Suasana yang terjadi di sekitar ruangan benar-benar mencekam. Aku sama sekali tidak berani mengarahkan tatapan pada gadis bernama Siska yang tengah duduk di sampingku. Sebab, segala macam pikiran menjijikkan telah singgah di kepala. Aku tidak bisa berhenti membayangkan kemolekan tubuh gadis itu, yang kata Elaine masih virgin.
Aku tidak berusaha menjadi orang munafik, ibarat seekor kucing yang ditawari ikan segar. Mungkin kami merasakan hal yang sama sebagai seorang model baru yang tidak cukup berpengalaman.
Segala macam pertanyaan sejak awal telah singgah di kepala. Apa yang harus aku lakukan saat gadis itu benar-benar terlihat tanpa sehelai benang yang menempel di tubuhnya? Apakah aku akan ditertawakan oleh tim yang menggarap film itu? Masih banyak pertanyaan lain yang akhirnya membuatku agak ragu untuk melanjutkan pekerjaan ini.
Toh, semua sudah terlanjur karena suaraku telah Elaine rekam sebagai bukti yang terlampir dalam surat kontrak proyek pertamaku.
"Sebelum itu, biarkan saya bertanya padamu, Adrian. Apakah kamu pernah melakukannya sebelumnya? Entah bersama kekasihmu atau perempuan liar lainnya."
Tatapan Elaine sangat berbahaya. Selain seorang direktur, dia benar-benar menguasai teknik membaca pikiran orang lain. Dia seperti seorang psikolog yang apa pun berusaha kamu sembunyikan, wanita itu akan tahu secepatnya hanya dari ekspresi di wajahmu. Jadi, aku tidak bisa bertahan menatap matanya yang sangat tajam tersebut.
"Emangnya kenapa?"
"Jawab dengan jujur. Apakah kamu sudah pernah melakukannya dengan seseorang? Kamu harus sadar posisi. Di sini, kamu adalah seorang aktor yang akan membintangi puluhan, bahkan ratusan film dengan wanita berbeda-beda."
Aku hanya bisa menelan saliva dengan angka tidak spesifik yang Elaine sebutkan. Haruskah aku senang mendengar kabar itu? Atau sebaliknya, itu justru kabar buruk yang akan menghancurkan reputasiku di hadapan umum.
Namun, benar yang dia katakan sebelumnya. Aku telah tidak memiliki harga diri sama sekali. Reputasi di hadapan masyarakat umum menjadi hal yang sangat tidak penting.
"Ya, gue pernah melakukannya sekali."
"Bagus! Kamu cukup punya bekal untuk melakukannya lagi dan berulang-ulang kali."
Elaine bergerak maju dan berdiri di hadapan kami.
"Sekarang, saya ingin melihatnya, Siska. Kamu sudah tahu, kan, prosedur yang saya katakan di telepon waktu itu."
Tidak ada keraguan sama sekali yang terlihat di wajah Siska. Dia seperti tidak memiliki rasa malu atau bahkan rasa bersalah. Siska mengangguk cepat dengan senyuman lebar, kemudian berdiri dan mulai membuka pakaian.
Aku sama sekali belum terbiasa dengan semua hal yang dapat memicu hasrat di dalam diri. Oleh sebab itu, segera kualihkan pandangan ke sembarang arah untuk tidak melihat gadis itu dalam mode yang bisa membangkitkan gairahku.
Namun, Elaine sepertinya tidak mengizinkanku untuk abai pada hal sepenting itu. Dia meraih kepalaku dan mendorongnya secara paksa untuk melihat betapa mulus kulit yang membalut tubuh Siska.
Dugaanku benar, dia memiliki ukuran yang cukup besar bagi pemula sepertiku. Itu tidak seberapa dibandingkan milik Nindya yang pernah aku gerayangi habis-habisan di sebuah kamar kos seharga seratus ribuan. Betapa aku mengingat momen itu, hal yang tidak pernah bisa aku lupakan selama berbulan-bulan, terus-menerus memicu hasrat gelap di dalam diri ini.
Dan kalian sudah pasti bisa menebak apa yang aku lakukan setelah putus darinya. Ya, aku melakukannya sendiri, tentu dengan tanganku sendiri. Itu agak pedih dan menyakitkan. Atau lebih tepatnya menjijikkan.
"Benar-benar bentuk yang indah, bukan, Adrian?" Elaine tersenyum, seolah-olah mengajakku ikut tersenyum atas tampaknya bentuk dua gundukan yang menonjol di tubuh Siska. Dan kini, tanpa sehelai benang pun. Aku, melihat semuanya dengan jelas.
Aku, melihat seorang gadis dengan tubuh yang sangat indah. Aku, melihatnya tersenyum sambil menatapku.
Berkali-kali saliva kutelan, menandakan diri ini berusaha dengan sungguh-sungguh menahan hasrat yang terjadi.
"Sepertinya kamu sudah tidak sabar, ya, Adrian." Elaine terkikik pelan melihat ekspresi wajahku yang sangat tegang, mendengar aliran napasku yang telah tidak teratur.
"Gimana menurutmu?" Pertanyaan itu benar-benar dilontarkan padaku oleh Siska. Dia ingin aku mengomentari seberapa indah dan menggiurkannya gundukan lemak yang terlihat di mataku.
"Ayo, jangan malu-malu. Seorang aktor juga dituntut untuk menguasai bentuk-bentuk dari keindahan itu. Karena kalau kamu sudah bekerja cukup lama di sini, kamu bisa menolak atau menerima dengan siapa kamu akan dipasangkan. Jadi, berkomentarlah secara jujur," tegas Elaine.
"Tapi, tunggu dulu. Sepertinya kamu juga harus membuka yang masih tersisa," kata Elaine lagi pada Siska.
Seperti biasa, tidak ada penolakan sama sekali. Siska melakukannya sesuai arahan wanita itu.
Ini benar-benar berbahaya. Aku tidak akan bisa menahan sesuatu yang mulai bangkit. Bahkan sekuat apa pun kualihkan pikiran, itu tidak akan mempan melawannya. Jadi, aku pikir suhu tubuhku akan meningkat mulai dari sekarang.
Hingga, kain yang masih membalut tubuh di bagian bawah gadis itu terlepas.
"Apa udah cukup kayak gini?"
Itu sama sekali tidak dapat dikatakan cukup. Sangat berlebihan bagiku yang masih pemula ini. Putih bersih yang terlihat begitu jelas di penglihatan telah mengalahkan rasa lapar yang berusaha aku tahan sejak beberapa waktu lalu.
Kepalaku benar-benar akan meledak.
"Itu ... sangat ... b-bagus dan menggairahkan."
Mendengar suaraku yang terbata-bata, Elaine tertawa renyah.
"Jangan terlalu gugup seperti itu. Mulai sekarang, kamu akan terbiasa melihatnya. Ini baru hanya satu, belum puluhan dan ratusan. Jadi, pastikan kamu kuat dan jagalah kesehatan jantungmu. Kalau tidak, kamu akan mati seketika."
Benar-benar di luar dugaan. Elaine membaca semua tingkah samar-samarku. Mulai dari napas yang telah mulai sesak, detak jantung yang semakin berdetak, dan sesuatu yang telah berdiri tanpa bisa ditundukkan kembali.
"Saya tebak. Sekarang, itu pasti sedang berdiri. Amunisimu."
Dengan tatapan liciknya, Elaine seolah-olah memberikan sinyal pada Siska untuk melakukan sesuatu padaku. Dan lebih sialnya, aku tidak bisa menolak dan beranjak pergi saat gadis itu mendekatiku dengan mode yang dapat membangkitkan hasrat. Aku bisa mati ditelan nafsu yang membuncah.
Rasanya sangat sakit jika ditahan. Aku tidak berdaya sama sekali setelah kulit tangan Siska meraih lenganku. Senyumannya benar-benar imut. Bentuk bibirnya yang sangat tipis dibalut lipstik merah muda itu menggoda keimananku.
Hidung lancipnya yang mungil, wangi parfum dan sampo, bentuk paha yang standar, sangat proporsional. Semua elemen itu menghancurkanku dalam sekejap mata.
Aku ... ingin dilayani atau aku yang akan melayani, itu tidaklah penting. Yang jauh lebih penting, setidaknya pada saat pikiran ini tercetus, ialah aku bisa merasakan semua yang ada pada tubuhnya. Mendekapnya dengan begitu erat, mengeluarkan semua hasrat yang gelap ini hingga bercucur keringat dan terhangatkan.
"Reaksi yang bagus."
Aku tidak lagi peduli apa pun yang Elaine komentari. Yang lebih aku pedulikan ialah, Siska benar-benar memelukku sekarang. Dua tonjolan yang cukup besar itu telah menghancurkan pikiranku. Haruskah aku berubah menjadi binatang yang ganas?
Siska mendekatkan bibir tipisnya di telingaku, kemudian berbisik tajam, "Adrian, kita akan lebih sering melakukannya mulai sekarang. Gue bersyukur karena lo yang jadi pasangan gue. Lo tampan dan berotot."
Aku telah dimabuk hasrat, tak lagi terelakkan.
-II-
“Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku
“Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men
Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti
Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k
Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer
Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit
Ketika aku berjalan untuk menuju ruang syuting, seseorang mendorong tubuhku hingga masuk ke sebuah gudang penyimpanan alat dan barang-barang bekas.“Woi! Apa-apaan ini?!”Aku tak melihat apa pun di ruangan tersebut karena sangat gelap. Tubuhku didorongnya hingga mentok pada dinding. Sedangkan, mataku ditutup oleh sehelai kain. Sempurna sudah, aku tidak bisa melihat apa pun.“Siapa lo?! Apa-apaan, sih, ini?!”Tanganku berusaha meraba-raba, tetapi tak mendapatkan apa pun. Kudengar embusan napas dari orang yang menyekapku ke gudang ini.Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Dari kelembutan kulit yang aku rasakan, kurasa pelakunya adalah seorang perempuan.“Siapa lo? Kenapa lo ngelakuin ini?”Masih tak ada jawaban. Kini, terasa bahwa tangannya meraba-raba dadaku, menelusup ke balik kemeja yang aku kenakan. Segera aku tepis dan berhasil menggenggam tangannya.Meskipun tak bisa melihat apa pun,
Aku membuka pintu ruangan Elaine dengan kasar.“Apa-apaan, sih, lo?! Kenapa si Diana cewek gila itu harus jadi partner gue?!” protesku sambil mendengkus kasar, lalu mengempaskan pantat di sofa.Elaine terlihat sedang bersantai sambil menikmati rokok putih kesukaannya. Dia menatapku sejenak dan tersenyum kecut. Ini seolah-olah dia melihat seorang lelaki bodoh.“Kenapa, Adrian? Kamu tiba-tiba datang dan berteriak seperti itu. Memangnya dia merepotkanmu selama ini?”“Udah jelas! Dia ngerepotin banget! Hubungan gue sama Carissa hampir aja berakhir gara-gara dia! Udah gila itu cewek. Bisa-bisanya lo … ahhh!”Kuembuskan napas panjang untuk sedikit meredakan kekesalan yang menyelimuti.Walau demikian, aku memang tak habis pikir dengan perempuan bernama Diana itu. Mulai dari sikapnya yang riang, lalu berubah jadi sangat licik dan merepotkan. Benar-benar tipe perempuan yang tidak pernah aku inginkan ada di d
Dengan langkah cepat, aku masuk dan mengunci pintu rumah. Tak lama kemudian, pintu diketuk-ketuk dengan keras oleh Diana dari luar.“ADRIAN! AKU NGGAK MAU PULANG! AKU MAU TETAP DI SINI!”Begitulah dia berteriak sambil membentur-benturkan tangannya di pintu, kurasa. Aku tak menanggapi semua yang dia ucapkan dengan teriakan pekak.Ini benar-benar tidak bagus. Semestinya aku sudah bermesra-mesraan sekarang dengan Carissa setelah selesai makan siang. Namun, kedatangan Diana menjadi sebuah malapetaka bagi kami.“Adrian! Please! Bukan pintunya! Aku nggak akan pulang sebelum kamu menerima aku jadi yang kedua!”Salahkah jika aku mengatakan perempuan ini murahan? Sebab, dia terlalu menuntut hati seseorang yang tidak memiliki perasaan padanya.Baru kali ini aku bertemu perempuan keras kepala seperti Diana. Ia bahkan tidak ragu mempermalukan dirinya di hadapanku. Jika benar dia mencintai dengan setulus hati, mengapa tidak memiki