Zayn memanggil timnya ke ruang meeting, termasuk Milly yang mulai hari ini tergabung di dalamnya—dengan terpaksa—Milly masuk ke dalam ruangan dan langung duduk di kursi yang paling jauh dari tempat Zayn. Gadis itu benar-benar tidak nyaman, apalagi melihat wajah Zayn yang terlihat lebih menyeramkan dari perkenalan tadi.
“Hai,” sapa seseorang yang duduk di sebelah Milly.
Milly tidak begitu memperhatikan karena terlalu sibuk menghindari tatapan tajam yang berasa dari Zayn. Berkali-kali Milly berusaha untuk menghela napas agar rasa gugupnya berkurang. Dia bahkan tidak tahu alasan apa yang membuat Zayn bersikap dingin padanya.
“Kau berada di tim ini juga?” sapa seseorang itu lagi.
Kali ini, Milly menoleh dan mendapati salah satu pengacara yang tadi mengenalkan dirinya dengan ramah. “Ah, Rey. Maaf aku tidak segera menyapa balik.”
Rey, salah satu pengacara di sana melukiskan senyum. “It’s ok, kau pasti gugup di hari pertamamu. Tenang saja, semuanya akan berjalan dengan lancar. Kau beruntung bisa masuk tim ini.”
Milly meringis di balik ekspresi wajahnya yang tak baik. Benarkah dia beruntung karena masuk ke dalam tim ini? Namun, kenapa justru terasa menjadi beban karena jelas sekali Zayn seperti tidak suka padanya. Bahkan dia tidak menerima jabatan tangannya tadi. Jika dipikir lagi, hal itu membuat Milly menjadi kesal.
“Karena tim sudah berkumpul semua, kita mulai meeting-nya.” Zayn memulai pembicaraan.
Tiga orang yang sebelumnya telah menjadi anggota tim Zayn segera membuka buku agendanya masing-masing. Rey, seorang pengacara rekanan yang selalu menjadi partner dari Zayn, dan dua orang lain yang bertugas sebagai penasihat, dan mitra non pengacara. Melihat itu, Milly ikut membuka buku agenda yang sudah disediakan di ruangannya tadi.
“Kalian pasti sudah saling berkenalan dengan anggota baru firma ini,” kata Zayn lagi. “Mulai saat ini, Milly Benson akan tergabung di dalam tim ini dan membantu semua hal yang membutuhkan bantuan.”
Semua mata tertuju pada Milly, membuat gadis itu mengangguk pelan sambil tersenyum canggung.
Zayn kembali menatap dingin dan tegas pada Milly. “Pastikan kau tidak membuat masalah karena kasus yang kita hadapi tidak main-main. Perlu diingat, ini adalah dunia kerja, bukan dunia kuliah lagi.”
Milly kembali terperangah dengan sikap Zayn yang luar biasa menyebalkan. Tidak, bahkan saat ini Milly merasa sangat diremehkan olehnya. “Baik.” Pada akhirnya hanya satu kata itu yang diucapkan oleh Milly.
Meeting berakhir setelah tiga jam kemudian. Kasus yang mereka bicarakan membuat adrenalin Milly terpacu. Dia benar-benar merasa bahwa dirinya sekarang adalah seorang pengacara. Saat mereka keluar satu persatu dari ruangan meeting, Milly memberanikan diri untuk memanggil Zayn. Meskipun dia masih kesal dengan semua sikap yang dilemparkan padanya, tetap saja Zayn adalah pengacara senior yang menjadi mentornya di tim ini.
“Ada apa?” tanya Zayn dingin.
Milly yang kembali diserang dengan sikap dingin Zayn menjadi gugup untuk berkata. “Begini, sebelumnya terima kasih karena telah bersedia menjadi mentorku. Selain itu, terima kasih juga karena diperbolehkan masuk ke dalam tim ini. Kedepannya, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik. Mohon bimbingannya,” ucapnya seramah mungkin.
Zayn kembali menatap Milly dengan sorot menghakimi. “Pastikan saja kau tidak membuat masalah di sini.”
Sebelum Milly sempat menjawab, Zayn sudah berlalu, meninggalkan Milly yang mendengkus kesal.
