"Ada apa, Nad? Siapa yang telepon?" tanya Icha ikutan panik. Gue hanya bergeming dengan tatapan kosong.
"Nad," panggil Chika menyadarkan gue.
"Mami, mami gue masuk rumah sakit," lirih gue. Air mata sudah luruh tanpa diminta. Bayangan mami tergolek di ranjang rumah sakit berputar-putar di kepala.
"Tenang, Nad. Jangan panik, oke? Sekarang tenangkan diri Lo, kita ke rumah sakit sama-sama."
Gue hanya bisa mengangguk dan pasrah ketika teman-teman membawa gue ke zebuah mobil di parkiran. Lalu mobil melaju dengan cepat menuju rumah sakit.
Gue berlari menyusuri koridor rumah sakit sambil telepon bang Rizal. Menanyakan letak kamar rawat mami. Kaki ini berhenti tepat di depan pintu kamar yang disebutkan bang Rizal. Sebelum masuk, gue mengintip dari jendela. Mami terbaring di sana dengan bang Rizal dan papi di sampingnya.
"Mi," Gue melangkah perlahan. Hati ini rasanya seperti tercabik-cabik melihat perempuan yang tel
Pria itu tersenyum lebar, seolah baru saja mendapat kabar bahagia. Sungguh melihatnya tak merasa bersalah sedikit pun, membuat hati ini makin tercabik-cabik. Andai tak takut durhaka, sudah gue cakar-cakar mukanya yang ganteng itu. Biar jelek sekalian. Ketiga sahabat gue menyaksikan pertengkaran ini dengan antusias. Chika berkali-kali terlihat menata rambutnya yang dimodel churly. Dasar teman nggak ada akhlak. Bukannya bantuin malah keganjenan. Entah apa lagi yang diucapkan pria itu. Fokus gue teralih pada tiga cewek jomlo yang sayangnya sahabat gue itu. Tangan ini tiba-tiba ditarik oleh bang Alfin. Lalu gue diseret menjauh dari tempat itu. "Lepasin, bang!" Gue berusaha melepaskan diri dari cekalan pria itu. Namun dia bergeming. Langkahnya terus mengayun menjauh dari keramaian. Hingga kami sampai di sebuah taman yang sepi. Hanya ada satu dua orang duduk-duduk di sini. Menghela napas lelah, akhirnya gue pasrah. Menunggu apa yang akan dikatakan
Mati gue, sepertinya bakal ada badai setelah ini. Di saat yang sama, bang Rizal datang mencari. Mengatakan jika mami ingin bicara pada kami. Terpaksa gue berjalan dengan tangan terus digenggam pria ini. Berulang kali mencoba melepaskan, tapi lagi-lagi gue gagal. Sementara ketiga cewek dengan tingkat kepo yang tinggi ini terus mencolek gue dari belakang. Gue yakin, mereka meminta penjelasan atas apa yang mereka lihat ini."Mami," ucap gue setelah berdiri di depan ranjang yang ditiduri wanita paruh baya ini. Netra mami tertuju pada tangan kami yang saling bertautan. Senyumnya merekah melihat itu."Mami seneng lihat kalian akur begini," ucapnya lirih. "Nak Alfin, tolong jaga Nadia ya. Hukum saja kalau dia nakal," lanjut mami membuat bibir gue mengerucut. Sebenarnya siapa sih yang anak mami. Heran gue."Tentu, Mi. Alfin akan menjaga Nadia dengan baik," jawab lelaki yang sepantaran dengan abang gue ini. Lagi, senyum mami makin merekah. Netranya berkaca-ka
"Siapa yang sudah nikah?" ucap seorang pria yang tiba-tiba datang membuat kami semua bungkam. Gue mencubit pinggang Icha yang hampir membuka mulut. Dasar teman nggak bisa jaga rahasia. Gue injak kakinya supaya tak keceplosan."Eh, enggak. Itu abang saya mau nikah, Pak," ucap Jeni berbohong. Huh, untung dia peka, kalau sampai keceplosan, gue bersumpah nggak akan berteman dengan mereka lagi."Oh, kirain kalaian ada yang sudah nikah," ucapnya membuat gue salah tingkah. Bagaimana pun gue belum siap mempublikasikan pernikahan kami. Tidak, selama hubungan kami masih belum ada perkembangan. Gue aja nggak yakin bisa melanjutkan pernikahan ini."Nadia, selesai kuliah saya ingin ngomong sesuatu sama kamu. Jangan pulang dulu ya, tunggu di lobi," ucap pria itu lagi, lalu pergi tanpa menunggu jawaban gue. Apa-apaan ini, apa memang semua pria selalu berbuat sesukanya begitu?Kami hanya bisa memandang punggung lebar Rafeal yan
"Nadia, kamu dengar aku?" Lelaki itu sudah berada di samping gue. "Kita harus bicara," ucapnya, lalu membalikkan badan meninggalkan gue yang termangu.Dengan berat hati, gue melangkah mendekati mereka. Sesaat gue memindai tempat duduk untuk memilih dimana harusnya gue menempatkan diri. Akhirnya pilihan jatuh di sebuah kursi single di depan dua sejoli ini."Ada apa?" tanya gue nggak sabar. Rasanya ingin lari menjauh melihat mereka berdua."Nadia, kita nggak bisa seperti ini terus, kan?" Lelaki itu menatap lurus ke arah gue."Iya, terus?""Apa kamu nggak ingin rumah tangga kita yang baru seumur jagung ini berjalan normal layaknya rumah tangga lainnya?""Abang nggak salah bertanya begitu ke gue? Bukannya Abang yang membuat rumah tangga kita jadi nggak normal begini?"Tiba-tiba emosi gue meledak. Apa dia nggak ngaca, siapa yang membuat pernikahan kita seperti ini. Dia kan? Kalau saja dia mau jujur dari awal,
"Jadi tuan putri yang cantik ini cemburu pada saudara kembarmu?"Sa--saudara kembar? Siapa yang dimaksud saudara kembar bang Alfin? Gue menatap papi penuh tanya. Namun lagi-lagi papi tertawa melihat muka cengo gue."Sepertinya begitu, Pi," jawab bang Alfin. Senyumnya merekah melihat gue kebingungan seperti orang bodoh."Apa, sih? Sebenarnya yang kalian bicarakan ini apa, sih? Cemburu? Siapa yang cemburu?" ucap gue sewot. Gue merasa seperti seekor tikus yang dikeroyok kucing. Semua mata memandang gue geli. Jangan lupakan tawa-tawa membahana itu. Gue semakin muak melihat sandiwara ini."Nadia sayang, apa kamu belum tahu siapa Aisyah itu?" tanya mami lembut. Gue hanya menatap sekilas tanpa minat. Untuk apa juga tahu siapa dia. Sudah jelas dia wanitanya bang Alfin, kan? Dasar aneh semuanya."Yakin nggak mau tahu? Ntar nyesel loh," imbuh mami."Apaan sih, Mi. Nggak usah bertele-tele, deh. Katakan saja yang sebe
Entah kenapa mendengar permintaannya yang sederhana itu, membuat kedua mata gue merebak dan mengaburkan pandangan. Bang Alfin meraih tubuh gue dan mendekap dalam dada bidangnya. Detak jantung kami menyatu. Saling tumpang tindih dengan degub yang begitu keras.Sebuah gelang emas putih dengan hiasan berupa dua huruf, A dan N yang menyatu, disematkan pada pergelangan tangan ini. "Makasih, Bang," ucap gue dengan mata berbinar."Jangan pernah tinggalkan abang lagi, ya?" bisiknya membuat gue tersipu. "Abang nggak sanggup melihatmu, tapi nggak bisa menjangkau."Gue mengangguk dalam dekapannya. Rasanya seperti mimpi. Tadi siang gue masih nangis-nangis meratapi nasib pernikahan kami yang hampir kandas. Tapi sekarang, kami sudah seperti pengantin baru yang saling bucin. Ah, ternyata seindah ini, mencintai dalam kehalalan.Mengingat masa-masa awal pernikahan kami yang tidak menyenangkan akibat perjodohan paksa itu membuat gue tersenyum geli.&
'Buku, sudah. Proposal, sudah. HP, sudah. Ah, kayaknya sudah semua, deh,' gumam gue. Setelah menata semua barang yang akan gue bawa ke kampus, gue mematut diri di depan cermin.Celana bahan dipadu tunik semata kaki dan kerudung pasmina warna kunyit menambah segar penampilan gue. 'Perfect,' ucap gue memuji diri sendiri. Dari kaca gue lihat bang Alfin terus menatap intens ke gue, membuat gue salah tingkah.Mencoba mangabaikan, gue memoleskan liptint soft pink ke bibir supaya tak pucat. Sekali lagi gue memutar tubuh untuk memastikan penampilan gue hari ini tidak ada yang kurang. Pasalnya, hari ini gue akan seminar proposal di depan dosen pembimbing. Semester depan, gue akan PKL di sebuah perusahaan."Yuk!" ucap Bang Alfin tiba-tiba. Tangannya meraih tas gue yang masih tergeletak di kursi."Kemana, tadi kan Nadia sudah bilang nggak bisa ke Lombok sekarang. Hari ini Nadia ada semin
"Eh, maaf, Pak. Saya buru-buru. Permisi," ucap gue langsung meninggalkan Pak Rafael dan ketiga teman gue. Supaya tak terlihat oleh dosen ganteng itu, gue berusaha menyusup di antara para mahasiswa yang berjalan menuju gerbang.Sebelum masuk mobil, sekali lagi gue memastikan mereka tak melihat gue. Secepat kilat gue langsung masuk dan duduk di samping bang Alfin. Gue menekan dada untuk menetralkan degup jantung yang berdentam-dentam ini."Kenapa, sih?""Astaghfirullah, Bang. Bikin kaget aja, deh!"Bang Alfin menatap gue curiga. Matanya menelisik menjadikan jantung ini semakin berdebar."Kamu kenapa, sih? Kayak maling aja ngumpet-ngumpet.""Udah, ah. Jalan yuk, Bang!"Akhirnya mobil melaju meninggalkan kampus. Sepanjang jalan Bang Alfin terus melirik gue. Sementara pikiran gue fokus pada pada kejadian tadi. Hampir saja Pak Rafael tahu kalau gue dijemput."Bang, e