Setelah melewati pertarungan sengit yang berdarah-darah, akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Nyaris seluruh warga desa kentamani berkumpul di area pertandingan. Duduk dengan perasaan semangat dan menggebu karena tak lama lagi mereka akan menjadi saksi kemenangan seorang pendekar hebat yang tak terkalahkan. Entah kemenangan akan berpihak pada pendekar kebanggaan mereka--Galasakti, atau justru akan menjadi titik balik kejayaan pendekar Gara yang sempat pudar.Beberapa komplot orang bahkan tak ragu mempertaruhkan uang mereka untuk pertandingan ini demi meraup keuntungan yang lebih besar. Mayoritas memegang pendekar Galasakti sebagai jagoan, dan hanya sebagian kecil yang menjagokan pendekar Gara. Mereka tidak mau bertaruh untuk sesuatu yang tidak pasti jika ada di pihak Gara. Yang jelas-jelas saja, untuk saat ini dari segi apa pun tentu pendekar Galasakti lebih unggul. "Hai Gara, sudah lama kita tidak bersua. Kau masih ingat padaku?" sapa Galasakti saat merek sudah berhadapan di arena
"Aku tidak akan membunuhmu Gara tapi akan kupastikan kau kalah dengan telak!" ungkap Galasakti sambil menghempas pedang Gara dengan sekali hembusan napas.Pedang itu serupa lembar ketas yang tertiup angin dengan mudahnya. Kini Gara tidak lagi memiliki senjata untuk melindungi diri. Dia berguling saat pedang Galasakti hendak menyayat perutnya. Alhsil hanya tanah yang terbelah karena serangan kejam itu. Kumbara dan Larasati sudah melemas, Sagara berada di ujung kekalahan. Mereka meneteskan air mata, bahkan Larasati sampai menjerit ketika darah segar menyiprat dari bagian perut Sagara. Ya, pria itu terkena sabetan pedang tajam Galasakti."Sudah hentikan! Gara sudah tidak berdaya, tolong jangan menyerangnya lagi!" teriak Larasati, ia bergegas keluar dari area penonton hendak menghampiri Sagara yang terluka parah."Bunyikan gongnya! Hentikan pertandingan ini sialan! Temanku sudah sekarat!" amuk Kumbara yang kini sudah berada di tempat penyelenggara pe
Jangan suka cemberutJangan suka khawatirItu suara kentutBukan suara petirJalan-jalan ke sama pelautBawa agar-agar dibalur susuWahai Sagara kenapa cemberutKalau sedih hati lihatlah akuSaga mengekeh geli mendengar pantun asal Omen, tak ada angin tak ada hujan, anak itu tiba-tiba muncul di samping Sagara yang tengah termenung seorang diri di belakang rumahnya.“Kenapa sih Ga, cemberut mulu, senyum ngapa senyum,” tukas Omen bermaksud menghibur.Tanpa perlu dijelaskan sebenarnya Omen sudah tahu apa alasan Sagara murung begini. Pagi tadi Saga kembali dipermalukan oleh teman-teman sekelasnya, perkara dia yang tidak bisa mengikuti kelas olahraga dengan maksimal. Saat tes renang gaya kupu-kupu, orang lain meluncur dengan indah sementara dia hanya stuck di tempat dan bergerak rusuh seperti ikan kehabisan air. Menjadi bahan t
“Mang Basir sudah lama menetap di Kentamani?” tanya Gara yang duduk tepat di samping pak kusir yang tengah berkuda. Sementara Kumbara dan Larasati duduk di kursi belakang bersama barang bawaan mereka.“Oh saya mah dari lahir di sini, Den. Warga asli.”“Berati Mang Basir tahu dong seluk beluk Kentamani ini.”“Ya jelas, Den, makanya mamang nawarin buat nganterin kalian ke perbatasan Kentamani-Purwodadu juga. Mang Basir tahu jalan tercepat menuju sana supaya aden dan teman-teman tidak kemalaman. Kentamani saat malam hari sangat tidak ramah untuk dijelajahi,” tutur mang Basir diselingi kekehan renyah namun mengingatkan ketiga orang itu pada tragedi awal mereka menginjakkan kaki di kerajaan Kentamani.“Ah, mamang bikin saya inget kenangan kelam. Lembah sawer horor banget Mang, sumpah. Itu isinya demit semua, ya?” timpal Kumbara.“Bisa dibilang begitu, Den. Sebenarnya dulu Lembah Sawer tidak semenyeramkan itu, namun setelah banyak oknum yang bersekutu dengan iblis untuk mendapat keuntungan
Seorang prajurit berjalan tergesa melewati koridor kerajaan. Seorang penjaga mengabarkan kedatangannya pada sang ketua yang kini tengah menghuni sebuah ruangan yang dulu dihuni raja Majapati.“Panglima Arash memohon izin menghadap Yang Mulia,” pekik penjaga pintu itu, menyebut ketua mereka dengan sebutan “Yang Mulia” seakan orang itu benar-benar sudah resmi menyandang gelar tersebut.Setelah diperintahkan masuk, kemudian panglima Arash masuk ruangan tersebut. Membungkuk penuh hormat, kemudian dipersilakan duduk oleh sang ketua.“Bagaimana perkembangannya?” tanya sang ketua to the point, seperti sudah tahu hal apa yang akan diinformasikan oleh panglima Arash.“Saya sudah mengerahkan seluruh prajurit melakukan pencarian di hutan Ciwasari selama empat belas hari. Kami susuri semua pelosok hutan bahkan sampai ke gua-gua yang jarang dijamah manusia, namun tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan raja Majapati, Tuan.”“Kesimpulannya kau dan pasukanmu gagal lagi?”Panglima Arash kembali tertun
Selepas menemui tuannya, panglima Arash meninggalkan area istana dan berkunjung ke markasnya. Ia meluapkan emosi dengan memanah, puluhan anak panah melesat kencang menembus sasaran yang jauh di depan sana. Tidak ada yang melenceng, semuanya menancap tepat di area merah. Kemampuannya dalam hal ini memang tidak perlu diragukan. Dia sangat mumpuni dalam bertarung, memanah, berkuda, dan merakit senjata tajam. Wajar jika kini dia menyandang gelar sebagai panglima perang yang paling disegani di fraksi barat. Fraksi yang menjadi dalang dari carut marutnya pemerintahan di kerajaan Ambarwangi dan yang telah mencelakai raja Majapati.Saat panglima Arash fokus meluapkan emosi, kedatangan seorang prajurit menghentikan kegiatan itu. Panglima Arash seperti sudah tahu maksud dan tujuan prajurit itu. Ya, memang sebelumnya dirinya yang meminta bawahannya itu untuk menyelidiki sesuatu. Panglima Arash menyimpan peralatan memanahnya, turun dari podium panah dan mengajak bawahannya itu untuk mengobrol di
Halo, semuanya selamat datang di kisah terbaruku. Kali ini aku membawa genre yang sedikit berbeda. Semoga kalian suka ya, jangan lupa kasih bintang 5 dan masukkan ke library kalian, oke? Yuk, langsung aja, enjoyyy ...***Hujan turun sangat deras mengaburkan pandangan Saga yang harus berlari secepat mungkin—menjauhi para pengejarnya. Ada sekitar lima pemuda yang memburu Saga, masing-masing dari mereka membawa senjata tajam, ada pula yang memegang kayu berpaku di tangan. Jika kayu itu dipukulkan pada kepala seseorang, sudah pasti ujung paku itu akan menancap dalam bahkan bisa membuat kepala seseorang bocor.“Woi, berhenti!”Suara orang-orang itu semakin dekat di telinga Saga, ia tidak boleh tertangkap. Bagaimana pun Saga harus selamat, tidak boleh mati sia-sia di tangan para bajingan berdarah dingin itu. Saga mempercepat larinya—tidak peduli jika saat ini jantungnya nyaris meledak karena kelelahan. Pemuda berusia 17 tahun itu memega
Kepulangan Sagara disambut bahagia oleh kedua orang tuanya, mereka sujud syukur—berterima kasih pada Yang Maha Melindungi karena telah menjaga dan menyelamatkan putra mereka dari segala mala bahaya yang mengancamnya di luar sana. Wira berniat memberikan hadiah berupa uang tunai pada Mang Asep—tetangganya namun mang Asep menolak karena katanya ia ikhlas membantu Sagara. Justru mang Asep ikut senang sudah berhasil menemukan Sagara yang digosipkan sudah tak bernyawa. Berita simpang siur yang beredar selama ini tentang anak itu akhirnya berhasil dipatahkan.Berbanding terbalik dengan euforia keluarga Wira, Sagara yang merasa tak mengenali kedua orang tuanya sama sekali malah semakin bingung dengan keadaan yang menimpanya. Dunia yang dihuninya sekarang benar-benar baru, walau pemuda ini belum tahu dari mana ia berasal tetapi hati kecilnya yakin bahwa tempat itu memang bukan tempatnya. Orang tua yang sekarang sedang mengapingnya duduk di kursi bukan orang tuanya. Sagara