MasukJennar tak pernah menyangka dunianya akan runtuh saat mengetahui Daniel—tunangan yang sudah menemaninya enam tahun—berselingkuh dengan bosnya sendiri. Hatinya remuk, harga dirinya tercabik, dan seluruh masa depan yang ia rencanakan hilang begitu saja. Berusaha melarikan diri dari luka, suatu malam Jennar mabuk dan pulang ke apartemen Alexa, sahabatnya. Namun di sana, ia justru bertemu Birru—adik sahabatnya yang baru kembali ke ibu kota. Berbahaya, menawan, dengan tubuh atletis dan tatapan tajam yang terlalu mudah membuat napasnya tercekat. Di bawah pengaruh alkohol dan hati yang limbung, Jennar tanpa sadar melewati batas. “Mbak.” tanyanya diantara perhentian. “Mau aku ajari gak?” Jennar menautkan alis. “Ajari apa?” “Aku harus ajarin kamu cara lupa nama Daniel dulu… sebelum kamu menggoda orang lain. Atau, minimal, sebelum kamu nyaris mencium aku lagi.”
Lihat lebih banyakPukul sebelas malam, Jakarta masih riuh, tapi bagi Jennar semuanya terdengar seperti dengung jauh. Di dalam dirinya, suara pengkhianatan jauh lebih bising. Enam tahun bersama Daniel runtuh hanya karena satu penemuan bodoh di ponselnya— aplikasi yang menyimpan bukti bahwa ia berselingkuh dengan bosnya sendiri.
Tumit high heels-nya mengetuk lantai lobi Sapphire Pavilion. Bayangan dirinya di dinding kaca memantul mata sembab, riasan luntur, blazer kusut, dan seorang perempuan yang mencoba bertahan. Aroma lavender memenuhi lobi, menampar indra dan membuat dadanya sesak. Lift menuju lantai sepuluh terasa terlalu sunyi. “Dasar laki-laki brengsek,” gumamnya sambil menempelkan kartu akses dengan tangan gemetar. Begitu pintu terbuka, lorong sepi menyambutnya. Cahaya kekuningan membuat tempat itu terlihat hangat, tapi Jennar hanya merasa semakin sendirian. Di depan pintu 101, jarinya mengetik PIN dengan susah payah. Ia mendorong pintu dengan bahu. “Lex!” panggilnya, suaranya pecah. Apartemen Alexa menyambut dengan aroma linen dan vanilla. Jennar melepaskan heels sembarangan, lalu berjalan sempoyongan ke ruang keluarga. Ia menjatuhkan diri ke sofa, dan seluruh pertahanannya runtuh. “ALEXAAA!” teriaknya, suaranya pecah, seolah mencerminkan hatinya yang hancur. Tanpa menunggu sahabatnya muncul, ia menjatuhkan tubuh ke sofa abu-abu empuk—favorit Alexa. Begitu punggungnya menyentuh permukaan lembut itu, pertahanan Jennar runtuh. Tangisnya pecah. Bukan air mata yang mengalir pelan, melainkan tangis yang hancur, lepas, dan nyaring. “Lex lo harus tau kalau Daniel selingkuh!” jeritnya sambil memukul sandaran sofa. “Brengsek banget! Apa karena bosnya itu lebih seksi dan berani? Lebih… lebih apa, hah?!” Rambut kusutnya jatuh menutupi wajah, bahunya berguncang hebat. “Enam tahun, LEX!” suaranya merendah, serak. “Gue bela dia di depan keluarga! Gue— percaya dia, meskipun dia dari keluarga kacau … gue pikir dia bisa jadi lebih baik…” Bantal terlempar, meja kecil tergeser, sofa berantakan. Kekacauan itu terasa lebih masuk akal daripada isi hatinya. Jennar meringkuk, tubuhnya gemetar. Sekilas muncul ruang lega kecil setelah meluapkan semuanya. Ia menarik napas goyah—sampai suara pintu apartemen terbuka dari arah depan. Jennar tidak melihatnya. Tapi bayangan tinggi mulai mendekat, berhenti di ambang ruang keluarga. “Mbak?” Tatapan Birru membeku saat matanya menyapu kekacauan di ruang keluarga—bantal berserakan tak beraturan, selimut kusut terseret ke sudut, meja kecil miring nyaris terjungkal. Di tengah semua itu, seorang perempuan terdengar menangis dengan suara patah yang menusuk hati. Birru menelan napas, ragu melangkah masuk. “Mbak Jennar?” suaranya rendah, agak serak, lembut seperti biasanya. Jennar menyipitkan mata, berusaha fokus. Alkohol membuat dunia di sekelilingnya bergoyang, tapi wajah pria itu sangat jelas. “Eh…” Ia berkedip lama, memiringkan kepala. “Siapa—” lalu matanya terpaku pada garis rahang Birru yang tegas, kaus hitam yang menempel di badan, dan lengan kokohnya. “Kamu… siapa? Kok ganteng banget, sih?” Birru menghela napas pelan. “Aku Birru.” Ia menekankan kalimat terakhir, berharap Jennar tersadar. “Aku adiknya Alexa.” Tapi respons yang datang malah tawa singkat—pecah, nyaring, lalu tercekat. Jennar setengah bangkit dari sofa, tangannya meraba sandaran untuk menstabilkan tubuh yang masih berputar. “Kamu setan ya?” Alis Birru sedikit bergerak, satu reaksi halus, tapi jelas ia membaca luka yang masih hangat itu. Jennar menatapnya lama, terlalu lama. Ada sesuatu dalam diri Birru. Suatu ketenangan, ketegasan, aura maskulin yang tidak ribut tapi terasa, yang membuat Jennar terpaku. Alkohol mengambil alih logikanya. “Kenapa kamu liatin aku begitu?” suara Birru turun lirih, nyaris bisikan. Jennar menarik napas dalam-dalam, suaranya turun satu oktaf. “Karena kamu … tampan sekali.” Birru buru-buru memalingkan wajah, menahan gejolak di dalam dadanya yang berdegup keras. “Mbak Jennar, kamu mabuk. Alexa mana? Apa dia ta—” “Alexa tidur kali,” potong Jennar cepat, hampir manja. “Gak keliatan dari tadi.” Ia bergeser, berdiri lebih tegak, jaraknya kini hanya lima langkah darinya. “Dan kamu bukan adiknya! Adiknya Alexa itu masih kecil, tahu?” Birru menahan titik kerongkongannya yang menegang. Ada sesuatu yang tidak boleh ia respons, tapi ia merasakan tatapan Jennar seperti magnet. “Kamu pasti mabuk, Mbak," kata Birru. Jennar tak merespon. Ia tiba-tiba menarik blazernya, gerakan pelan, hampir seperti naluri tanpa sadar. Gadis cantik itu membuka blazer itu dari pundak membiarkannya jatuh ke sofa. “Eh... jatuh….” ujarnya dengan senyum menggoda. Blouse tipis warna champagne yang membalut tubuh Jennar memperlihatkan lekukan samar, tidak vulgar, tapi jelas niatnya ingin menggoda. Atau lebih tepatnya tidak ada filter dalam dirinya malam ini. “Kamu lebih suka aku pakai baju atau enggak?” bisik Jennar, matanya berkilat penuh godaan. Birru membeku. “Mbak Jennar.” Suaranya tegang sekarang. “Jangan begitu.” “Kenapa?” Jennar tersenyum kecil, sedikit miring. Matanya berkaca-kaca, tapi ada bahaya tersembunyi di dalamnya. “Laki-laki bukannya suka kalau perempuan gak pakai baju?” “Kamu nggak suka? Atau belum aku tunjukkin?” Suara itu, nada menggoda yang lirih, patah, dan penuh luka, membuat dada Birru menegang—sesuatu yang ia lawan dengan keras. “Kamu mabuk, Mbak.” ujar Birru sambil mundur pelan, berusaha menjaga jarak. Jennar menatapnya dengan mata yang membesar, merah karena menahan tangis. “Aku nggak mabuk, ya! Daniel gabolehin aku mabuk tau! Dan kamu bukan adiknya Alexa!” Jennar mencoba menegakkan diri, sempoyongan tapi tetap melangkah mendekat. Ia berhenti hanya satu langkah di depan Birru. Wangi alkohol, parfum lembut, dan aroma vanilla dari lilin bercampur jadi satu, menusuk hidung. “Dan kamu…” suaranya serak, hampir seperti helaan napas panjang. Jari telunjuk Jennar terulur, ringan menyentuh dada Birru yang kencang di balik kaos. Sentuhan itu seolah tak bermakna, tapi membuat Birru membeku. “.... Punya kamu keras?” lirih Jennar, matanya sayu namun penuh intensitas. Birru mengembuskan napas panjang, berat dan lama saat jemari itu menyentuh bidang dadanya. Tanpa sadar, Jennar mulai melepaskan kancing blouse yang masih menempel di tubuhnya, sambil menari-nari kecil mengelilingi Birru yang masih berdiri terpaku di tempatnya. “Kamu mau bersenang-senang gak? Kata Daniel—aku gabisa disentuh...” katanya sambil bicara kacau, suaranya mengambang dan penuh godaan. “Mau kamu buktikan, gak?” Pemandangan itu membuat Birru susah mengendalikan napas, detak jantungnya ikut naik. Desahan dan umpatan kasar keluar saat ia menatap tubuh Jennar yang ramping, hanya dibalut bra dan celana dalam hitam yang kontras dengan kulit mulusnya. Gadis itu meliuk-liuk, menjamah bidang dada depan dan punggung Birru, semakin kehilangan kendali. Hingga akhirnya Jennar meraba punggungnya dan melepaskan kaitan bra. Dalam hitungan detik, benda itu tersingkir, memperlihatkan tubuh atasnya tanpa penghalang. Kulit putih dan mulus yang mampu meluluh-lantakkan iman lelaki mana pun. Dua bongkahan besar menggantung indah di sana, padat dan tampak belum terjamah. “Sentuh...” bisik Jennar. Sunyi turun di antara mereka. Sunyi yang menggantung, berbahaya, dan membuka pintu bencana. Namun Birru tak mengalihkan pandangannya. Tidak malam itu. Tidak pada Jennar. Bersambung...Cantik? Apa-apaan ini? Sejak kapan ia bisa disini? Jennar berjalan pelan di samping Birru, tumit stilettonya memantul nyaring di lantai marmer lobi. Dia bisa merasakan tatapan Daniel yang masih menempel di punggungnya dari dalam kafe—tatapan yang menusuk, seolah Daniel punya hak atas hidupnya setelah semua pengkhianatan itu. Untung tadi Birru datang tepat waktu, menyudahi potensi drama murahan antara dia dan Kinanti. Dan untungnya— kenapa juga dia ada disini? “Sama-sama…” ucapan itu tiba-tiba terlepas dari bibir Birru tanpa beban. Tangan kanannya santai memegang paper cup kopi Americano milik Jennar, sementara tangan kiri masuk dalam saku celana. Jennar menatapnya dengan mata terbelalak, ragu. “Maksudnya?” suaranya pelan, seperti menunggu jawaban yang aneh. Birru melirik setengah malas. “Oh, ya ampun. Kalau gitu makasih ya, Birru,” jawab Jennar, nadanya datar, pikirannya masih tertinggal di masa lalu yang remuk itu.“Mbak memang susah banget bilang makasih, ya?” J
“Ini kan rumahnya, Mbak?” tanya Birru sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan nomor rumah. Ia pernah ke sini sekali, bertahun-tahun lalu, ketika dirinya masih berseragam putih abu-abu. Mobil yang dikemudikan Birru melambat, lalu benar-benar berhenti di depan sebuah rumah sederhana dua lantai dengan pagar hitam yang catnya sudah mulai mengelupas dimakan cuaca. Jennar tersenyum kecil. “Iya. Makasih, Ru. Ternyata benar kamu pernah ke sini.” Ia merapikan tasnya, hendak membuka pintu mobil. “Aku nggak diajak mampir?” goda Birru, suaranya ringan tapi ada sesuatu yang mendesak di balik itu. Jennar menoleh cepat, tiba-tiba gugup. “Eh? Kamu mau mampir?” Birru tertawa pelan, menggeleng. “Enggak, Mbak. Bercanda. Mending Mbak masuk dan istirahat. Wajah Mbak cape banget.” Ucapan itu dikeluarkan Birru tanpa memikirkan dampaknya. Begitu selesai bicara, ia justru terdiam, tercengang pada dirinya sendiri dan berpikir sejak kapan dia peduli pada seorang perempuan? Jennar hanya m
Setelah berhasil melewati satu sarapan paling canggung di apartemen sahabatnya itu, Jennar akhirnya pamit. Jarum jam tepat menunjuk angka delapan ketika ia mencondongkan tubuh, mencium pipi Alexa, lalu menarik napas panjang sebelum meraih sepatu haknya. “Lo yakin nggak mau diantar?” Alexa memeluk lengannya sendiri, matanya meneliti wajah Jennar yang masih sedikit kacau. Jennar mencoba tersenyum. “Nggak perlu, Lex. Gue pesan ojek online aja. Lagipula lo ada da—” “Aku aja yang antar, Kak.” Suara Birru memotong kalimatnya. Pemuda itu muncul dari lorong dengan tampilan jauh lebih rapi daripada saat sarapan, dengan kaus polo hitam menempel pas di tubuhnya, jeans gelap, rambut basah yang disisir asal, dan kunci mobil Alexa berputar di jarinya. Ia berdiri santai seperti tidak ada yang aneh dengan aksinya. Alexa melotot, “Tumben?! Biasanya kamu paling anti urusan antar jemput manusia, dik.” Birru mengangkat bahu. Lalu Jennar merasakan tatapan Alexa jatuh padanya, seperti menan
Jennar mendadak kaku. Bekas lipsticknya juga mungkin masih rancu.Suasana di apartemen mewah Alexa mendadak terasa terlalu hening.Jennar berdiri kaku di ujung meja. Bibirnya seolah rapat tak bisa menjawab pertanyaan mudah dari Alexa yang tadi mempertanyakan tentang hubungannya dengan Birru.“Jen, lo tidur dimana?” Alexa memecah keheningan dengan nada pertanyaan yang diselipi curiga. Ia masih berdiri di ambang pintu kamar, matanya tak lepas mengamati makanan yang terhidang di meja. Bubur ayam tersaji lengkap, tapi sudah dingin. Teh melati yang masih mengepul tipis memberi petunjuk, Birru lah yang menyiapkannya.“Eum… Lex. Itu…” gumam Jennar, nyaris tak terdengar.Alexa mengembuskan napas keras.Pandangannya yang awalnya hanya menuntut penjelasan, pelan-pelan merayap turun, menyapu setiap detail dari Jennar yang terlihat salah tempat pagi itu.Blazer Jennar kusut, blousenya miring karena kancing bagian atas tidak bertemu dengan lubang yang semestinya. Riasannya luntur dengan eyeliner
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan