Home / Romansa / Editor Dingin Bikin Bucin / Bab 7: BelleVue Books Publisher

Share

Bab 7: BelleVue Books Publisher

Author: Nikma
last update Last Updated: 2024-03-16 12:50:34

Nathaniel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya. Dengan menghela napas panjang, ia menyadari bahwa kenangan itu belum pernah benar-benar pergi, selalu menghantui tidurnya.

Julian masuk ke kamar Nathaniel membawa sebuah nampan sarapan. Julian melihat keadaan Nathaniel yang terlihat lelah dan tersiksa, lalu meletakkan nampan di atas meja sambil memerhatikan memerhatikan pemuda itu “Kau baik-baik saja, Nate?”

Nathaniel menoleh, mencoba tersenyum meski tatapannya terlihat kosong. “Aku mimpi buruk lagi, Paman. Masa lalu yang tak kunjung meninggalkanku.”

Julian duduk di samping Nathaniel, “Menurutku, kau tak perlu terus menerus melarikan diri seperti ini. Beban dan masalahmu tidak akan pergi hanya dengan melarikan diri.”

Julian mengusap bahu Nathaniel dengan lembut. Nathaniel mengangguk, merasakan kehangatan dari sosok yang telah menjadi ayah pengganti baginya. 15 tahun lalu, jika saja Julian yang dulu merupakan sopir keluarga Alexander tidak menyelamatkannya, mungkin Nathaniel sudah tewas karena melompat dari jembatan.  

“Kau masih demam, sebaiknya kau tidur lagi. Hari ini tidak perlu pergi bekerja,” saran Julian. Namun Nathaniel justru turun dari ranjang, “Hari ini ada rapat penting, aku tidak bisa melewatkan itu.”

***

Dalam keheningan rumahnya yang sepi, Isabella tenggelam dalam kata-kata yang terpampang di layar laptop. Novelnya menjadi dunianya, mengikatnya dalam alur cerita yang semakin menggigit. Setelah tinggal sendirian— karena Emilia memilih tinggal di kampung halaman mereka di Lavenham, Isabella mulai terbiasa dengan suasana rumah yang sepi. Mungkin hal itu bukan hal yang buruk, karena keheningan di rumahnya membuat Isabella bisa lebih fokus saat mengerjakan naskah.

Namun, keheningan itu tiba-tiba terganggu oleh suara bel pintu. Isabella menghela napas, merasa terganggu dari konsentrasinya yang sedang mencapai puncak. Dia melirik jam di dinding, bertanya-tanya siapa yang datang pada waktu seperti ini.

Suara bel pintu tak henti-hentinya berbunyi. Isabella menutup laptopnya dengan kesal. Dia berdiri, melangkah menuju pintu dengan tatapan datar. Mungkin ini hanya seorang editor yang menawarinya kerjasama seperti yang belakangan ini sering terjadi.

“Ya, ada apa?” Isabella membuka pintu dengan wajah yang kurang ramah. Di depannya ada seorang wanita muda berdiri tersenyum pada Isabella.

“Maaf, aku ingin bertemu dengan penulis Dark Aurora, apa benar kau Dark Aurora?” tanya wanita itu, senyumnya tak luntur meski menyadari wajah Isabella terlihat cemberut.

“Ya, benar. Aku Dark Aurora. Ada apa?” sahut Isabella.

“Perkenalkan, aku Clara Jansen dari penerbit BelleVue Books,” Clara memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Isabella. Meski malas, Isabella tetap menyambut uluran tangan tersebut.

“Jadi, apa yang membuat kau datang ke sini?” tanya Isabella tanpa mempersilakan Clara untuk masuk.

“Aku ingin menawarkan kerjasama dengan penerbit kami. Bagaimana menurutmu, Aurora?”

Isabella menatap Clara dengan skeptis. “Kau bisa memanggilku Isabella. Tapi maaf, aku tidak memiliki rencana untuk menerbitkan bukuku di penerbit tempat kau bekerja. Aku tidak tertarik.”

Clara tetap bersikeras dengan senyum ramahnya, “Aku paham kalau kau mungkin sudah memiliki rencana. Namun, izinkan aku memberikan penawaran kami. Kami yakin bisa memberikan kontrak yang menguntungkan bagimu. BelleVue Books akan membawa karyamu ke level yang lebih tinggi.”

Isabella mendengarkan dengan wajah datar. Tapi dengan tegas, Isabella menjawab, “Aku tidak ingin bekerjasama dengan BelleVue Books. Terima kasih.”

Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Isabella langsung menutup pintu. Clara yang masih berdiri di ambang pintu segera menahannya agar tidak tertutup sepenuhnya. Dia bisa merasakan keengganan Isabella dan berusaha memanfaatkannya untuk terus membujuk.