“Hei, kau baik-baik saja?”
Milly berjingkat terkejut saat mendengar Rey yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. “Astaga, kau mengagetkanku,” kata Milly sambil memegang dadanya.
“Oh, maafkan aku.” Rey terlihat menyesal karena telah mengejutkan Milly.
Melihat itu, Milly buru-buru menggeleng sambil menggoyangkan tangannya cepat. “Tidak apa-apa.”
Rey kembali tersenyum lebar. “Sudah masuk jam makan siang, kau mau makan bersama dengan yang lain? Kita akan pergi makan di restoran langganan sebelah gedung.”
Milly melihat jam tangannya. Benar saja, tidak terasa setengah hari telah berlalu dengan cepat. Beberapa orang melambaikan tangannya untuk menyuruh Rey bergegas.
“Bagaimana? Kau mau ikut?” tanya Rey lagi.
Milly mengangguk. “Tentu saja, aku akan mengambil tasku dulu di ruangan.”
“Aku akan menunggumu di lobi depan. Pelan-pelan saja, jangan terburu-buru,” jawab Rey ramah.
***
Sepiring pasta ravioli terhidang di depan Milly. Asapnya yang masih mengepul mengantarkan aroma pasta kesukaannya itu. Beberapa rekan kerjanya juga telah menyantap makan siangnya masing-masing.
“Selamat makan,” ucap Rey yang duduk di depannya dengan nada riang.
Milly terkekeh. “Selamat makan.”
Saat menyuap ravioli-nya, Milly kembali teringat dengan sikap Zayn yang membuatnya berkali-kali terperangah di hari pertamanya kerja. Dia sempat mengira sifat Zayn memang seperti itu, tapi saat dia akan keluar untuk makan siang, dia sempat melihat Zayn yang sedang berinteraksi dengan salah satu rekan pengacara yang lain. Well, di mata Milly, sikap pria itu sangat berbeda dibandingkan saat berhadapan dengannya.
“Rey, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Milly seperti begitu penasaran.
Rey mendongak untuk memandang Milly. “Tentu saja, kau mau bertanya apa?”
Milly menggigit bibir bawahnya. Sejenak, dia tampak ragu untuk menanyakan hal ini pada Rey. Namun, dia merasa harus tahu apakah Zayn juga bersikap dingin pada orang lain selain dirinya.
“Mengenai sikap Zayn. Aku tidak bermaksud untuk mengeluh. Tapi apakah dia memang selalu bersikap dingin, ketus, dan arogan sama orang lain?” tanya Milly setengah berbisik.
“Apakah Zayn bersikap seperti itu padamu?” tanya Rey balik.
Milly mengangguk cepat. Sorot matanya terlihat terluka, dia menghela napas panjang. “Sejak awal aku mengenalkan diriku padanya, dia seperti menganggapku sebagai musuh. Bahkan dia tidak membalas tanganku yang mengajaknya berjabat tangan.”
Rey terkekeh rendah. “Zayn memang selalu bersikap begitu dengan orang asing. Dingin, arogan, dan menyebalkan. Tapi percayalah, sikapnya akan berubah kalau kalian sudah semakin akrab.”
Milly memiringkan kepalanya sambil mengerutkan keningnya. Jelas dia tampak ragu dengan ucapan Rey. “Apakah kau dulu juga diperlakukan seperti itu?”
Rey terlihat berpikir. “Sejujurnya, aku sedikit lupa dengan awal pertemuanku dengannya. Tapi, menurutku biasa saja. Mungkin karena kita sesama pria, jadi aku tidak pernah mempermasalahkan sikapnya. Lebih tepatnya, aku tidak peduli.”
Milly tertawa pelan mendengar jawaban dari Rey. Benar juga, pria jarang menggunakan perasaannya saat menyikapi sebuah masalah. Mungkin, dirinya terlalu sensitif menanggapi masalah ini.
“Mungkin, kau bisa mencoba untuk bersikap sepertiku.”
“Bagaimana? Bersikap tidak peduli?”
Rey mengangguk. “Benar. Cobalah untuk tidak memasukkan hati atas semua ucapan dan tingkah Zayn yang menurutmu terlihat dan terdengar ketus. Perlahan, sikapnya pasti berubah. Zayn sebenarnya memiliki sifat yang hangat. Asalkan kau bisa dekat dengannya.”
“Dekat dengannya?” Milly tanpa sadar mengeluarkan raut wajah tidak suka sampai membuat Rey tertawa.
“Bukan dekat dalam artian ‘dekat’. Pada intinya, Zayn adalah sosok yang hangat bagi orang yang telah dikenalnya dengan baik.” Rey mencoba untuk menjelaskan agar Milly tidak salah paham.
Milly mengangguk-angguk. Walaupun sepertinya itu adalah hal yang sulit, tapi mungkin dia bisa memulai dengan bersikap tidak peduli dengan semua kelakuan Zayn yang membuatnya kesal.
“Baiklah, aku akan mencobanya. Terima kasih, Rey,” ucap Milly sungguh-sungguh.
“Are you ready?” Zayn bertanya setelah membukakan pintu mobil untuk Milly.Milly menghela napasnya panjang, kemudian tersenyum sambil menatap Zayn penuh cinta. “Aku gugup, tapi aku siap untuk hari pertamaku lagi.”Zayn tersenyum sambil menggenggam tangan Milly. Keduanya berjalan menuju ke gedung firma milik Zayn. Dada Milly berdebar kencang, sensasi awal kerja dulu kembali dia rasakan. Hanya saja, kali ini dia mendapatkan kekuatan besar yang terus menggenggamnya samapai kapan pun, Zayn.“Selamat datang Nyonya Ducan!” Rey berseru kencang begitu Milly dan Zayn masuk ke dalam lobi firma.Milly sampai berjingkat dan mundur selangkah karena terkejut dengan ledakan confetti yang sekarang telah berterbangan di depannya. Rasanya seperti dejavu, saat berada di firma lama, ketika dia selamat dari kematian.“Akhirnya Nyonya dari firma ini telah kembali ke medan pertempuran. Ayo kita bersemangat lagi!” seru Rey masih dengan penuh semangat seperti dulu.Milly terkekeh mendengarnya, dia mengangguk
Zio mengetuk pintu kamar orang tuanya, wajahnya terlihat sedikit takut saat Milly menoleh padanya. Kedua tangan Zio berada di balik punggung kecilnya, tapi tetap saja Milly bisa melihat beberapa tangkai bunga yang mencuat di belakangnya.“Kau sudah pulang, Zio? Bagaimana di kantor Daddy?” tanya Milly sambil tersenyum.Zio bergerak maju dengan perlahan, “Mom, this is for you.” Sebuah buket bunga dengan sekotak cokelat disodorkan pada Milly. “Maafkan aku tadi, Mom. Aku salah karena telah membentak Mom.”Milly langsung memeluk Zio setelah putranya itu meminta maaf. Milly tersenyum haru karena putranya semakin bertambah dewasa. “It’s okay, Zio. Lain kali jangan diulangi lagi, ya, Nak.”Zio mengangguk, lalu menegcup pipi Milly. “Iya, Mom. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi.”Milly meletakkan buket bunga dan cokelat di meja, kemudian mengajak Zio untuk duduk di tepi kasur. “Bagaimana tadi di kantor Daddy? Apa menyenangkan?”Zio mengangguk antusias. “Aku bertemu paman Rey dan beberapa t
Keributan telah terdengar di mansion saat pagi hari. Tidak biasanya situasi seperti ini terjadi, Milly sampai harus menghela napas berkali-kali karena Zio menolak untuk pergi ke sekolah.“Zio, kita sudah sepakat untuk tidak bolos sekolah.” Milly kembali membujuk putranya agar mau segera berangkat ke sekolah.“Sudah kubilang aku tidak mau sekolah, Mom!” Pertama kalinya Milly mendengar Zio membentaknya.“Apakah kau mengalami kesulitan di sekolah? Apakah ada yang mengganggumu sampai kau tidak mau pergi ke sekolah? Katakan pada Mom,” ucap Milly seraya memijat kepalanya, akibat pusing membujuk putranya.Zio menatap Milly, kemudian mengalihkan pandangannya pada mainan lego berbentuk dinosaurus yang sedang dia pegang. “Aku hanya bosan, Mom. Tidak ada yang menggangguku.”“Mom… aku akan terlambat kalau Zio tidak mau berangkat sekarang,” rengek Madysen yang telah siap berangkat.Milly mengehala napas karena kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ibunya yang selalu menjadi seseora
Milly bangun lebih awal, menyiapkan banyak makanan yang akan dia bawa. Hari ini Milly dan Zayn mengajak dua anak kembar mereka untuk bersantai di taman bermain. Wanita itu tahu anaknya sangat aktif bermain, dan berujung mudah sekali lapar.“Nyonya, biarkan saya yang menyiapkan makanan.” Seorang pelayan menghampiri Milly.“Tidak apa-apa. Biar aku saja yang menyelesaikannya. Tolong sampaikan pada pengasuh untuk memandikan Zio dan Madysen,” jawab Milly lembut.Pelayan tadi mengangguk, kemudian pergi dengan patuh untuk menyampaikan pesannya pada kedua pengasuh si kembar. Bagi Milly, meskipun di mansion ini Zayn telah menyediakan beberapa pelayan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga, tapi Milly masih sering membuat makanan sendiri untuk Zayn, si kembar, dan ibunya. Menurutnya, dengan memasak dan menyajikannya pada orang terkasih, bisa menggambarkan besar cintanya pada mereka.Beberapa saat kemudian, Zio dan Madysen telah siap. Zayn juga telah berada di luar, memanaskan mesin mobil
Beberapa tahun berlalu … Langkah kaki tegas Zayn masuk ke dalam mansion mewah yang sudah ditempati hampir empat tahun ini. Pria tampan itu telah meninggalkan penthouse dan tinggal di mansion, demi memberikan kehidupan nyaman untuk istri dan anak-anaknya.“Yeay! Daddy sudah pulang!” Sambutan hangat dari Zio dan Madysen membuat Zayn melukiskan senyumannya. Dua bocah itu memeluk erat ayah mereka. Refleks, Zayn menggendong anak kembarnya itu sambil memberikan kecupan di pipi bulat mereka.Milly tersenyum melihat Zayn sudah mendapatkan sambutan dari kedua anak mereka. Dia mendekat dan ikut memeluk sang suami yang baru saja pulang dari bekerja.“Sayang, akhirnya kau pulang. Zio dan Madysen sudah sangat merindukanmu,” ucap Milly hangat.“Ya, Daddy! Kami merindukanmu.” Zio dan Madysen terus menciumi rahang ayah mereka.Zayn tersenyum. “Daddy juga merindukan kalian. Tapi, apa kalian saja yang merindukan Daddy? Mommy kalian tidak merindukan Daddy?”“Tentu saja Mommy juga rindu. Mommy selalu bi
Sudah satu bulan berlalu dari pernikahan Milly dan Zayn. Pagi ini mereka bertandang ke Alpha Hospital untuk melakukan pemeriksaan rutin di dokter kandungan. Milly memasuki ruang praktek dengan dada berdebar karena pertama kalinya mereka akan melakukan pemeriksaan USG setelah pemeriksaan awal selepas dirinya pingsan dulu.Perlahan Milly berbaring di ranjang pemeriksaan. Tangannya terus menggenggam pada Zayn yang mendampingi di sisinya. Sementara Dokter mulai mengoleskan gel dingin dan menekan kepala alat USG di perut bagian bawah Milly, mereka berdua serentak menahan napas sambil menatap ke layar di depan untuk menunjukkan hasil rekaman USG. Jujur, meskipun hasil secara aktual tertampil di layar, tapi Milly tidak mengerti sama sekali. Terlebih saat dokter terus menerus mengucapkan kata luar biasa.“Nyonya Ducan, Tuan Ducan, Anda perhatikan di anak panah yang saya arahkan di layar. Terlihat ada dua bulatan dengan titik kecil di dalamnya,” ucap dokter setelah selesai mengidentifikasi pem