Dan beginilah kami akhirnya, terdiam meratapi apa yang telah terjadi setelah setiap gairah itu dikeluarkan dalam bentuk jerit yang memuncak.
“Udah lega, kan?” tanyaku pada Gladis yang mencengkeram keras ujung selimut.
Dia mengangguk sebagai jawaban. Kulepaskan dekapan dan keluar dari selimut untuk segera mengenakan pakaian.
Tidak. Ini bukan berarti aku telah merusak keintimannya. Pada akhirnya, aku menggunakan cara lain untuk membuat gairah lenyap seketika.
“Kalau gitu, gue balik dulu, ya. Gue ada sesi pemotretan hari ini yang nggak bisa dilewatkan.”
Sebelum berhasil menjejak, dia bangkit dan menyebut namaku. Aku menatapnya, menunggu Gladis kembali membuka mulut.
“Apa … kita akan bertemu lagi setelah ini?”
Dengan senyuman pasti, aku menjawab, “Tentu. Lo bisa menemui gue kapan pun.”
Merupakan hal yang sangat berat sebenarnya untuk berjanji bertemu dengannya lagi. Sebab, aku
Yang benar saja! Melakukan hal panas dengan puluhan perempuan dalam satu sesi syuting. Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya.“Baiklah, Adrian. Biar saya perkenalkan kamu dengan para perempuan cantik ini.”Dengan mata terbelalak, aku menatap sepuluh perempuan yang berdiri di hadapan dengan berbagai macam bentuk tubuh dan kurva senyuman. Ada yang berukuran kecil, sedang, dan besar.Ada yang berhidung lancip dan pesek. Intinya seperti itu, aku tidak akan bisa menyebutkan secara spesifik bagaimana ciri-ciri mereka.Hanya satu hal yang pasti bahwa tidak satu pun di antara mereka yang berpakaian tertutup.“Hai, Adrian!” ucap mereka serentak sambil melambaikan tangan dan mengembangkan senyuman.Sepertinya aku harus bicara pada kejantananku untuk sedikit lebih sabar dalam menjalani latihan hidup ini. Jika tidak, aku yakin akan kalah sebelum mulai berperang.“Ani, Silva, Rahma, Desi, Cahya, Intan, Permata, M
“Gue keluar!”Ya, aku keluar dari ruangan itu dan menghindar dari puluhan perempuan yang dengan ganas menggerayangi tubuhku. Sambil berlari menuju tempat parkir, kuperbaiki pakaian yang tampak compang-camping.Benar-benar sadis!Hal gila pertama yang aku alami sampai-sampai membuatku merinding puluhan kali. Memangnya siapa yang dapat bertahan dari puluhan tangan perempuan ganas itu tanpa meminum pil penambah stamina?Kuembuskan napas berulang kali, menumpu tubuh dengan tangan di mobil. Kurasa sudah cukup pemanasan hari ini dan aku berakhir dengan rasa lelah yang telah ingin diistirahatkan.Kali ini, bintang malam bersinar terang. Tak ada awan hitam seperti malam-malam sebelumnya.Niatku untuk berlama-lama di agensi demikian urung. Mungkin aku harus mencari udara segar kali ini untuk menenangkan segala pikiran dan mengalihkan gairah dalam diri ke hal yang jauh lebih positif.Di luar portal agensi yang terbuka, seketika kuli
Akhirnya hari yang mendebarkan itu datang. Aku telah berubah dalam mode “siap berperang” dengan tanpa mengenakan pakaian, tetapi hanya mengenakan denim.Memangnya naskah macam apa yang ditulis penulis skenario ini sehingga dalam sesi syuting pertama pun aku harus membuka pakaian?Sejauh yang kuingat, Elaine berkata ini hanya proyek sampingan atau percobaan. Wanita itu memang senang berinovasi dan membuatku sampai harus kesusahan seperti sekarang.Aku bergerak maju mendekati tumpukan kardus yang diletakkan di samping sofa berwarna merah. Melihat isinya saja sudah membuatku membayangkan seperti apa adegan yang akan aku perankan nanti.Dalam kardus itu terdapat banyak alat bantu seksual. Silakan bayangkan sendiri apa yang akan kulakukan dengan alat-alat tersebut. Yang jelas, itu berfungsi untuk memanaskan mesin para perempuan itu.“Hai, Adrian sayang.”Silvia, perempuan bertubuh tinggi yang hanya mengenakan dalaman mengi
“CUT!”Seruan itu menjadi penghenti sesi syuting hari ini dan aku berhasil mengalahkan sepuluh perempuan nakal bermulut besar.Segera aku bangkit dan mengenakan handuk untuk menutupi senjata kelelakianku, kemudian meninggalkan arena pertempuran gairah kenikmatan itu dengan terhuyung.Kekosongan datang lagi padaku. Mataku telah tidak memiliki cahaya atau sekadar warna lain, kecuali hitam dan putih.“Minum dulu.”Kulihat sebuah tangan menawarkan sebotol mineral dingin. Elaine tersenyum lebar penuh makna. Tentu, kali ini dia akan sangat puas telah berhasil membuatku mengeluarkan semua kemampuan.Kuembuskan napas panjang dan mengambil mineral, menariknya dengan sedikit memberikan tekanan tenaga.“Benar-benar di luar dugaan, Adrian. Saya memang tidak salah memilihmu. Kamu adalah legenda di sini.”Seperti biasa, dia mengucapkan kalimat tanda kepuasan itu dengan seringai licik dan kilatan yang serin
Tiba-tiba aku berpindah ke tempat lain. Objek pertama yang kulihat adalah lampu bulat kecil yang bercahaya sangat terang. Tidak lagi gundukan kenikmatan atau wajah Nindya Nirmala.Sejauh yang kuingat, Nindya melepaskan handuk yang menutupi senjata kelelakianku. Namun, sekarang handuk itu sirna entah ke mana dan aku sudah mengenakan pakaian berwarna putih tipis yang terlihat seperti daster.“Hmm, kamu sudah sadar ternyata.”Meskipun penglihatanku masih sayu dan kabur, tetapi kutahu pemilik suara itu adalah Elaine.“Gue kenapa?” tanyaku langsung ke intinya.Ini hal yang membingungkan bagiku. Mana mungkin aku berpindah tempat secara ajaib, lalu melupakan apa yang selanjutnya terjadi setelah Nindya berusaha menyetubuhi diriku.Sebaiknya aku tidak menggunakan kata menyetubuhi, itu mungkin terlalu kasar bagi perempuan sepertinya. Bagaimana kalau kita ganti saja.Nindya berusaha memaksaku melakukan hal panas lagi.
Dengan alasan sakit, untungnya aku bisa ambil cuti dan dapat beristirahat seharian. Nikmat yang bukan sekadar nikmat. Untungnya lagi, senjata kelelakianku bisa beristirahat dengan tenang dan tentram kali ini.Tidak seperti sebelumnya saat aku punya waktu libur, tetapi Elaine selalu saja membuat istirahatku tak nyaman. Entah alasan ingin memperkenalkan artis baru, menghafal skenario, dan lain sebagainya.Kuembuskan napas panjang, lalu menyeruput kopi hangat yang baru saja kubuat. Sepertinya hari ini akan kugunakan untuk bermalas-malasan, menonton film atau membaca buku yang diberikan Kiana padaku.Sayang. Rencana itu gagal setelah aku membuka pintu rumah dan terlihat Silvia berdiri dengan senyuman mengembang.Hanya sedetik, lalu kututup kembali pintu.“Adrian! Kenapa pintunya ditutup lagi?! Buka, dong! Ayo, buka!” teriak perempuan bertubuh tinggi itu sambil menggedor-gedor pintu.Yang benar saja! Ini baru pukul 10.00 pagi dan renc
Apa-apaan dengan suasana canggung ini? Bahkan dalam sepuluh menit terakhir, baik Silvi maupun Gladis tak memulai pembicaraan apa pun.Untuk ukuran perempuan seperti Silvi yang biasa cerewet dan nakal, dia hanya menatap ke arah Gladis sampai-sampai membuatnya malu untuk lebih leluasa dalam bersikap.Hal yang sepele sebenarnya. Di saat Gladis tak memiliki hubungan istimewa denganku, begitu pun dengan Silvi.Mungkin intuisi perempuan merekalah yang membuat suasana ini terkesan cukup sunyi.“K-kalian mau minum sesuatu?” tanyaku akhirnya memutuskan agar memecah keheningan.Tak satu pun dari mereka menjawab tawaran itu. Aku benar-benar tidak pintar mengubah reaksi orang-orang.“Kalau gitu, gue buatkan sesuatu dulu di dapur.”Ketika akan melangkah ke dapur, Gladis dengan cepat meraih tanganku. Dia menggeleng pelan, seolah-olah tidak ingin aku pergi meninggalkannya, mati di ruangan yang bersuasana sangat dingin.
Sebenarnya bukan hal yang patut dikejutkan bahwa Gladis tidak bisa menahan perasaan dan memutuskan untuk mengungkapkannya padaku.Hanya saja, kata-katanya bagai lesatan peluru yang langsung menembus jantungku. Tidak mungkin aku bisa menjawab dengan cepat pernyataan cinta yang diucapkan dengan ekspresi manja itu.“Adrian, aku selalu ingin melakukannya denganmu. Aku benar-benar merasa udah jatuh cinta.”Kini, tak lagi bisa aku menatap matanya dengan lamat seperti yang biasa aku lakukan sebelumnya.Kurasa mencintai seorang aktor film dewasa sepertiku bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Meski masa depannya akan cerah secara materil, tetapi tak dipungkiri bahwa Gladis akan menanggung malu yang teramat.Keberadaanku tidak akan pernah dianggap penting di tengah masyarakat umum. Aku hanya seonggok sampah yang jika didaur ulang pun hanya akan menjadi sampah.Tangan Gladis menggapai rahangku, membuatku menoleh seolah-olah tak boleh berpali