Renjana berada di kediaman orangtuanya setelah dia meminta izin pada Hanif untuk di sana sampai sore hari. Sampai Hanif pulang bekerja. Dan Renjana juga diantar oleh suaminya tadi pagi. Merasa senang karena dia dan Hanif akhirnya berbaikan dan sudah merencanakan mengenai keturunan. Hanif bilang, bahwa dia tidak ingin menunda. Juga begitu dengan Renjana. Dia menginginkan kehadiran buah hati mereka di rumah itu. Rumah besar, dengan banyak sekali kamar pastinya. Renjana juga kesepian kalau hanya ada dia di rumah itu dan Mbok Yun.
Di rumah ini dia bisa menggendong Tama, berlatih menggendong anak kecil yang nantinya dia akan menjadi orangtua. Sementara menunggu sang suami tercinta menjemput, Renjana menjaga Tama di ruang tamu. Papanya sudah pulang bekerja terlebih dahulu, ya papanya hanyalah pegawai swasta yang masih bekerja sampai sekarang. Meski pegawai swasta, tapi gaji papanya lumayan untuk biaya hidup sehari-hari. Sudah beberapa kali kakaknya Renjana meminta untuk berhenti sajaRenjana berdiri di kamar mandi sendirian menunggutest packyang digunakan. Dia mencelupkan limatest packberbeda. Salah satunya sudah memperlihatkan hasil positif, namun ada yang belum juga terlihat hasilnya. Dia menunggu cukup lama dan tiba-tiba matanya berbinar ketika semuatest packyang dia celupkan itu ternyata hasilnya garis dua yang menandakan dia positif.“Hanif!”Tidak ada jawaban. “Hanif, ke sini.”Renjana malah menangis ketika melihat hasilnya semua menyatakan dia positif hamil.BraaaakHanif masuk ke kamar mandi. “Kamu kenapa nangis? Aku kaget tadi lagi minum denger kamu jerit nangis.”“A-aku ... Hanif, a-ak-aku hamil.”Seperti sedang disambar petir, Hanif berdiri mematung dan menjatuhkan sikat gigi baru yang dibawanya ketika buru-buru masuk ke kamar mandi saat dirinya minum. “Kamu serius?”Renjana mengangguk dan m
“Jana, kamu masak apa untuk makan malam kita?”Renjana menggigit bibir bawahnya, sebenarnya ada hal yang ingin dia katakan pada Hanif. Yaitu mengenai telat datang bulan yang sudah lewat lebih dari satu bulan, Renjana berharap mengenai kehamilan. Tapi takut kalau ternyata itu hanyalah sebuah kesalahpahaman dan ternyata hanya telat biasa. Tapi Renjana takut mengatakannya pada Hanif.“Hey, kok bengong?”Renjana menoleh seketika, “Kamu bilang apa barusan?”Hanif menggeleng lalu merapikan rambutnya Renjana. “Aku bilang, kamu masak apa buat makan malam kita? Aku pengen gulai kambing.”“Pengen banget, ya? Kalau pengen banget biar aku cariin sekarang bahannya.”“Kalau kamu nggak masak, kita makan di luar, sekalian cari gulai kambingnya. Nggak tahu aja aku pengen makan gulai malam ini.”Renjana mangut tanpa protes apa pun pada Hanif. Dia juga tidak fokus ketika diajak bicara oleh Hanif.
Renjana berada di kediaman orangtuanya setelah dia meminta izin pada Hanif untuk di sana sampai sore hari. Sampai Hanif pulang bekerja. Dan Renjana juga diantar oleh suaminya tadi pagi. Merasa senang karena dia dan Hanif akhirnya berbaikan dan sudah merencanakan mengenai keturunan. Hanif bilang, bahwa dia tidak ingin menunda. Juga begitu dengan Renjana. Dia menginginkan kehadiran buah hati mereka di rumah itu. Rumah besar, dengan banyak sekali kamar pastinya. Renjana juga kesepian kalau hanya ada dia di rumah itu dan Mbok Yun.Di rumah ini dia bisa menggendong Tama, berlatih menggendong anak kecil yang nantinya dia akan menjadi orangtua. Sementara menunggu sang suami tercinta menjemput, Renjana menjaga Tama di ruang tamu. Papanya sudah pulang bekerja terlebih dahulu, ya papanya hanyalah pegawai swasta yang masih bekerja sampai sekarang. Meski pegawai swasta, tapi gaji papanya lumayan untuk biaya hidup sehari-hari. Sudah beberapa kali kakaknya Renjana meminta untuk berhenti saja
Semenjak kejadian beberapa hari lalu, sikap Renjana berubah. Mereka memang tidur sekamar. Tapi dia sering mendengar Renjana menangis tengah malam.Kadang Hanif berpikir bahwa dia akan bercerai dengan Renjana.Dibandingkan dia membuat istrinya menangis terus seperti itu. “Jana, kita bisa ngomong?”“Aku siapin sarapan apa sekarang?”Hanif terdiam ketika sikap Renjana seperti itu. Dia tahu kalau istrinya sedang menghindar. Pasalnya sudah beberapa hari ini dia tidak punya kesempatan untuk bicara dengan Renjana.Perasaan Hanif sangat nyeri karena istrinya yang masih marah. Ya ini karena keegoisannya sendiri. Mungkin nanti bisa diselesaikan baik-baik. Jika tidak, mau tidak mau Hanif menyudahi dan harus rela melepaskan Renjana meskipun dia sudah ada perasaan terhadap istrinya.Dia berangkat dengan perasaan yang cukup kacau. Dan pulang juga dengan keadaan hati yang kacau juga.Hanif memilih ke suatu tempat menenangkan hatinya, diban
Hanif rela tidak pergi ke rumah orangtuanya karena Renjana sudah berjanji akan memberikan haknya sebagai seorang suami. Namun, kenyataan itu tidak seperti apa yang harusnya terjadi.Renjana tidur.Renjana malah meninggalkan dia tidur ketika dia sedang menyelesaikan pekerjaannya sedikit karena harus dikirim malam itu juga. Dan semakin yang membuatnya kesal lagi, dia berusaha membangunkan Renjana. Tapi istrinya semakin terlelap.Hanif marah, jelas dia marah karena dia membatalkan pergi ke rumah orangtuanya karena alasan itu. Renjana Bisa-bisanya Tidur sebelum jam sembilan malam kemarin.Alasan yang sangat tidak masuk akal kalau Renjana tidur jam delapan. Dan sudah pasti istrinya pasti sedang membohonginya karena gugup sedari awal.“Hanif, mau sarapan apa?”Dia malah pergi begitu saja setelah mengambil tasnya dan masih marah pada Renjana. Nafsunya sudah di ubun-ubun ingin menyentuh. Tapi Renjana tidur, dan paling menyakitkan lagi dia harus mena
“Jana, kamu ikut nggak ke rumah, Mama?”Renjana baru selesai memasukkan pakaiannya ke dalam lemari yang baru saja selesai di setrika oleh asisten di sana. “Ke rumah mama kamu atau mama aku?”Di kamar yang cukup luas, mereka bisa menyaksikan seorang anak main kejar-kejaran dengan orangtua ketika sedang bercanda. Bayangan itu mulai bermunculan di dalam kepala Renjana. Namun, untuk melakukan hal selanjutnya justru rasanya agak sedikit takut. Bayangan sakit, malu dan juga tidak siap dengan malam pertama yang pernah dia dengar dari beberapa temannya tentang rasa nyeri yang sampai pagi bisa dia rasakan. Bahkan berhari-hari bisa ia rasakan juga.Baru saja dia menutup pintu lemari, Hanif malah memeluknya dari belakang. “Aku ajak kamu ke rumah mama aku. Kita belum pernah ke sana sejak menikah. Mama terus yang nyusulin ke sini.”Renjana tidak bekerja, takut jika dia mendapatkan ledekan dari orang- orang yang ada di rumahnya Hanif. Semenj