“Aku mohon, Isabella. Kami benar-benar ingin bekerjasama denganmu. Bukan hanya sekadar bisnis, tapi kami melihat potensi besar dalam karya-karyamu,” ucap Clara memohon. 

Isabella melirik Clara, mencoba membaca apakah ini hanyalah strategi pemasaran atau apakah Clara benar-benar mempercayai kata-katanya sendiri. Dengan wajah datar, Isabella menjawab, “Aku menghargai tawaranmu, tapi saat ini aku sedang fokus menyelesaikan proyek dengan penerbit lain. Jadi, aku tidak bisa berkomitmen pada apapun yang bersifat jangka panjang.”

Clara tidak menyerah begitu saja. Dia mencoba memperkuat tawarannya, “Bos kami bersedia memberikan royalty yang lebih besar dari yang biasanya diberikan kepada penulis. Ini peluang besar bagimu.”

Isabella tersenyum tipis, menyadari bahwa Clara mencoba menggodanya dengan janji keuntungan finansial yang lebih besar. Namun, dia tetap pada pendiriannya, “Aku menghargai penawaran itu, tapi saat ini aku tidak bisa terlibat dalam proyek jangka panjang.”

“Isabella, kami benar-benar dalam kesulitan. Seandainya kau mau membantu, mungkin kita bisa saling menguntungkan. Penerbitan ini sudah seperti keluarga bagiku, dan aku tidak ingin melihatnya bangkrut,” ucap Clara dengan nada serius.

Isabella mendengarkan, namun tak bergeming. Dia sadar akan kondisi penerbitan itu, tetapi ini bukan tanggung jawabnya.

“Aku paham bahwa situasimu sulit, Clara. Tapi aku tidak bisa mengorbankan kreativitas dan integritasku hanya demi menyelamatkan suatu perusahaan. Kua harus mencari solusi yang tidak melibatkan aku,” jawab Isabella tegas.

Clara menghela napas berat. “Tapi, Isabella, kita bisa menciptakan karya luar biasa bersama-sama. Ini bisa menjadi tonggak baru bagi keduanya.”

Isabella tersenyum tipis, tidak terpengaruh oleh tawaran yang menggiurkan. “Tidak, Clara. Aku sudah membuat keputusan, dan aku ingin fokus pada proyekku yang sedang berjalan.”

Tak dapat berkata-kata lagi, Clara mengangguk dengan penuh penyesalan. “Baiklah, Isabella. Terima kasih atas waktunya. Jika kau berubah pikiran, kami selalu terbuka untuk bekerjasama.”

Isabella menutup pintu dengan mantap, menandakan akhir dari percakapan itu. Dia merasakan beban pikiran yang melepas seiring pintu tertutup.

***

Ruang pertemuan di BelleVue Books terasa tegang saat Nathaniel, bersama dengan beberapa editor lainnya, duduk dalam sebuah rapat darurat. Andreas Kovac, sang pimpinan penerbit, duduk di ujung meja, wajahnya tampak serius dan penuh kekhawatiran.

“Terima kasih sudah hadir, semua,” ucap Andreas, suaranya penuh keputusasaan. “Saya yakin kalian sudah tahu kondisi penerbitan kita saat ini. Semuanya makin terpuruk.”

Nathaniel dan rekan-rekannya saling bertatapan, tak ada yang berani bicara. Mereka merasakan getaran negatif yang menyelimuti ruangan.

“Saya tidak akan menyembunyikan kenyataan dari kalian,” lanjut Andreas, “Jika kita terus seperti ini, BelleVue Books tidak akan bertahan lama lagi. Kita akan tutup.”

Nathaniel menelan ludah, merasakan rasa kecewa melanda. Dia telah bekerja keras untuk penerbitan ini, dan berita ini seperti pukulan telak.

Felix Becker, salah satu editor di BelleVue Book mencoba membangkitkan semangat seisi ruang. “Tapi, Pak, kita kan sedang berusaha menarik penulis terkenal untuk bergabung dengan kita. Mereka bisa membawa pencerahan baru untuk penerbitan kita.”

Andreas merenung sejenak, kemudian melanjutkan, “Apakah ada kemungkinan penulis besar bersedia menerbitkan karyanya di penerbit kecil seperti BelleVue Books?” Suasana rapat semakin lesu, semua merasakan keberatannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 139. Ending

    Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan

  • Editor Dingin Bikin Bucin   138. Kerjasama Lagi

    Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 137. Kejutan

    Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 136. Meminta Maaf

    Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 135. Membersihkan Nama

    Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 134. Rindu Suaramu

    Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status