuat Arlina terlonjak kaget. Rexa tersenyum sambil menarik lembut tangan istrinya, "Itu panggilan untukmu."Arlina buru-buru mengangguk, wajahnya merah padam. "Ha ... halo juga."Begitu satu orang memulai, yang lain langsung mengikuti. Beberapa mahasiswa memberi salam kepada Rexa, lalu sengaja menambahkan, "Halo, Bu!" dengan nada yang semakin nyaring.Arlina mend
Begitu kalimat itu keluar dari mulut Rexa, seluruh kelas tiba-tiba menjadi hening. Saking heningnya sampai-sampai bisa terdengar suara napas sendiri. Semua mata memandang ke arah Arlina, seakan tak percaya bahwa sosok istri Rexa yang selama ini mereka kagumi ... ternyata duduk tepat di antara mereka.Beberapa detik kemudian, keheningan itu pecah."Aahhh!"Suara jeritan terdengar dari segala arah, saling bersahutan."Itu istri Pak Rexa!""Istri yang diakui sendiri sama Pak Rexa!""Jadi dia bukan penipu, bukan orang aneh ... ternyata dia istri Pak Rexa!"Nada keterkejutan mereka membuat Arlina seakan merasa dirinya ini makhluk luar angkasa yang baru saja mendarat dari UFO.Dia benar-benar canggung setengah mati, tapi tetap berusaha keras untuk tampil tenang dan dewasa, meniru sikap Rexa di atas podium. Dengan susah payah, dia memaksakan diri tersenyum ramah ke arah para mahasiswa."Halo, semua," sapanya kikuk."Halo, Bu!" seru beberapa mahasiswa serempak, dengan nada yang lebih seperti k
Suasana di dalam kelas mulai riuh. Dari sudut pandang Arlina, dia bisa melihat beberapa mahasiswa saling mendorong sambil tergelak."Pak, semua pertanyaan boleh ditanyakan, 'kan?""Sebentar lagi libur musim panas. Kalau pertanyaan ini nggak terjawab, bisa-bisa nilai ujian kami nanti ikut-ikutan jelek."Nada bicara itu terasa setengah menggoda, setengah mengancam. Yang mengejutkan, beberapa mahasiswa di sekitarnya malah mengangguk-angguk setuju.Arlina melihat Rexa menaikkan alis sedikit, satu tangannya bertumpu santai di atas meja dosen.Di jari-jarinya yang ramping dan tegas, sebuah cincin terlihat begitu mencolok.Namun bagi Rexa, itu bukan hal baru. Cincin itu sudah menempel di jarinya selama lima tahun terakhir dan tidak pernah dia lepas, seolah telah menjadi bagian dari dirinya sendiri. Arlina meraba cincin yang tergantung di lehernya, lalu tersenyum kecil.Karena pekerjaannya sebagai dokter membuatnya sering bersentuhan dengan darah dan cairan tubuh pasien, sejak masa magang, dia
Pria itu berdiri di atas podium dengan tenang. Warna kulitnya tetap seputih porselen dengan nuansa yang dingin, garis rahangnya tegas dan indah. Wajahnya memiliki kontur yang dalam dan menawan, bak lukisan yang sempurna.Sejak dia melangkah masuk ke ruangan, seluruh mahasiswa langsung refleks terdiam. Semua mata terpaku padanya, tanpa ada yang berkedip.Arlina pun tak terkecuali.Dia sudah pernah melihat berbagai sisi dari Rexa. Sisi lembutnya, sisi seriusnya, sisi tenangnya ... dan tentu saja sisi gilanya saat berada di ranjang.Namun, yang paling membuat hatinya berdebar adalah sisi Rexa yang sekarang ini. Pria yang berdiri di depan kelas dan mengajar dengan sepenuh hati.Seolah-olah di tangannya ada sehelai dandelion yang indah. Saat angin berembus pelan, benih-benih ilmu itu beterbangan dan terjatuh ke kepala para mahasiswa dan tumbuh menjadi pemahaman yang dalam.Itulah kekuatan dari sebuah pengetahuan yang disampaikan dengan sepenuh hati.Suara Rexa yang tenang dan mantap mengalu