Kupikir setelah menikah segalanya akan mengubah hidupku layaknya puteri-puteri di negeri dongeng. Ternyata Aku salah justru pernikahan yang selalu ku impikan menjadi bumerang yang sulit sekali ku hindari! Dari cobaan hidup yang menerpa sampai memiliki seorang suami yang posesif, menekan dan kasar. Hidupku bagai di neraka! Kadang ku berpikir bagaimana kalau ku akhiri saja hidupku? Aku dijual suamiku sendiri hanya karena perekonomian keluarga kami yang sulit dan sialnya lelaki yang membeliku adalah Dion Pratama.
View MoreGubrak!
Pintu tiba-tiba didorong dengan sangat keras, Aku yang sedang tidur langsung terkejut dan buru-buru bangun. Suamiku tampak berdiri di depan pintu, wajahnya marah lalu di tangannya ia membawa sebuah gayung. "Dasar isteri pemalas!" Tanpa adanya belas kasihan Awan segera menyiram wajahku dengan segayung air, Aku yang masih setengah sadar tentu saja kaget bukan main, itu karena hidungku di masuki air. Aku terdiam sambil mengelap wajahku pelan. Dia berjalan mendekatiku dan tanpa ku duga tamparan keras tiba-tiba mendarat di wajahku. Refleks ku pegang pipiku. Tamparan ini sungguh perih bahkan bibirku sampai berdarah, kerap kali aku mendapat pukulan dari pria kejam di hadapanku ini, jika saja ada sesuatu yang tak sesuai keinginannya. Aku tak bisa berkata-kata merasakan rasa sakit itu. Dan airmata ku pun mulai mengalir. "Apa kesalahan yang kamu lakukan hari ini? Hah!" Bentaknya. Aku menggeleng pelan, Aku tak bisa menebak. "Jawab Asti! Sebelum kemarahanku menghabiskan nyawamu!" Geramnya. Ku lihat wajah itu semakin merah membara, seakan di rasuki setan tangan kanannya segera meraih ujung rambutku dan menariknya kuat. Aku berteriak, berusaha melepaskan diri tapi dia terlalu kuat. Tiba-tiba aku teringat kalau di meja makan belum ada satu pun makanan yang tersedia, mungkin inilah alasan dia Awan naik pitam. "Uang yang Abang kasi sudah habis bang." Jawabku gemetaran. "Habis?" Tanyanya datar. "Iya, habis dan uang yang abang kasih itu ngak cukup. Uang seratus ribu untuk sebulan cukup sampai kemana Bang?" Ku coba memberanikan diri untuk membantah. "Ngak cukup kamu bilang? Isteri macam apa dirimu! Dasar boros!" Aku menggeleng putus asa dan perlahan dia melepaskan cengkraman nya di rambutku, aku sedikit lega tapi sayangnya itu tak bertahan lama. "Ah, sakit bang! Apa yang abang lakuin?" Tanyaku sambil memegangi tangannya yang mencekik leherku. "Bang, lepaskan! Aku bi-bisa mati!" Ujarku berusaha melepaskan diri darinya. "Kalau terus-terusan kamu kayak gini aku bisa aja Aku ceraiin kamu!" Awan segera melepaskan tangannya dari leherku. "Jangan, kumohon Bang maafin Aku, mulai hari ini Aku akan mencari pekerjaan supaya setiap hari Aku bisa siapin makanan buat Abang." Ucapku pelan. Aku tak tahu kenapa aku bisa bertahan sejauh ini. Tak terasa pernikahan yang ku jalani sudah berjalan hampir lima bulan, selama itu suka duka dan penyiksaan ku lalui tanpa adanya rasa mengeluh. Aku sudah ikhlas menerima setiap perlakuan kasar dari suamiku. Namun pagi ini ada yang aneh, Aku merasa seperti tak enak badan. Merasa meriang dan bercampur aduk. Di tambah lagi di dapur tidak ada bahan makanan apapun yang bisa di masak. "Bang, kepalaku pusing aku butuh obat?" Pintaku padanya yang masih berdiri dengan malas. "Kamu pikir kau siapa! Berani mengeluh padaku urus saja dirimu sendiri! Jangan banyak drama!" Katanya kesal. Aku tak kuasa menyahut tapi rasanya badanku sudah tidak kuat lagi, badanku menggigil hebat. Dan mataku mulai kabur serta berat sekali rasanya, sehingga Aku tak kuasa lagi untuk membuka mataku. "Gimana keadaan isteri saya?" Samar-samar ku dengar suara suami, tapi kesadaran ku sepenuhnya belum pulih, Aku masih bingung apa yang terjadi denganku? Perlahan segera ku buka mataku dan astaga di mana Aku? Ini bukan kamar kontrakan ku. Aku bisa mengingat jelas, ruangan ini memang bukan kamarku. "Isteri kamu baik-baik saja, dia cuma kelelahan. Maka dari itu di jaga dulu ya pak isteri nya, takutnya nanti berpengaruh sama janinnya." Jelas orang yang suamiku tanyai. Ku lirik Awan dan pria paruh baya yang berdiri disampingku, pria itu ternyata adalah seorang dokter. Dia tersenyum dan segera berjalan keluar. Merasa sepertinya Aku sudah sadar, Mas Awan pun menoleh. "Tadi kamu pingsan!" Ucapnya langsung. "Pingsan? Hanya pingsan? Mengapa bisa?" Tanyaku pelan "Kamu pingsan karena kamu hamil." 'Hamil? Ya Tuhan sebegitu cepatnya kah? Padahal sebenarnya Aku masih belum siap. Aku tidak yakin jika semua ini akan baik-baik saja tapi ternyata Allah lebih percaya padaku.' Batinku sedih. Aku sedih karena sikap kasarnya Awan sehingga membuatku hampir-hampir saja memilih untuk kembali kepada kedua orangtuaku tapi nyatanya sekarang aku justru hamil. "Kamu cuma kecapean jadi nanti kalau di rumah jangan terlalu di porsir tenaganya, lagian kerjaan mu cuma di rumah." Jelas Awan tidak suka. "Beban ya kalau ternyata Aku hamil?" "Ngak juga sih." "Lalu kenapa wajah abang kayak ngak bahagia?" "Ngak penting buat kamu tahu." Jawab Awan tegas. Aku tak menjawab dan coba bersikap tenang. Semua yang terjadi ternyata tak seperti film yang biasa ku tonton, dimana seorang suami akan bahagia jika mendengar isteri nya hamil. Aku tertawa sendiri dalam hati, menertawakan kebodohanku yang terlalu naif. Aku bangun dari ranjang sakit itu, menahan sesak di dadaku, biarlah aku tak perduli! "Pelan-pelan." Katanya. Kupikir Awan tak memperhatikan saat Aku yang bangun sembarangan. "Apa perduli mu?" Tanyaku. "Karena kamu isteriku! lagian ni ya kalau kamu tambah sakit, siapa juga yang bakalan susah dan kerepotan, Aku jugakan." "Udahlah bang ngak usah sok perduli, aku ngak butuh perhatian khusus dari abang, toh aku cuma status di buku nikah! Bukan sampai ke hati abang." Awan tak menggubris omelanku dia malah memegangi lenganku dengan hati-hati, menuntunku agar bisa berdiri. 'Ya Tuhan, kenapa waktu pingsan tadi ngak langsung bablas aja ke akhirat biar dia tahu gimana sakitnya ditinggal. Ah bodoh sudah pasti dia tidak akan sedih, toh dia tidak mencintaiku kan?' "Kita akan langsung pulang, biaya pengobatan tadi sudah ku bayar!" Katanya mengalihkan pembicaraan ku tadi. "Dari mana abang dapat uang?" "Itu tanggung jawabku dan kamu ngak perlu tahu." "Aku ini siapa sih bang? Kenapa semuanya harus rahasia?" "Udahlah jangan bawel! Kita sedang di rumah sakit, ngak malu apa dari tadi ngomel terus." Aku tak menjawab dan terdiam seribu basa dibuatnya. Lucunya hidup ini, harus pasrah oleh keadaan. Rasanya Aku tak ingin pulang, Aku enggan untuk pergi dari sini, tapi melihat ku yang tak ada respon Awan tiba-tiba menyentak tanganku. "A-aduh bang sakit!" "Aku paling ngak suka jika ada orang yang diam-diam melawan! Jadi cukup sekali Aku bicara dan kamu harus peka." Dia terus menarik tanganku dan menyeret ku untuk segera keluar dari ruangan itu. Tanganku sungguh sakit tapi apa gunanya berteriak memohon agar dia mengasihi ku, nyatanya pria yang bersamaku ini kejam."Dion ini aku." Cercanya langsung. "Bagaimana kabarmu hari ini? Aku akan memeriksa kakinya dan mungkin juga kau harus melakukan pijat refleksi lagi." Tanya Pras pelan. Dion menoleh dan memberinya senyum. "Kau tahu bahwa hari ini aku baik-baik saja." Dion berkata sambil meletakkan pelan cangkir kopi yang dia pegang. Pras membalas senyumnya dan mulai berjalan mendekatinya, lalu secara pelan pria itu menjongkok. Pras memegang kakinya dan mulai melakukan penekanan. "Apa ini sakit?" Tanyanya. "Tidak." Jawab Dion mantap. "Lalu bagaimana dengan ini?" Pras menekan lebih kuat lagi. "Juga tidak sakit." Dion menggeleng. "Baik, setelah ini kau harus pergi kerumah sakit, saraf kakimu masih perlu pemeriksaan." Jelas Pras kalem. "Baik." Dion memalingkan wajahnya. "Kau sudah bisa berjalan kan?" Pras lalu berdiri. "Jangan khawatir." Dion mencubit hidung mancung nya sendiri. Lalu pria di sampingnya ikut duduk. "Dion, semalam aku mendapat informasi dari bawahanmu, ya dia menghubungiku karena
Melisa berjalan mendekati Dion, aroma parfum itu sungguh menyebar kemana-mana. "Sayang, kau sudah mandi? Apa perlu aku memandikanmu? Tapi ini sudah sangat larut, bagaimana jika kita tidur saja?" Katanya pelan. Lelaki tampan itu tetap dingin dan tanpa ekspresi. Tak perlu jawaban Melisa langsung mendorong kursi roda yang di duduki Dion menuju ranjang mereka, setelah sampai Melisa ingin membantunya berdiri tapi tangan kekar Dion segera menepis nya. "Apa ada yang salah?" Tak ada jawaban, Dion langsung saja memapah tubuhnya sendiri keatas ranjang, perempuan cantik itu hanya menatapnya dengan tarikan nafas yang kesal namun dia harus menahannya demi permainan cantik dirinya dan sang ibu. Melisa kini perlahan mendekatinya, sontak saja pria itu terkejut. "Melisa, apa yang kau lakukan? Kembali ke kamarmu." Hardik Dion keras. "Sayang kecilkan suaramu, bagaimana kalau malam ini kita jadikan malam yang takkan pernah terlupakan, kau tahu kan bahwa sekarang aku adalah istrimu." Tangan halu
Saat itu jarum jam tepat menunjuk pada angka sebelas dimalam hari. Melisa dan Sri tampak tertawa kecil di balkon rumahnya."Oh malangnya nasibmu sebagai jalang yang tak tahu diri, pasti kau sudah tenangkan di alam sana?" Ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi ketika dia melihat kiriman video yang baru saja bodyguardnya kirimkan."Sekarang, kau bisa lebih leluasa memiliki Dion putriku. Perempuan jalang itu memang pantas di lenyapkan dari muka bumi ini." Sri menatap sang anak. Anggukan bahagiapun terlihat dari raut wajah melisa yang memerah."Bagaimana jika kita rayakan kemenangan ini bu.""Jangan dulu nak, ibu takut jika ada yang mencurigai kita, sekarang pulanglah mungkin saja Dion mencarimu.""Aku sudah sedikit ifill padanya bu." Dalam sekejap wajah melisa yang memerah tadi berubah."Ada apa?""Bukannya ibu tidak tahu bagaimana perubahan Dion setelah kecelakaan meminum racun itu, dia lebih banyak berdiam dan bahkan sekarang dia lumpuh, apalagi yang bisa kubanggakan dari dia bu.""Oh kau
Rasa putus asa serta bingung, itulah yang kurasakan sekarang, ruangan ini sungguh membuatku serasa ingin mati. Ketika aku tenggelam dalam ketakutan. Tiba-tiba terdengar deritan pintu di buka. Aku menoleh, sesosok bayangan seorang wanita muncul diikuti beberapa pria di belakangnya. "Selamat datang calon menantuku yang bodoh, bagaimana rasanya? Pasti kau sangat kebingungan ya ketika di bawa keruangan ini?" Ujarnya seperti berbisik. Senyuman sinis kini terlihat dari bibirnya yang merah merona. "Apa mau kalian!" Bentakku kemudian. "Baiklah, sekarang aku akan menjelaskannya padamu jadi kuharap kau bisa bekerja sama." Aku bungkam, masih memahami keadaan ini, bagaimana aku tidak bingung. Ketika aku naik mobil bersama pria misterius itu, di tengah perjalanan tiba-tiba tiga orang pria menyergap kami dan langsung membawanya kesini. Oh ya kupikir mungkin aku di culik? Tapi untuk apa orang-orang ini menculikku? Aku bukan siapa-siapa, bukan pula orang yang terkenal? Mungkinkah mereka butuh gi
Dia seolah tak perduli akan deringan ponsel yang terus berbunyi. Alhasil endingnya dia nonaktifkan juga ponsel itu. Seketika suasanapun kembali sunyi.Sudah seminggu Arya dibuat pusing oleh Dina dan pada akhirnya pilihan lelaki itu adalah berselingkuh demi memuaskan nafsu biologisnya yang terus saja menuntut. Arya masih muda dan sebagai lelaki yang sudah menikah tidak mungkin dia akan bisa hidup tanpa kebutuhan itu.Mas Arya pulang ketika hari sudah gelap, keadaan rumah sunyi, lelaki berperawakan tinggi itu langsung masuk kekamar dan melihat kak Dina tengah memeluk anak semata wayang mereka."Mas kamu baru pulang?" Tanyanya serak karena saat itu kak Dina baru saja bangun tidur. Dia bangun ketika mendengar langkah kaki mas Arya."Sudah.""Mas sudah makan?""Sudah. Ada apa tadi sore kamu telpon? Mas lagi sibuk dan lain kali jangan ganggu mas, maskan lagi memulai bisnis.""Bisnis apa mas? Kitakan sudah enak kerja di PT dan gajinya juga menjanjikan!""Gaji kita belum cukup untuk pendidika
Setelah kurasa perjalananku sudah cukup menjauh dari rumah sakit, aku duduk sejenak di sebuah rumah kosong. Sambil sesekali memijit kakiku yang pegal. Dor! Terdengar suara tembakan dari arah yang berlawanan, kontan aku yang berada di situ seketika menggigil ketakutan. Tanpa bisa ku tebak dari mana sumbernya tiba-tiba sebuah tangan yang kekar menarikku kuat. Aku tak bisa mempertahankan diriku sendiri, aku terpaksa mengikutinya dan entahlah sudah sejauh mana aku dan pria misterius itu berlari. "Berhenti! Tolong berhenti! Siapa kamu?" Tanyaku berani-berani takut. Dia tak menjawab, wajah itu tertutup kain, tentu saja aku tak mengenalinya. Lalu perlahan-lahan aku ingin menjauh darinya namun itu hanya mimpi, pria itu tak akan semudah itu melepaskanku. "Kau harus ikut denganku!" Terdengar suara barito. "Tidak! Biarkan aku pergi." "Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi, kau dalam bahaya nona." Ujarnya lagi. "Drama tragis apa lagi ini?" Aku benar-benar tak mengerti apa maksud dari pria
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments