Siapa yang mengira, kalau suami yang sudah kita percayai, bangga-banggakan, bahkan dianggap sebagai sosok sempurna adalah seorang penjahat licik? Itulah yang dialami Tamara Aurelia Prameswari. Suaminya berselingkuh dengan teman dekatnya sendiri. Tapi, Tamara tidak akan diam saja. Dia berpura-pura tak mengetahui perbuatan buruk suaminya demi menjalankan rencana yang sudah ia susun. Sebenarnya rencana apa yang sudah dibuat oleh Tamara?
View MoreTamara Aurelia Prameswari, seorang wanita berusia 26 tahun dan menjadi istri dari seorang direktur utama bernama Hendra Pratama. Pasangan suami istri itu bekerja di satu perusahaan yang sama. Dimana Tamara bekerja sebagai Manajer Keuangan.
Tuk..tuk...tuk Suara ketukan sepatu terdengar keseluruh penjuru rumah. Rumah yang menjadi tempat tinggal Tamara dan Hendra selama 2 tahun ini. Lebih tepatnya, rumah Tamara yang diberikan oleh kedua orang tuanya. "Nyonya Tamara, anda sudah ditunggu oleh Mbak Kalina diruang kerja." Bi Asni, asisten rumah tangga di rumah itu memberitahukan kepada Tamara. "Baik bibi, terimakasih. Tolong bawakan jus jeruk dan beberapa camilan ke ruang kerja saya ya " "Baik nyonya." Bi Asni mengangguk sopan. Tamara segera melanjutkan langkahnya. Kalina sudah mendapat izin dari Tamara sendiri. Sehingga wanita itu bisa menunggu di ruang kerja Tamara dengan tenang. "Hai Lina.” sapa Tamara. "Raaaa.... akhirnya kamu pulang juga, aku sudah menunggu sejak tadi." Kalina langsung memeluk sahabatnya. Dua orang itu sudah menjadi teman dekat sejak kelas 1 SMA. Tamara mengajak Kalina untuk berbincang sebentar. "Oh iya, kamu pulang sendiri? Hendra mana?" tanya Kalina. "Mas Hendra sedang ada meeting dengan client. Mungkin nanti dia pulang malam, soalnya masih ada lemburan disana.” "Ohh, tapi kok kamu sudah pulang? Kan masih sore.” Tamara terkekeh dengan pertanyaan sahabatnya. "Aku kan istrinya, Lina. Jadi ada sedikit bantuan dari orang dalam. Yang penting aku masih bertanggung jawab dengan pekerjaanku sendiri.” Kalina membulatkan mulutnya. Ada raut wajah berbeda dari wanita itu ketika Tamara menyebut dirinya sebagai istri Hendra. Namun, Tamara belum menyadarinya. "Aku ke toilet dulu ya Ta, sudah nggak tahan banget ini.” Kalina memegang perutnya. "Ya sudah sana, aku tunggu disini." Kalina langsung meninggalkan Tamara. Ketika Kalina lewat didepannya, Tamara mencium aroma parfum yang sangat ia kenal. Tamara semakin menajamkan indra penciumannya. Untuk meyakinkan diri, diam-diam ia mengambil cardigan milik Kalina dan menciumnya. "Bau ini.... seperti parfum milik Mas Hendra. Tapi apa mungkin?" Tamara merasa denial, ia tidak percaya kalau sahabatnya ada main dengan suaminya sendiri. Namun, parfum milik Hendra ini adalah hadiahnya saat Hendra berulang tahun. Jadi ia yakin kalau tidak ada aroma yang sama persis dengan parfum buatannya. "Parfum ini racikanku sendiri. Mana mungkin Kalina bisa menirunya?” Rasa penasaran Tamara semakin menjadi. Ia pun memilih untuk mengikuti Kalina diam-diam. ••• "Sayang... kamu kok nggak pulang sih! Padahal aku kesini itu untuk ketemu sama kamu, tapi malah Tamara saja yang pulang!” Di toilet, Kalina sedang menghubungi pujaan hatinya. Yang tak lain adalah Hendra, suami sahabatnya sendiri. "Maaf sayang, tapi aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Kan aneh kalau aku meminta orang pengganti untuk ikut meeting. Nanti Tamara malah mikir yang aneh-aneh." Jawab Hendra. "Ihhh! Pokoknya aku nggak mau tahu, malam nanti kamu harus datang ke apartement. Aku sudah kangen banget sama kamu Mas Hendra!” "Tapi Lin....” "Aku nggak terima alasan apapun. Bisa nggak bisa ya harus bisa. Ngomong apa gitu sama Tamara, biar dia izinin kamu pergi. Toh kamu kan kepala rumah tangga, masa takut sama istri!” "Iya-iya nanti aku kesana, sudah jangan marah. Kita juga baru bertemu pagi tadi kan?” "Ya sudah, aku matiin telfonnya. Bisa gawat kalau Tamara tahu." Rasanya Tamara seperti dihantam oleh bongkahan batu besar. Dada wanita itu berdenyut nyeri, perlahan-lahan air matanya turun membasahi pipi putihnya. Tamara segera pergi dari sana, sudah cukup ia menguping pembicaraan Kalina. Apalagi ketika sahabatnya menyebut nama sang suami. "Nyonya, ada apa? Kenapa nyonya Tamara menangis?" Bi Asni berseru panik. Ia baru saja mengantar makanan ringan ke ruang kerja Tamara, tetapi malah menemukan Tamara sedang berjalan sambil menangis. "Bi... tolong nanti bilang sama Kalina kalau saya pergi karena dijemput Firza.” ucap Tamara, suaranya tertahan ditenggorokan. "I-iya Nyonya. Tapi apa Nyonya yakin kalau baik-baik saja?” Tanya Bi Asni. Bagaimanapun ia sudah bekerja di rumah itu sejak Tamara pindah kesana setelah menikah. Tamara hanya bisa mengangguk, lalu melangkah lebar menuju kamarnya sendiri. Tamara mengunci pintu rapat-rapat. Ia menenggelamkan wajahnya di bantal untuk menyamarkan tangisannya. Bi Asni masih berdiri di depan ruang kerja, ia menunggu Kalina datang. Wanita paruh baya itu terus melihat kamar majikannya yang letaknya bersebelahan dengan ruang kerja. "Bibi ngapain?” Bi Asni tersentak, ia menoleh dan tersenyum dengan paksa. "I-ini mbak, tadi nyonya Tamara pergi. Nyonya tidak sempat untuk berpamitan dengan mbak Kalina, karena nyonya sudah dijemput oleh Den Firza.” "Apa? Tamara apa-apaan sih. Ada tamu kok nggak sopan gini!” Kalina menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Ia masuk ke ruangan untuk mengambil tas dan cardigannya dan berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kalina Marista, sudah menjalin hubungan gelap dengan suami sahabatnya sendiri sejak satu tahun lalu. Sebenarnya Kalina sudah menyukai Hendra, sebelum Hendra menikah dengan Tamara. Namun cintanya ditolak mentah-mentah karena Hendra sudah lebih dulu berpacaran. Dari situlah Kalina merasa marah, ia berpikir jika Tamara sudah merebut calon kekasihnya. Sampai ketika Tamara sedang pergi bersama adiknya, Firza. Dan keadaan rumah saat itu sedang sepi, hanya ada Hendra disana. Kalina memanfaatkan kesempatan untuk menggoda Hendra. Ia beralasan akan menunggu Tamara sampai pulang. Akan tetapi, Kalina malah merayu Hendra sampai mereka melakukan hal diluar norma. "Kalina, aku menyesal tidak memilihmu." Ucap Hendra kala itu. "Salahmu sendiri, kalau begini bagaimana? Kamu masih tidak mau memilihku?" "Sulit bagiku sayang.... aku bisa bekerja karena dicarikan oleh Tamara. Rumah ini juga miliknya, kalau aku nanti menceraikan dia tanpa sebab, aku langsung terusir dari sini." "Kalau begitu, kamu bisa menjadikanku kekasih gelapmu. Nanti kamu harus bisa merebut rumah ini dari Tamara. Kalau urusan pekerjaan kan jabatan kamu lebih tinggi dari dia. Jadi nanti kita kuras dulu semua hartanya, baru kamu pecat. Dengan begitu Tamara tidak akan bisa melakukan apapun." "Ide bagus, kamu pintar sekali sayang.” Hendra mencium kekasih barunya. Mereka berpelukan diatas ranjang, ranjang yang menjadi tempat tidur Tamara dan Hendra. Tamara menangis sampai dua jam lamanya. Ia turun dari atas kasur dan melihat pantulan dirinya dikaca. "Tamara bodoh! Bisa-bisanya kamu menangisi lelaki bajingan itu! Tolong pintarlah sedikit, kalau kamu lemah... kamu akan semakin diinjak-injak, Tamara! Kemana harga dirimu nanti!" Tamara menatap dirinya sendiri dengan tajam. Wanita itu menunduk dan mendongak kembali. Kali ini bibirnya terukir sebuah senyuman, senyum yang menyimpan sebuah dendam. "Aku akan membalas kalian.... kalian mempermainkanku? maka aku juga akan mempermainkan kalian. Tunggu saja waktu bermainku para manusia licik!"Tamara keluar dari parkiran basement setelah mobilnya terparkir dengan rapi. Derap langkahnya menuju pintu depan Mall besar yang kini tampak ramai orang. Pintu kaca otomatis terbuka ketika sensornya mendeteksi adanya langkah kaki. Tamara menganggukkan kepalanya ramah kepada seorang satpam yang berjaga didekat pintu. Toko-toko barang yang paling mahal sampai yang paling murah, semuanya berjajar rapi. Lampu di atrium 1 sangat menyilaukan, tapi tetap terlihat sangat cantik. Tamara memilih untuk ke atrium 3 terlebih dahulu, karena ia merasa lapar. Baru nanti akan ke atrium 4. Wanita itu menaiki lift bersama pengunjung lain, tak lupa ia menyunggingkan senyum manis. Baginya, kesopanan adalah adab nomor 1 yang harus diterapkan. Tamara masuk ke dalam restoran yang menjadi langganannya selama ini. “Selamat datang kak, mau ambil meja untuk berapa orang?“ tanya pelayan. “Satu orang.“ Jawab Tamara. Pelayan itu akhirnya mengantar Tamara ke meja yang dekat dengan kaca tembus pandang.
"MAS HENDRA! MANA UANGNYA!" Hendra memejamkan mata dan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Kalina langsung berteriak ketika ia baru saja mengangkat telepon itu. "Kalina! Tidak bisakah kamu berbicara baik-baik! Suaramu itu membuat telingaku sakit!" Sentak Hendra. "Kamu sih, aku minta transfer tapi belum juga dikirim sampai sekarang!" "Dengar, Tamara sudah membatasi aksesku. Jadi aku tidak bisa mentransfer uang kantor lagi." Hendra berusaha memberikan penjelasan. "Apa? Ck! kalau tidak bisa ya pakai uang pribadimu saja mas! masa sih kamu semiskin itu?" Hendra memukul udara, ia merasa kalau hari ini adalah hari tersial baginya. Namun, jika bersama Kalina ia harus menahan semua emosi yang menumpuk dikepala. "Astaga Kalina, tabunganku hanya tersisa 200 juta. Dan aku belum mendapat gaji, kamu lupa kalau satu bulan saja kamu bisa menghabiskan uang sebesar 400 juta?" "Iya-iya aku ingat. Terus bagaimana mas? Satu jam lagi aku sudah mau pergi!" Suara Kalina terdengar
Sinar mentari pagi menyinari rumah yang berdiri kokoh. Bi Asni sudah berjalan kesana kemari karena disibukkan dengan pekerjaan rumah. Ting... tong.... ting... tong Dengan tergopoh-gopoh wanita itu menuju pintu depan. Awalnya Bi Asni mengira yang datang adalah Hendra. "Pagi Bi." "Pagi Den. Tumben sekali Den Firza datang pagi-pagi sekali.” Bi Asni membuka pintu itu semakin lebar. "Saya mau ambil sampel parfum dari kakak." "Oh, langsung ke kamar saja Den. Sepertinya Nyonya masih tidur.” Firza mengangguk ragu, tapi ia tetap menuju kamar kakak perempuannya. Tanpa mengetuk pintu, Firza masuk begitu saja. Tamara yang masih bersantai diatas kasur terjingkat kecil. "Firza! Nakal kamu ya, udah kakak bilang kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu!” omel Tamara. "Kelamaan Kak, Kak Rara kok nggak ke kantor sih? Biasanya jam segini udah nggak kelihatan batang hidungnya." Rara adalah panggilan kesayangan dari Firza. Lelaki berusia 24 tahun itu memang memilih bahasa santai ketika berbic
Malam ini Tamara berdandan sangat cantik. Ia ingin menunjukkan kepada Hendra bahwa selingkuhannya itu sangat tidak pantas jika dibandingkan dengannya. "Tamara, kamu ini cantik sekali. Tapi sayang, mata suamimu itu buta. Dia lebih memilih wanita jelek itu daripada kamu." ucap Tamara kepada dirinya sendiri. Wanita itu keluar kamar dan menuruni tangga untuk menuju dapur. Ia ingin memakan salad sayur buatannya sendiri. Sekitar pukul 21.00, Hendra baru pulang ke rumah. Saat itu Tamara sedang menyiapkan irisan daging untuk dimasak esok hari. "Nyonya, biar saya saja. Nyonya istirahatlah di kamar." Bi Asni berdiri disamping majikannya. "Tidak perlu Bi, saya juga bosan diam saja. Mata ini sakit kalau terus-terusan melihat layar komputer. Jadi besok Bibi tinggal masak daging yang saya iris ini ya?" Jawab Tamara. "Baiklah Nyonya, kalau Nyonya butuh sesuatu... panggil Bibi saja ya?" Tamara mengangguk singkat. Gerakan tangan Tamara semakin melambat saat terdengar langkah kaki yang sud
Tamara Aurelia Prameswari, seorang wanita berusia 26 tahun dan menjadi istri dari seorang direktur utama bernama Hendra Pratama. Pasangan suami istri itu bekerja di satu perusahaan yang sama. Dimana Tamara bekerja sebagai Manajer Keuangan. Tuk..tuk...tuk Suara ketukan sepatu terdengar keseluruh penjuru rumah. Rumah yang menjadi tempat tinggal Tamara dan Hendra selama 2 tahun ini. Lebih tepatnya, rumah Tamara yang diberikan oleh kedua orang tuanya. "Nyonya Tamara, anda sudah ditunggu oleh Mbak Kalina diruang kerja." Bi Asni, asisten rumah tangga di rumah itu memberitahukan kepada Tamara. "Baik bibi, terimakasih. Tolong bawakan jus jeruk dan beberapa camilan ke ruang kerja saya ya " "Baik nyonya." Bi Asni mengangguk sopan. Tamara segera melanjutkan langkahnya. Kalina sudah mendapat izin dari Tamara sendiri. Sehingga wanita itu bisa menunggu di ruang kerja Tamara dengan tenang. "Hai Lina.” sapa Tamara. "Raaaa.... akhirnya kamu pulang juga, aku sudah menunggu seja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments